Kamis, 27 Januari 2011

Didik Anak dengan Tangan Besi






Didik Anak dengan Tangan Besi
Amy Chua si Tiger Mother

Amy Chua sedang menjadi pembicaraan. Bukan karena sosoknya sebagai profesor muda di universitas papan atas Amrik, Yale University. Namanya kini melejit setelah dia berbagi cara mendidik anak lewat buku berjudul Battle Hymn of the Tiger Mother. Buku yang dirilis 11 Januari lalu tersebut menuai protes dari banyak kalangan. Seperti apa pengasuhan yang dilakukan tiger mother itu?

BUKU setebal 237 halaman tersebut merupakan memoar dari pengalaman Chua mengasuh dua putrinya, Sophia 18, dan Louisa, 13. Dia menggambarkan metode tangan besinya sebagai tradisi Tiongkok, meski perempuan 47 tahun itu lahir dan besar di Illinois, AS. Chua juga menuntut ilmu di Yale University. Tak sedikit pun dia pernah merasakan pendidikan ala Negeri Tirai Bambu.
Dalam bukunya, Chua tidak segan menceritakan bahwa dirinya melarang dua anaknya untuk menginap di rumah teman dan menghadiri kamping sekolah. Dia juga tidak suka anak-anak ikut drama. Televisi dan permainan komputer merupakan barang yang haram disentuh Sophia dan Lulu, panggilan Louisa.

Selain itu, istri Jed Rubenfeld tersebut melarang keduanya memilih sendiri kegiatan ekstrakurikuler yang disukai. Mereka hanya boleh bermain piano dan biola. Absen les musik, Sophia dan Lulu bisa dihukum berat. Soal nilai pelajaran, standar Chua sangat tinggi. Mereka tidak boleh mendapat nilai selain A. Dua gadis itu juga harus menjadi murid nomor satu di semua mata pelajaran, kecuali olahraga dan drama.

Chua dengan gamblang menceritakan, dirinya tidak ragu mengucapkan kata-kata kasar kepada anak-anaknya jika ada target tertentu yang belum bisa mereka lampaui. Salah satu yang membikin miris, dia membuang kartu ulang tahun yang dibuat oleh tangan-tangan kecil Sophia dan Lulu hanya karena kartu tersebut kurang bagus di matanya. Sebagai tambahan, saat itu Chua juga memaki mereka dengan sebutan sampah.

Contoh lain yang mengundang kecaman adalah ketika Lulu tidak kunjung menguasai sebuah komposisi. Chua melarang Lulu berdiri di depan piano sebelum komposisi itu bisa dihafal. Sepanjang malam, Lulu bekerja keras menguasainya. Dia tidak makan, tidak minum, dan bahkan tidak ke kamar mandi. Hanya di piano.

’’Itu bukan metode yang benar. Anak yang menerima perlakuan seperti itu tidak akan bisa berpikir dan bertindak untuk dirinya sendiri. Sebab, sejak kecil mereka terbiasa dengan pilihan-pilihan yang dibuat ibunya,’’ kecam Anne Cawood, ahli parenting asal Cape Town, sebagaimana dikutip BBC. ’’Saya sering mendapat pasien anak-anak seperti itu. Meski secara akademis nilainya bagus, self esteem mereka sangat rendah,’’ paparnya.

’’Pendekatan seperti itu tidak bisa diterapkan kepada semua anak,’’ imbuh Greg Crighton, psikolog pendidikan asal Johannesburg. ’’Tidak semua bisa mendapat nilai A karena secara akademis memang tidak mampu. Menghadapi hal semacam itu, orang tua tidak boleh memaksa,’’ tegasnya.

Chua santai saja menghadapi semua kecaman yang ditujukan kepada dirinya. Menurut perempuan keturunan Filipina tersebut, kontroversi itu hanya muncul karena kultur yang berbeda. Di Tiongkok, orang tua memegang kontrol penuh atas pengasuhan anak. Mereka lebih tegas. Tidak seperti orang tua negara-negara Barat yang lebih mementingkan self esteem anak.

’’Di Tiongkok, orang tua bisa menyuruh anak mendapat nilai A. Menyebut anak pemalas juga biasa. Sementara itu, di Barat, orang tua hanya meminta anak melakukan yang terbaik,’’ ungkap Chua. ’’Di Eropa dan AS, orang tua selalu khawatir akan perkembangan psikologis anak. Padahal, kalau terbiasa dengan metode keras, yang mereka takutkan tidak terjadi,’’ lanjutnya.

Orang Tiongkok, kata Chua, percaya bahwa anak berutang banyak hal kepada orang tua. Itulah yang melandasi pemikiran bahwa anak di sana bisa dieksploitasi. ’’Kami menjaga anak kami dengan mempersiapkan mereka menghadapi masa depan yang keras. Kami mempersenjatai mereka dengan skill, kebiasaan bekerja keras, serta kepercayaan diri,’’ ujarnya.

Yang membuat banyak orang heran, anak-anak Chua tampak enjoy dengan pendidikan keras ala sang ibu. Sophia justru menyatakan sangat beruntung mendapat pola asuh tangan besi Chua. Dia juga menyebutkan, kecaman-kecaman para psikolog yang ditujukan kepada sang ibu tidak beralasan.

’’Punya ibu seperti mama (Chua), kami tidak bisa bersenang-senang terlalu sering. Tapi, saya tahu, itu semua mama lakukan untuk kebaikan saya dan Lulu,’’ katanya dalam sebuah surat terbuka di Washington Post. ’’Mama tidak bertangan besi. Dia hanya membuat saya mengeluarkan seluruh kemampuan terbaik dalam semua hal. Saya sangat berterima kasih atas pola asuhan mama,’’ lanjutnya. (na/c5/ayi)





* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Bunda Lembut pun Bisa Antar Sukses

DALAM surat pembelaan yang dikirim ke Washington Post, putri Amy Chua Sophia menulis bahwa pola asuh tangan besi ibunyalah yang mengantarnya menjadi pribadi sukses. Dalam arti, selalu mendapat nilai A di sekolah, pintar bermain piano dan biola, serta menjadi pribadi yang tangguh.
Namun, pola seperti itu bukanlah satu-satunya cara untuk mengantar anak ke jenjang kesuksesan. Litha Chistin, misalnya. Perempuan 48 tahun tersebut tidak pernah menggunakan cara-cara keras untuk mendidik tiga anak gadisnya, Caroline Tanjaya 25; Evelyn 22; dan Aileen 10. Tanpa itu pun, Caroline dan Evelyn selalu menjadi murid unggulan di sekolah.

Caroline yang sejak SMA sering mengikuti program pertukaran pelajar ke berbagai negara bisa menyelesaikan kuliah dalam waktu 3,5 tahun. Dia baru saja mendapat gelar magister ilmu politik dari sebuah universitas di India. Sementara itu, Evelyn, yang nilai-nilainya selalu bagus, kini bekerja di Bank Indonesia.

”Saya tidak pernah memberikan les pelajaran ke anak-anak. Kecuali bahasa Inggris, itu pun karena sangat diperlukan di kehidupan sehari-hari,” jelas Litha. ”Sejak TK, tiga anak saya les bahasa Inggris. Itu pun sudah berhenti setelah lulus SD. Pelajaran lain, mereka sama sekali nggak pernah les,” lanjutnya. 

Menurut Litha, pelajaran tambahan di luar jam sekolah tidak cukup efektif. Pulang sekolah, anak sudah lelah, belum tentu bisa menerima materi lagi. Daripada les, Litha selalu menyuruh anak-anaknya tidur siang sebentar. Nanti bangun tidur, mereka sudah fresh dan siap belajar atau mengerjakan PR. ”Belajarnya tidak lama, paling setengah jam. Tetapi, materinya benar-benar masuk. Toh, nilai anak-anak bagus semua,” lanjut perempuan kelahiran Banjarmasin itu.

Tidak seperti Chua yang melarang anak-anaknya mengikuti kamp sekolah atau menginap di rumah teman, Litha membebaskan semua anaknya bersosialisasi. Segala macam acara yang diadakan sekolah, anak-anak boleh ikut. Bikin pajamas party di rumah teman, silakan. Yang penting, anak-anak jujur dan bertanggung jawab.

Meski terdengar cukup permisif, pola asuh yang diterapkan Litha efektif membangun disiplin dan tanggung jawab pada tiga putrinya. ”Bahkan, Aileen pun sudah bisa tanggung jawab. Kalau main ke rumah teman, biasanya dia belajar kelompok. Belajar beneran, tidak main-main. Dia sudah punya kesadaran sendiri, kalau melakukan ini akibatnya apa, melakukan itu akibatnya apa,” tutur Litha. (na/c7/ayi) 
   
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *    


Potensi Munculkan Depresi

POLA asuh yang diterapkan Amy Chua memang bertipe Tiongkok kuno yang cenderung keras. Anak dianggap sebagai properti, yakni orang tua merasa memegang kontrol penuh atas pengasuhan dan pendidikannya. Dengan landasan pemikiran seperti itu, tak jarang dalam penerapannya orang tua bertindak otoriter.

Maria Farida Kurniawati SPsi mengatakan, tidak ada ukuran bahwa suatu metode seratus persen benar atau seratus persen salah. Sebab, pola pengasuhan ditentukan pula oleh kultur, kebiasaan, dan komitmen keluarga itu sendiri. ”Sebaiknya, lihat dulu karakter buah hati sebelum menentukan pola pengasuhan,” ucap Maria.

Menurut ketua Yayasan Baby Smile School itu, yang paling penting dari sebuah pola asuh adalah penerimaan si anak. Untuk anak yang sensitif dan cenderung flegmatis, perlakuan superkeras dari orang tua ala tiger mother jelas tidak cocok. Bukannya menuruti keiginan sang bunda, bisa-bisa mereka malah depresi atau tertekan.

”Anak yang sejak kecil sudah terbiasa menelan semua yang diperintahkan orang tua, nanti dia tidak punya pilihan sendiri. Kalaupun punya, dia tidak berani mengungkapkan. Dia tidak akan bisa mengeluarkan ekspresi emosionalnya,” papar Maria. Ujung-ujungnya, anak menjadi tertutup, kaku, dan individualis. Lebih buruk lagi, mereka cenderung memperlakukan lingkungan sekitar sebagaimana perlakuan yang dia terima dari orang tua.

Maria pernah menjumpai seorang anak korban pengasuhan keras ala tiger mother. Sejak kecil anak tersebut dibebani aneka target oleh orang tua. Jika si anak gagal mencapai target itu, orang tua tidak segan-segan mengurungnya di gudang. Ayah si anak berpendapat, mereka bisa sukses lantaran menerima perlakuan yang sama dari orang tuanya. 

”Padahal, tiap anak kan berbeda. Antara saudara yang hanya beda beberapa tahun saja karakternya tidak sama. Apalagi dengan orang tua yang beda generasi,” papar Maria. Akibatnya fatal, anak tersebut memiliki gejala masokis.

Lantas, bagaimana bunda bisa memilih pola pengasuhan anak? Mula-mula, pastikan bunda mengenal karakter anak. Karakter itu bisa dilihat sejak balita. Yang paling baik, pilih pola asuh yang demokratis. Artinya, orang tua mendorong anak mengutarakan keinginan, juga selalu mendengarkan setiap keluhan mereka. Biarkan kepercayaan diri mereka berkembang secara wajar. Disiplin wajib diterapkan. Tapi, disiplin harus dibedakan dengan otoriter.

”Ada toleransi-toleransi yang bisa diberikan. Disiplin dianggap berhasil jika anak mau melakukan semua kewajiban karena kesadaran, bukan karena paksaan. Berikan pengertian tentang plus minusnya anak melakukan kewajiban itu,” papar Maria. ”Kalau anak tidak mau, tugas orang tua adalah memberi motivasi,” tegasnya. (na/c10/ayi)

   
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar