Minggu, 30 Januari 2011

anak Adnan Buyung Nasution






Pia Akbar Nasution, Penerus Jejak Adnan Buyung Nasution

//Minta Bayaran Tinggi saat Dibajak sang Ayah

Setiap kali sidang Gayus Halomoan Tambunan digelar, seorang perempuan selalu duduk di antara para pengacara. Kadang dia duduk di samping advokat senior Adnan Buyung Nasution. Dia adalah Pia Akbar Nasution, putri bungsu Buyung.

AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta

Sehari-hari, Pia berkantor di firma hukum Adnan Buyung Nasution and Partners di lantai 3 Menara Global. Ruang kerja berukuran 4 x 5 meter itu cukup lapang. Pada salah satu dindingnya, terdapat jendela besar dengan view kawasan Jalan Gatot Subroto yang selalu ramai.

Pia menata ruang kerjanya sedemikian rupa untuk mengingatkan dirinya akan suasana rumah. Di meja kerja, perempuan berambut panjang itu meletakkan foto-foto dua jagoan ciliknya, M. Iqbal Fadhilah Akbar, 13, dan M. Alyosha Rizsqullah Akbar, 7. Garis-garis wajah dua cucu Buyung itu sangat persis dengan sang kakek. ”Yang paling mirip yang sulung. Mirip banget, ya,” kata Pia, lantas menunjukkan foto Iqbal dan Buyung yang kompak mengenakan kacamata dan jas hitam.

Hubungan cucu-kakek tersebut memang sangat akrab. Bahkan, Buyung sering mengajak Iqbal berdiskusi dengan tema-tema serius, seperti korupsi dan persoalan hukum. ”Saya sampai bilang, ’Ayah, dia kan masih SMP,’” ujar Pia, lantas tersenyum.

Pia adalah bungsu di antara empat bersaudara. Dia juga anak Buyung yang paling cantik. Sebab, semua saudara Pia adalah lelaki. Perempuan 42 tahun itu pun merupakan salah seorang di antara dua buah hati Buyung yang menekuni karir di dunia hukum. Kakaknya, Rasyid Nasution, juga menjadi pengacara. Namun, sang kakak lebih berfokus pada bidang perkara konstitusi.

Istri M. Djamil Syah Akbar itu tidak termasuk perempuan yang ingin serbagampang. Setelah lulus dari Fakultas Hukum Unika Atma Jaya pada 1987, Pia tidak langsung bekerja bersama sang ayah. Dia merasa lebih baik memulai semuanya dari awal. ”Kalau berhasil, kan lebih puas karena itu hasil jerih payah diri sendiri,” papar dia.

Setelah lulus, Pia menelusuri gedung-gedung perkantoran di kawasan Jalan Sudirman dan Thamrin. Dia datangi satu per satu lobi gedung-gedung tersebut untuk mencatat nama-nama firma hukum. ”Saya masukkan lamaran saya ke semua firma hukum yang ada. Saya catat itu,” ujarnya.

Lulusan pascasarjana Bond University, Gold Coast, Australia, tersebut kemudian diterima di firma hukum Subagyo, Roosdiono, Jatim and Djarot. Firma hukum tersebut menangani korporasi multinasional, tidak langsung mengurusi perkara. Buyung kaget ketika diberi tahu Pia bahwa dirinya bekerja di firma hukum tersebut. Sebab, Buyung tidak mengira bahwa ibu dua anak itu benar-benar serius menjadi pengacara. ”Ayah bilang, tahu gitu, aku titipin kamu ke teman-teman,” papar dia.

Pia memang tidak mau hidup di bawah bayang-bayang sang ayah. Bebannya berat. Dia akan selalu dibanding-bandingkan dengan Buyung. Itu dia rasakan sejak kuliah. Saat menggarap tugas, bahkan skripsi, dia selalu dikait-kaitkan dengan Buyung. Kalau hasil tugas Pia baik, para dosen curiga bahwa pengerjaan tugas tersebut dibantu Buyung. Begitu pula kalau hasilnya jelek. ”Ini anak Abang Buyung, kok cuma begini hasilnya,” kata Pia, menirukan ucapan mereka.

Saat menggarap skripsi, misalnya, Pia kebetulan mengangkat tema franchise alias waralaba. Kebetulan, tema tersebut masih langka. Orang mengenal, waralaba hanya diperuntukkan makanan cepat saji. ”Dosen penguji bilang, yang bikin skripsi ini Abang Buyung, ya?” katanya.

Karena itu, sebisanya Pia bekerja dengan usaha sendiri, bukan atas campur tangan Buyung. Lagi pula, kalau dibantu sang ayah, paling banter Pia akan bekerja dengan kolega-kolega Buyung. ”Akan aneh rasanya, orang yang biasanya saya panggil om menjadi atasan,” ucap dia.

