Minggu, 13 Februari 2011

Giliran Kami Makan



Oleh: Djoko Susilo

Dalam dua minggu terakhir ini saya menghabiskan waktu senggang saya dengan dua hal: nonton TV Al Jazeera yang melaporkan demonstrasi di Mesir dan membaca buku kisah John Githongo yang berjudul It's Our Turn to Eat'' (Giliran Kami untuk Makan).

Laporan langsung tentang demonstrasi di Mesir yang membuat Presiden Hosni Mubarak mundur mengingatkan saya akan gerakan reformasi di tanah air pada 1998. Sedangkan buku John Githongo adalah kisah yang menarik bagaimana gerakan reformasi di Kenya melaksanakan amanahnya ketika Presiden Mwai Kibaki mulai berkuasa menggantikan presiden sebelumnya, Daniel Arap Moi.
Kejadian di Mesir dan apa yang dituturkan Githongo patut menjadi renungan bagi kita di Indonesia, khususnya adanya fakta bahwa sepertiga gubernur dan hampir sepertiga bupati –belum lagi puluhan anggota DPR/DPRD– yang masuk penjara karena didakwa korupsi. Jika ditambah dengan pejabat eksekutif lainnya, mereka yang terkena pidana korupsi makin banyak.

Bahkan, penjara di Indonesia akan makin sesak dengan koruptor jika UU Antikorupsi benar-benar dilaksanakan dengan konsisten. Sebab, yang sekarang belum masuk itu bukan karena mereka ''bersih'', tapi hanya karena belum tertangkap tangan oleh petugas KPK. Mengapa demikian? Sebab, memang rezim Soeharto sudah runtuh dan keluarga Cendana tidak berkuasa seperti dulu, tetapi raja-raja kecil yang meniru rezim Soeharto masih ada. Malah, banyak pejabat baru itu yang aji mumpung dengan berprinsip: Kini Giliran Kami untuk Makan.

Kisah yang terjadi di Kenya yang dituturkan John Githongo patut dipelajari dengan baik. John Githongo memulai karir sebagai wartawan yang sangat kritis terhadap rezim Presiden Daniel Arap Moi. Kemudian, dia bergabung dengan NGO Transparency International. Namanya sangat terkenal sebagai tokoh yang memimpikan Kenya yang bersih dari KKN.

Wajar ketika pada 2002 Presiden Mwai Kibaki menang pemilu dengan mengalahkan Arap Moi dalam kampanye yang bertemakan antikorupsi, dia menunjuk Githongo sebagai permanent secretary for Ethics and Government (semacam KPK-nya Kenya). Tugasnya memang membersihkan Kenya dari KKN dan memperbaiki mental aparat negara agar tidak suka mencuri dan menggarong kekayaan nasional.

Namun, pada 2006 atau hampir empat tahun setelah bekerja keras, dia terpaksa melarikan diri dan minta suaka di Inggris. Masalahnya, teman- teman seperjuangannya yang dulu beroposisi kepada rezim Daniel Arap Moi dengan platform perjuangan antikorupsi, ternyata malah melakukan korupsi secara lebih keji. Bedanya dengan KPK, lembaga yang dipimpin Githongo tidak punya kekuasaan eksekusi.

Dia hanya bisa memberikan rekomendasi kepada presiden. Inilah yang menyebabkan Githongo frustrasi. Berlembar-lembar laporan dan rekomendasi dibuatnya tidak ada tindak lanjut, khususnya jika sudah menyangkut tokoh politik kelas kakap. Memang, Presiden Mwai Kibaki menindak sejumlah pejabat korup, tetapi hanya kelas teri. Tidak ada menteri atau pejabat tinggi yang ditindak karena korupsi.

Tetapi, yang memuakkan Githongo adalah perilaku pejabat yang dulu ketika belum punya jabatan berjanji bekerja serius untuk rakyat, nyatanya mengkhianati rakyat yang memilihnya. Jadi, dulu mereka membenci rezim Presiden Daniel Arap Moi karena iri saja. Buktinya, kini mereka ganti berpesta pora menjarah harta negara.

Saya sepertinya tidak percaya dengan kisah John Githongo tersebut. Tetapi, setelah saya verifikasi ke sejumlah sumber, memang demikian adanya. Bahkan, hal itu tidak terbatas di Kenya. Di beberapa negara eks-Uni Soviet, banyak tokoh oposisi antikomuinis yang tiba-tiba menjadi pejabat tinggi di negaranya, mempunyai perilaku yang sama dengan para komisaris yang mereka gantikan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membunuh mereka yang dianggap menghalang-halangi korupsinya. Rezim berganti, tapi korupsi jalan terus.

Buku It’s Our Turn to Eat (Giliran Kami untuk Makan) sangat menggelisahkan saya, khususnya dengan semakin banyaknya politikus dan pejabat yang masuk penjara. Dalam pertemuan World Economic Forum di Davos, Swiss, akhir Januari lalu Indonesia menjadi bintang dan saya sangat bangga karenanya. Bangsa lain bangga melihat perkembangan demokrasi di tanah air yang makin mantap dan pertumbuhan ekonomi yang makin baik. Saya sering bertanya, apa yang salah dengan proses reformasi selama ini?

Menurut Githongo, kegagalan pemberantasan korupsi umumnya karena para pembaru dan pendukungnya tidak cepat menyerang dan menghabisi koruptor ketika momentum masih ada. Akibatnya, para pembaru yang tadinya antikorupsi secara perlahan malah bisa diakomodasi. Dengan kata lain, seseorang yang tadinya menjadi anggota dewan atau dalam jabatan lain dengan tidak ada niat korupsi, tetapi karena pengaruh lingkungan, akhirnya dia larut juga.

Saya ambil contoh Swiss yang dalam indeks antikorupsi termasuk tinggi, selalu berkisar antara nomor satu, dua, atau tiga. Perilaku pejabatnya biasa-biasa saja. Sangat normal melihat menteri naik trem atau kereta api. Beberapa waktu lalu, saya bertanya ke seorang Dirjen Urusan Lingkungan Hidup, apa mobil dinasnya? Dirjen tersebut terheran-heran dengan pertanyaan saya. Dia menjawab begini, ''Lho kenapa saya harus memakai mobil, pakai itu saja (sambil menunjuk trem). Saya bisa ke mana-mana dan sampai ke rumah.”

Jika Dirjen tidak ada mobil dinas, anggota DPR di Swiss juga tidak dapat fasilitas mobil dan perumahan. Fasilitas dinas anggota DPR di Swiss hanya sebuah laptop yang bisa dipakai bekerja ketika dalam kereta api. Total fasilitas anggota DPR di sana yang diterima dari negara –dari gaji dan tunjangan lain– hanya sekitar USD 100.000 per tahun, sedangkan fasilitas anggota DPR RI saya hitung-hitung mencapai USD 150.000 (catatan: pendapatan per kapita Swiss adalah USD 64.000, sedangkan Indonesia baru USD 3.000).

Dengan demikian, jelaslah bahwa gaji dan fasilitas pejabat di Indonesia, setidaknya anggota dewan, sudah jauh di atas rata-rata rakyat Indonesia. Prinsip pejabat di Swiss ialah low cost but high product. Karena itu, jangan heran, dengan penduduk hanya 7,6 juta orang, ekspor Swiss per tahun mencapai USD 290 miliar. Jelas saja negara ini sangat makmur, aman, tenteram, dan penduduknya mendapat fasilitas kesehatan terbaik di dunia. Saking makmurnya, setiap tahun APBN-nya surplus miliaran dolar.

Bagi Indonesia, bisa memilih mengikuti jejak Swiss yang baik rakyat maupun pemimpinnya antikorupsi sehingga negaranya bisa aman, tenteram, dan makmur atau mengikuti Kenya yang ganti pemimpin hanya ganti orang? Saya terus terang memimpikan negara kita menjadi Swiss, tapi lebih besar. Artinya, negara yang besar, tapi makmur dan kuat seperti Swiss. Perilaku pejabatnya mengikuti pejabat Swiss; Low cost but high product.

Saya sering kesal dan geram karena masih banyak pejabat kita yang bermental suka dilayani, bukan melayani. Saya punya kenalan seorang anggota dewan, dulu makan saja susah, sekarang punya rumah banyak dan apartemen beberapa buah. Yang menjengkelkan, mau naik mobil saja sekarang harus dibukakan pintu oleh sopirnya. Ada juga seorang kawan yang dulu hidupnya dari memberi les, tiba-tiba setelah diangkat sebagai asisten menteri, dia membeli mobil Alphard, apartemen, rumah mewah, dan lain-lain. Ini tidak akan terjadi di Swiss, tetapi hanya pada pejabat yang berprinsip: Giliran Kami untuk Makan.

Mungkin saya naif mengeluhkan perilaku beberapa kawan saya yang punya jabatan. Apa memang dulu adanya gerakan reformasi itu dimaksudkan sekadar ganti mendapat kesempatan menggarong harta negara? Bukankah kita diberi amanah untuk bisa berbuat kebajikan? Demonstrasi di Mesir dan buku John Githongo layak menjadi renungan dan pelajaran bagi siapa saja yang sekarang mendapat amanah memegang jabatan publik. Intinya sederhana saja: kita semua menjadi pejabat, baik di yudikatif, eksekutif, maupun legislatif, untuk menjadi pelayan terbaik bagi masyarakat. Untuk Anda yang sedang atau akan ke Swiss, silakan komplain ke saya jika tidak mendapat layanan memuaskan dari KBRI Bern.

*) Mantan wartawan Jawa Pos yang kini menjadi Dubes RI di Bern, Swiss. Dia bisa dihubungi di thedjokosusilo@gmail.com atau ambassador@indonesia-bern.org

Jumat, 04 Februari 2011

Cinta Itu Terbukti Sudah

 

Oleh Mushab Syuhada


„Fathimah“ seru ibuku perlahan. Matanya berkaca-kaca. „Ibu telah membicarakan hal ini dengan Ayahmu“ lanjutnya.
Aku menoleh ke arah Ayah yang duduk di sudut ruangan itu.
„Ada apa bu?“ tanyaku
„Seorang pemuda telah melamarmu. Ia hendak memperistrikanmu“ jawabnya. Ku lihat dua tetes air mata pecah mengalir.
„Lalu mengapa ibu bersedih?” tanyaku. “Fathimah siap menikah sekarang. Dengan siapa Fathimah hendak dinikahkan bu?“ sahutku kembali.
Tangis ibuku makin meledak. Ia memelukku erat sekali seolah tak ingin membiarkan aku pergi jauh darinya. Ayahku pun datang menghampiri kami dan merangkul kami yang sedang larut dalam air mata.

***

Haritsah – Pemuda yang akan meminangku nanti. Ternyata ia adalah adik dari suaminya Mujaadillah – teman baikku yang sedang mengandung delapan bulan. Mujaadillah sangat kaget dan juga senang ketika mengetahui bahwa aku akan menikah dengan Haritsah. „Kita akan menjadi sebuah keluarga besar, ukhti!“ katanya sambil tersenyum senang.

Tapi jujur aku belum pernah bertemu ataupun melihat pemuda yang sejak kecil telah yatim piatu itu. Dari namanya aku teringat akan sahabat Nabi yang dijanjikan masuk surga firdaus – Haritsah bin Suraqah ra. Aku membayangkan kesholehannya seperti sahabat Nabi itu. Kata Mujaadillah, jika aku ingin dapat melihat wajahnya, aku harus datang ke sebuah masjid kecil yang terletak di ujung utara desa kami pada waktu antara Ashar dan Maghrib. Biasanya pada waktu itu ia sedang berada di dalam masjid sambil melantunkan ayat-ayat Allah dari mushaf kecilnya.

Sore ini, dengan ditemani Mujaadillah, kami berangkat ke masjid kecil itu. Setelah selesai shalat Ashar berjama’ah, beberapa orang pergi meninggalkan masjid. Di balik hijab masjid kami duduk, dan tiba-tiba terdengar suara merdu dari bagian masjid untuk ikhwan. Suara seseorang yang melantunkan ayat Al-Qur’an. Begitu syahdu begitu hikmat. Inilah pemuda yang akan menjadi suamiku nanti. Aku hanya mendengarkan suaranya di balik hijab sambil meresapi ayat-ayat yang dibacanya.

Ia sedang membaca surah Ad-Dukhaan dan sampai pada ayat empat puluh tiga. Seketika bulu kudukku merinding. Ayat yang sedang dibacanya adalah ayat tentang sifat-sifat neraka. Mujaadillah telah menangis terisak-isak disampingku. Air matanya menetes ke perutnya yang sudah membesar. Aku pun menangis. Menangis karena aku teringat akan dosa-dosaku namun aku tak sanggup berada di dalam neraka seperti yang digambarkan pada ayat-ayat itu. Ku dengar lantunan merdu itu berhenti. Yang ada kini hanya isak-isak kecil kami. Mungkin ia menyadari ada orang lain yang sedang mendengarkan ayat-ayat suci yang dibacanya.

***

Minggu depan hari pernikahanku. Aku bertemu Mujaadillah di rumahnya. Keadaannya memburuk. Sejak tiga hari yang lalu ia jatuh sakit. Suaminya telah membawa dia ke dokter ternama di kota. „Tidak apa-apa kok, paling hanya gejala mau melahirkan“ katanya. Aku melihat tubuhnya yang sudah sedikit mengurus. Aku berbisik kepadanya „Ayo Mujaadillah, kamu harus kuat. Kamu harus sembuh, sebentar lagi kamu akan melahirkan. Kondisi badanmu harus fit“

Ia menjawab „Sungguh aku merasa senang sekali. Senang karena aku akan segera melahirkan. Kamu tahu Fathimah, aku ingin sekali membahagiakan suamiku. Jika kamu sudah menikah nanti, kamu juga harus mengabdi kepada suamimu. Harus. Itulah ladang jihadmu, Fathimah“. Wajahnya mencerah. Ia tak sabar menyongsong kelahiran putra pertamanya.

„Dan kamu tahu Fathimah, aku juga senang karena aku melihat sahabatku akan menggenapkan dien-nya. Insya Allah aku akan sembuh dan datang ke walimah nikahmu“ lanjutnya.

Aku menangis haru. Cahaya kedua bola mata Mujaadillah mengatakan kalau ia yakin akan sembuh. „Aku tunggu kamu di walimah nikahku. Cepat sembuh yah ukhti“ bisikku di telinganya yang ditutupi jilbab hijau kesukaannya. Cahaya matahari sore merambas masuk kedalam ruangan ini, memantul sedikit di atas wajah pucat Mujaadillah dengan seulas senyumnya yang khas.

***

Tiga hari lagi aku akan melaksanakan walimah nikah. Sampai sekarang aku belum pernah bertatap muka langsung dengan Haritsah. Aku sudah melihat fotonya yang diberikan oleh ayahku, namun tidak begitu jelas.

„Ini foto ketika Haritsah lulus dari sekolahnya anakku“
„Yang mana Haritsah, ayah? Ada sekitar empat puluh wajah di foto ini“
„Itu, yang berada di pojok kanan, yang sebagian wajahnya tertutup oleh kepala temannya“
Walau tidak terlalu jelas, namun ia tetap terlihat tampan. Aku berulang-ulang memanjatkan syukur kepada Allah atas jodoh yang kelak akan diberikan kepadaku.

„Ibu, bagaimana dengan masjid yang akan digunakan untuk ijab qabulku?“ tanyaku pada ibu.
„Itu semua sudah diurus oleh ayahmu. Kamu tahu masjid kecil di utara desa kita? Di situ kelak akan diberlangsungkan acara ijab-qabul“ jawab ibuku. Masya Allah, masjid kecil itu, masjid tempat Haritsah menghabiskan waktu Asharnya dengan bertilawah.
„Ibu, perasaanku sekarang sedang bercampur baur menjadi satu“
„Tenang anakku. Itu biasa bagi seorang gadis yang akan melangsungkan sebuah pernikahan. Waktu dulu ibu juga seperti kamu“

Tak lama Aisyah – salah satu temanku datang kepadaku.
„Fathimah, ada kabar yang kurang enak untuk kamu ketahui“ sahut Aisyah dengan nafas yang tersengal-sengal di hadapanku. Ia menatapku dan orang tuaku cemas.
„Ada apakah Aisyah? Ada musibahkah?“ tanyaku penuh rasa waswas. Ibu dan ayah juga terlihat cemas melihat kedatangan Aisyah yang secara tiba-tiba dengan disertai kabar yang katanya kurang enak.
“Mujaadillah akan segera melahirkan” jawabnya.
Seperti ada hembusan angin yang membuatku membuang nafas lega. “lho, bukankah itu berita bagus, Aisyah?”
Aisyah pun melanjutkan, “Namun dokter baru saja memberitahukan, kalau Mujadillah menderita tekanan darah rendah yang hebat. Kondisinya semakin lama semakin melemah, sementara ia harus segera melahirkan”
Buliran air mata tak terasa sudah berjalan di atas pipiku. Segera aku dan Aisyah pamit kepada ibu dan ayah untuk menemui Mujaadillah di rumah sakit di kota. Selama perjalanan kami ke kota, aku selalu memikirkan keadaan Mujaadillah sambil tak henti-hentinya berdoa kepada Allah untuk kesembuhan dan kekuatan Mujaadillah.

“Kamu tahu Fathimah, aku ingin sekali membahagiakan suamiku. Jika kamu sudah menikah nanti, kamu juga harus mengabdi kepada suamimu. Harus. Itulah ladang jihadmu, Fathimah“.
Seketika kalimat-kalimat yang pernah dilontarkan Mujaadillah berbunyi lagi di telingaku. Air mataku semakin tak dapat kutahan dan kubiarkan menderas. Aisyah memelukku mencoba menyabarkan aku dan tak henti-hentinya menyuruhku untuk menyerahkan semuanya kepada Allah.

***

Sesampainya di rumah sakit langkah-langkah kaki kami segera menuju ke ruangan persalinan tempat Mujaadillah kemungkinan berada. Terdengar suara isak tangis bayi di malam itu. Isak tangis seorang bayi yang baru saja dilahirkan. Seorang perawat terlihat sedang menggendong bayi mungil yang tangisannya memecahkan kesunyian di koridor tunggu rumah sakit itu. Seorang pria berdiri di sebelah perawat itu, dengan wajah yang tertutup bayangan lampu gantung dari atap koridor.

Pria itu adalah suaminya Mujaadillah. Mujaadillah telah melahirkan!

“Ya Mustafa apakah bayi mungil ini anakmu?” tanyaku dengan suara parau dan wajah yang basah oleh air mata. Mustafa – suami Mujaadillah menoleh kearah kami yang menanti jawaban darinya.
“Ya, dia anakku dan Mujaadillah. Alhamdulillah dia terlahir sehat dan sempurna” jawabnya.
“Alhamdulillah... lalu bagaimana kabar Mujaadillah, ya Mustafa?” lanjut pertanyaanku lagi. Jantungku memberikan degupan yang luar biasa atas harapan terhadap keadaan Mujaadillah – sahabatku.
“Kondisinya sangat lemah ketika melahirkan” jawabnya. Raut wajahnya segera berubah. “Mujaadillah telah menjemput syahidnya”
“Innalillahi wa inna illahi rooji’uun...” sahut kami sebelum larut pada tangisan karena kepergiannya. Mujaadillah telah pergi. Pergi dengan membawa bukti cintanya. Cinta kepada Rabb-nya serta cinta kepada suaminya.

Mustafa lalu memberikan aku secarik kertas yang ditulis oleh Mujaadillah sesaat sebelum ia dibawa ke ruangan persalinan. “Aku tidak tahu apa isinya. Mujaadillah mengamanahkanku surat ini untukmu. Bacalah” sahutnya.

“Fathimah, sahabatku yang kusayangi. Sungguh, jika aku menjemput syahidku pada persalinan ini, maafkan aku karena tidak dapat mendampingimu pada hari bahagiamu. Menikahlah Fathimah. Doaku bersamamu. – Mujaadillah”.

Wangi surga merembas di koridor tunggu rumah sakit pada malam kepergian Mujaadillah.

***

Suasana duka menyelimuti keluargaku dan juga keluarga Haritsah di dua hari menjelang pernikahanku. Setelah Mujaadillah dikebumikan, kami harus kembali mempersiapkan acara ijab qabul dan walimah nikahku yang kami adakan sesederhana mungkin. Keluarga Haritsah sibuk memilih mas kawin apa yang akan diberikan kepadaku.

Hari itu hari Ahad. Matahari bersinar dengan cerahnya. Keluarga kami telah sampai sejak dua jam yang lalu di masjid kecil tempat ijab qabul akan diucapkan. Hari ini – jika Allah menghendaki – aku akan menggenapkan dien-ku.

Terdengar kembali bunyi letusan dari arah kota setelah hampir dua minggu tidak terdengar letusan. Seorang tamu yang datang mengatakan bahwa tentara Zionis Israel berusaha kembali merebut jalur Gaza dan menguasai kota itu – kota Jerusalem beserta Al-Quds.





Hari pernikahanku diwarnai dengan letusan senjata-senjata sang Zionis.

Dua jam kami menunggu. Keluarga Haritsah pun sudah sampai di tempat. Beberapa tamu telah hadir. Namun kami belum melihat keberadaan Haritsah di masjid itu. Kami menginginkan pelaksanaan ijab qabul yang sesingkat mungkin mengingat keadaan yang tidak lagi memungkinkan.

„Sebelum kami pergi, Haritsah minta izin ke rumah temannya yang tidak dapat hadir ke acara ini untuk meminta doa restu pernikahannya“ sahut Mustafa yang hari itu bertindak sebagai wali Haritsah menggantikan ayahnya yang telah meninggal.
„Baik, kita tunggu saja kedatangannya dengan sabar“ sahut ayahku.
Perasaanku bergejolak kembali. Persis seperti ketika aku berangkat ke kota untuk menemui Mujaadillah yang akan bersalin. „Ya Allah... saya serahkan semuanya kepada-Mu“ gumamku dalam hati.

Seorang pemuda berbaju gamis terlihat datang ke masjid ini. „Assalamu’alaikum saudara-saudaraku, saya datang ke sini membawakan kabar dari kota. Tentara Zionis berusaha merebut kembali Al-Quds pagi tadi. Panggilan jihad telah berkumandang ke seluruh pelosok Palestina. Tadi saya bertemu dengan Haritsah, ia hendak memenuhi panggilan itu. Saya pun juga akan ingin memenuhi panggilan itu. Namun ia berkata pada saya, bahwa ia akan melangsungkan pernikahannya di hari ini dan di sini. Oleh karena itu ia meminta saya untuk datang ke sini serta mengabarkan bahwa Haritsah menangguhkan pernikahannya karena ia ingin berjihad di kota“

Semua yang hadir di sini diam tak bergeming.

„Ibu, ayah, kita tunda saja pernikahanku. Ada yang lebih penting dari pada pernikahanku“ sahutku ke orangtuaku.

***

Jerusalem di siang hari itu mengantarkan Haritsah sebagai syuhada yang kelak akan menghuni surga Firdaus. Aku jadi teringat sebuah kisah di jaman Rasulullah SAW dulu. Ada seorang pemuda yang bernama Abdullah bin Sulaim hendak menikah dengan puteri dari Abdurrahman bin Auf. Namun sebelum ia melangsungkan pernikahan, ada panggilan jihad yang segera ia turuti. Ia pun syahid di panggilan jihad itu, tanpa sempat menikah dengan puteri dari Abdurrahman bin Auf. Masya Allah, mirip sekali kisah itu dengan aku dan Haritsah kini. Ya Allah, tempatkanlah Haritsah di sisi-Mu. Ia telah membuktikan cintanya kepada-Mu. Ya Allah, sungguh cinta sejati hanyalah untukMu. Tidak ada lagi yang patut dicinta melebihi cinta kepadaMu. Niat Haritsah untuk menikahiku pun karena cintanya ia kepadaMu. Ya Allah, matikanlah juga aku dalam keadaan syahid suatu saat nanti, seperti Kau syahidkan Mujaadillah dan Haritsah. Ingin sekali aku bertemu dengan Mujaadillah dan Haritsah di bawah naungan surgaMu.

Sebulir airmataku jatuh lagi.

***

Epilog:
Pemakaman Haritsah. Ratusan orang hadir dalam upacara pemakaman, teriakan Allahu Akbar menggema di langit Palestina pagi itu. Aku teringat dengan bait nasyid kesukaanku: Khaibar khaibar ya Yahud! Jaizu Muhammad Saufaya’ud!


Berlin, 21 Juni 2005
Pukul 21:06, sesaat sebelum pergi shalat maghrib
Mushab Syuhada

Selasa, 01 Februari 2011

Handry Satriago, Memimpin Perusahaan Kelas Dunia dari Kursi Roda



Bos Termuda yang Suka Mengaku Tak Pernah Sakit

Menggantungkan aktivitas pada kursi roda tak menghentikan langkah Handry Satriago mengukir karir hingga ke puncak. Dalam keterbatasan, dia kini menjadi pemimpin utama perusahaan multinasional kelas dunia. 

IGNA ARDIANI, Jakarta

Sejak September 2010, jabatan presiden General Electric (GE) Indonesia berpindah tangan. Dari David Utama, tampuk pimpinan itu kini berada dalam genggaman Handry Satriago. Pria kelahiran Pekanbaru itu bukan orang baru di lingkup perusahaan multinasional kelas dunia tersebut.
Sebelumnya, Handry menangani Divisi GE Lighting. Terakhir, sebelum jabatan presiden diembannya, Handry merupakan direktur Power Generation GE Energy untuk kawasan Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Kamboja.  

Bergabung dengan GE Indonesia sejak 1997, karier pria 41 tahun itu boleh dibilang melesat. Hanya dalam tempo 13 tahun dia sudah menempati kantor presiden GE Indonesia. Handry tidak hanya menjadi pemimpin GE Indonesia termuda yang berasal dari dalam negeri, tetapi juga pimpinan pertama yang menggunakan kursi roda.

Sudah 18 tahun mobilitas Handry dibantu kursi roda. Jika ditanya penyebabnya, panjang cerita. Banyak orang yang mengidentikkan itu dengan penyakit. Tetapi, Handry bilang tidak. Dia sehat, hanya tidak bisa berjalan. Karena itu, sebenarnya dia cukup sebal jika harus bepergian dan ditanya-tanya.

’’Misalnya, saat di airport, saya ditanya oleh petugas, Bapak sakit apa? Saya bilang nggak sakit. Kok di kursi roda? Ya saya jawab karena nggak bisa jalan. Tapi, karena tetap harus menuliskan sakit, akhirnya saya bilang saja saya sakit saraf,’’ ujar Handry, kemudian tertawa.

Sebenarnya Handry menggunakan kursi roda bukan karena kakinya sudah tak mampu lagi berdiri maupun berjalan. Pria keturunan perantau Minang itu masih bisa melakukan keduanya. Hanya memang kualitas kakinya menurun sehingga dia hanya mampu berjalan pelan.

’’Saat kuliah dulu, empat tahun saya pakai kruk,’’ katanya. Persolannya, dia bukan tipikal orang yang senang berjalan santai. ’’Saya benci pelan. Nggak efektif saja hari-hari saya. Mending pakai kursi roda, cepat,’’ tegasnya.

Ihwal berkurangnya kemampuan kaki, kata Handry, itu terjadi karena kanker getah bening yang menyerang dirinya saat bangku kelas 2 (XI) SMA. Semula dia merasakan nyeri di sekitar tulang punggung. Rasa sakit yang menyiksa itu kemudian diikuti dengan penurunan kekuatan kaki yang makin lama terasa lemas.

Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan, terdapat kista di sumsum tulang belakang. Boleh jadi karena pada 1987 teknologi kedokteran belum semaju sekarang, pemeriksaan patologi anatomi tidak dilakukan dengan benar. Begitu kista diangkat, dia langsung dinyatakan sehat. Nyatanya, tiga bulan sesudah pengangkatan kista itu rasa nyeri muncul lagi, di lokasi yang sama.

Setelah dicek kembali, dokter mengatakan tak ada yang aneh. Mungkin rasa nyeri itu terjadi karena rematik. Namun, jika rematik, rasa sakit yang dia rasakan terlalu awet, tak mau hilang. ’’Tidur jadi susah. Telentang nggak enak, miring nggak enak. Akhirnya saya tidur dengan posisi duduk,’’ ujar suami Dinar Putri Sriardani Sambodja tersebut.  

Handry frustrasi, enggan ke dokter karena, menurut dia, tak membawa hasil. Dia lantas mulai mencoba macam-macam pengobatan alternatif. ’’You name it, mulai yang masuk akal hingga yang tidak masuk akal pernah saya coba,’’ kenangnya. Salah satu yang diingatnya, dia diminta telungkup, sementara punggung ditaburi beras, lantas ayam dilepas untuk mematuki beras itu.
Setelah itu, ayam disembelih, kemudian diperlihatkan bagian punggung si ayam yang menghitam. ’’Katanya, penyakit saya sudah ditransfer ke ayam,’’ katanya, lantas tertawa lebar. Lantaran tak mendapatkan pengobatan yang benar, kondisi kakinya kian lemah. Handry pun kembali ke rumah sakit.

Hingga akhirnya, dia bertemu dengan seorang ahli onkologi dan hematologi yang menyarankan untuk menjajal teknologi CT scan. ’’Saya termasuk pengguna mesin CT scan pertama waktu itu,’’ ujar alumnus Institut Pertanian Bogor tersebut.

Dari hasil pemindaian diketahui adanya kanker di tulang belakang. Kanker itu menekan sumsum tulang belakang dan telah mengenai saraf. Melalui operasi, kanker itu dibuang. Tetapi, karena telanjur merusak saraf, kemampuan kakinya tidak bisa kembali seperti semula.

Dokter memang tidak mengatakan stadium kanker yang diidap Handry. Yang jelas, kanker itu tergolong kanker getah bening yang sangat ganas dan juga amat mungkin kambuh kembali. Itu memang terjadi. Pada 1994, di bawah lapisan perut kiri Handry tumbuh benjolan besar.

’’Saya sedang skripsi waktu itu. Dokter menyarankan saya untuk menuntaskan skripsi sebelum operasi. Sebab, setelah operasi, saya harus menjalani kemoterapi,’’ ujar mahasiswa teladan nasional 1993 itu. Setelah 8 bulan kemoterapi, hingga sekarang kanker tak mengunjungi dia lagi.

Sebenarnya Handry tidak terlalu suka diulik-ulik soal penyakitnya. Namun, begitu menuntaskan promosi doktor dalam bidang ilmu manajemen stratejik di Universitas Indonesia dan waktu bersamaan naik jabatan menjadi presiden GE Indonesia, mau tidak mau, dia harus siap diekspos media. Pertanyaan seputar kursi roda pasti akan muncul juga.

Jauh dari perkiraannya, kisah hidupnya itu banyak mendapat feedback positif. Tak sedikit pembaca yang mengaku terinspirasi. Pemikirannya mulai berubah. ’’Mungkin ini adalah bagian dari usaha yang harus saya lakukan agar menjadi berguna,’’ ungkap putra tunggal pasangan Djahar Indra danYumalis Indra itu.

Dulu Handry berkeyakinan kuat kemampuan kakinya akan kembali lagi. Dia pun rajin menjalani sesi fisioterapi. Kenyataannya, kemampuan kakinya sudah maksimal, hanya mampu berjalan pelan. Lama-lama dia pasrah. Penyandang dua cum laude itu tak merasa menyesal.
Sebab, cobaan tersebut dirasa sudah memberikan lebih banyak daripada yang diambil darinya. ’’Saya bisa lebih termotivasi, bisa bertemu dengan banyak orang. Jika saya normal, mungkin saja sekarang saya tinggal di hutan,’’ ungkap Handry, lantas tertawa.

Meski dalam keterbatasan, penghobi baca itu cukup mandiri. Handry tak menyewa asisten khusus untuk membantu mobilitasnya. Dia lebih suka melakukan sendiri. Dia percaya bahwa pada dasarnya semua orang baik dan pasti mau membantu. ’’Jika ada yang perlu dibantu, ya dibantu. Jika tidak, ya saya melakukan sendiri,’’ katanya.   

Berbicara mengenai jabatan barunya sebagai pimpinan tertinggi di GE Indonesia, Handry tak menganggap itu sebagai puncak karir. Masih ada banyak hal yang ingin dilakukan.’’Saya ingin menjadi guru,’’ katanya. Karena alasan itu juga, Handry kembali ke bangku kuliah dan menempuh pendidikan doktor. ’’I feel alive ketika saya berada di kelas,’’ tegasnya. 

Harapannya, setelah menuntaskan tugasnya di GE, Handry bertekad akan memenuhi panggilan hatinya. ’’Sebenarnya semakin bisa ngajarin yang lebih basic semakin senang. Cuma, saya belum mempunyai  kesempatan untuk mengajar di SD, SMP, atau SMA,’’ ujar Handry. (*/c4/iro)