Pia benar-benar merasakan hasil kerja kerasnya. Buktinya, di firma hukum Jatim and Djarot tersebut, dia bertahan empat tahun. Pada tahun keempat dia bekerja di situ, kebetulan Adnan Buyung Nasution and Partners sudah berdiri. Buyung berniat ”membajak” Pia dari tempat kerja tersebut.

Prosesnya tidak gampang. Pia tidak mau pindah karena alasan keluarga. Dia menuntut Buyung menggaji dirinya lebih tinggi daripada firma hukum sebelumnya.

Negosiasi pun berjalan. Awalnya, Buyung menolak tuntutan gaji Pia yang terlalu tinggi untuk ukuran orang baru. Tapi, sang ayah akhirnya menurut. ”Tiga bulan dulu kau bekerja. Kalau bagus, boleh aku gaji segitu,” ujar Pia, menirukan Buyung.

Memang berapa tuntutan gaji Pia saat itu? Pia terseyum. Dahinya berkernyit. Dia berusaha mengingat-ingat. ”Lupa ah. Tapi, itu rahasia dapur, dong,” ucap dia, lantas tertawa lepas.
Bekerja bersama ayah bukan urusan gampang. Justru lebih berat. Apalagi ketika Pia masih tinggal bersama Buyung, jam dan hari kerja seolah tidak ada. Dia merasa seperti 24 jam menggarap tugas-tugas kantor. Sebab, hampir setiap saat dia bertemu dengan Buyung. Tiap kali bertemu, Buyung selalu bertanya tentang tugas-tugas yang diberikan kepada Pia.

Bahkan, saat malam, Buyung kadang-kadang mengetuk pintu kamar Pia untuk menanyakan perkara yang mereka tangani. ”Saat acara keluarga juga, masih saja bertanya tugas kantor,” ungkap Pia.
Pia menyatakan, masyarakat saat ini terus membandingkan dirinya dengan Buyung. Beberapa orang bahkan menyebut dia sebagai pengganti Buyung. Dia pun mengakui bahwa beberapa tugas yang biasanya ditangani Buyung mulai dialihkan kepadanya. Untuk sejumlah pernyataan ke media, sering Pia mengambil peran.

Namun, Pia menegaskan bahwa dirinya bukan Buyung. Dia hanya meneruskan apa yang menjadi harapan tokoh senior tersebut. ”Ayah itu one of a kind. Nggak ada yang bisa meniru dia. Saya tidak bisa seperti dia,” ucap Pia. Bekerja dengan sang ayah juga tidak berarti mendapatkan privilege. Saat sang ayah mengamuk, Pia juga disemprot, sama dengan karyawan lain.

Perempuan kelahiran 1969 itu menuturkan, sang ayah sangat berharap dirinya menjadi aktivis hukum di LSM, seperti yang Buyung lakukan dulu. Tapi, Pia menegaskan bahwa dirinya tidak bisa. Dengan pekerjaan sekarang saja, dia kadang kewalahan. Jika harus membagi waktu untuk aktivitas lain, dia khawatir keluarga kecilnya terkena imbas. ”Saya katakan kepada ayah, jujur saya tidak bisa. Keluarga dan pekerjaan harus jalan dua-duanya,” ungkap dia.

Figur ayah saat dirinya masih belia terekam jelas di benak Pia. Buyung, terang Pia, adalah ayah yang sangat sibuk. Buyung hampir tidak punya waktu di rumah. Sampai-sampai, sang ayah tidak tahu di mana anak-anaknya bersekolah. Pernah, saat masih SD, Pia berjalan pulang dari sekolahnya di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Buyung yang lewat dengan menumpang mobil langsung berhenti.
”Pia, kamu kenapa main-main di sini?” ucap Pia, menirukan Buyung kala itu. Pia menjawab balik. ”Lho, Yah, ini kan sekolah Pia. Pia habis sekolah, mau pulang,” katanya. Buyung lantas menutup jendela dan mobil kembali berjalan.

Karena itu, Pia tak ingin kejadian-kejadian seperti itu menimpa anak-anaknya. Sesibuk apa pun di tempat kerja, dia harus selalu mengontak anak-anaknya. Baik melalui ponsel, internet, maupun pertemuan-pertemuan singkat.

Apalagi saat sidang kasus Gayus sedang ramai-ramainya, Pia tetap intensif memperhatikan dua buah hatinya. Pia pernah diprotes salah seorang anaknya gara-gara terlalu sibuk. ”Mama, kantornya nggak pernah libur, ya? Kok hari libur, tapi masih kerja?” ucap Pia, menirukan komplain anaknya ketika dirinya masih sibuk bekerja pada musim liburan sekolah. ”Saya kaget banget saat dia ngomong gitu. Mending gue mati deh daripada dengar anak bilang begitu,” kata dia. (*/c11/iro)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar