Selasa, 30 November 2010

UII (Universitas Islam Indonesia) - Jogyakarta

Dominasi UII di Lembaga Penegakan Hukum

Oleh: Tomy C. Gutomo

SECARA kebetulan atau tidak, para petinggi lembaga penegakan hukum di Indonesia banyak berasal dari almamater yang sama. Yakni, Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqqodas yang baru saja terpilih Kamis lalu (25/11) adalah alumnus sekaligus dosen Fakultas Hukum (FH) UII. Dia juga pernah menjabat dekan di FH UII. Kemudian, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud M.D. berasal dari perguruan tinggi tertua di Indonesia itu. Mahfud juga pernah menjadi pembantu rektor I UII dan kini menjabat ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UII.

Di Kejaksaan Agung, Wakil Jaksa Agung (mantan Plt Jaksa Agung) Darmono juga alumnus perguruan tinggi yang berdiri pada 8 Juli 1945 itu. Begitu juga di Mahkamah Agung (MA), ada satu hakim agung yang dikenal sangat tegas, yakni Artidjo Alkostar, yang juga alumnus dan dosen UII. Hakim agung perempuan, Sri Murwahyuni, pun belajar hukum di UII. Kemudian, di Komisi Yudisial (KY), ada dua calon komisioner yang merupakan keluarga UII, berpeluang menjadi ketua KY pengganti Busyro. Mereka adalah Jawahir Thontowi dan Suparman Marzuki. Jawahir adalah dosen FH UII dan bahkan pernah menjabat ketua IKA UII. Sementara Suparman adalah direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) UII dan mantan direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) UII.

Di luar lembaga-lembaga di atas ada dua lembaga nasional lain yang terkait dengan penegakan hukum. Yakni, Komnas HAM serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dua lembaga itu dipimpin alumnus UII juga. Komnas HAM dipimpin Ifdhal Kasim, mantan aktivis mahasiswa UII. Sedangkan LPSK dipimpin Abdul Haris Semendawai, yang juga alumnus UII yang dulu aktif di lembaga pers mahasiswa (LPM) Himmah.

Belum lagi sejumlah pengacara top di Jakarta juga dari UII. Para pengacara itu, antara lain, Henry Yosodiningrat, Ari Yusuf Amir, dan Maqdir Ismail. Henry juga dikenal sebagai ketua Granat (Gerakan Nasional Antinarkoba dan Psikotropika). Saat ini dia menjadi pembela mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji. Sedangkan Ari Yusuf Amir dan Maqdir Ismail dikenal sebagai pengacara mantan Ketua KPK Antasari Azhar.

Mengapa UII? Pertama bisa jadi karena faktor pengalaman. UII adalah perguruan tinggi tertua di Indonesia yang berdiri pada 8 Juli 1945. UGM yang merupakan PTN tertua di Indonesia baru berdiri pada 19 Desember 1949. Kampus UII didirikan oleh proklamator Mohammad Hatta bersama para tokoh Masyumi, antara lain M. Natsir dan Kahar Muzakar. Doktrin para tokoh itu hingga saat ini masih dipelihara dan terus ditanamkan kepada mahasiswa. Doktrin itu sangat terkenal, yakni berilmu amaliyah dan beramal ilmiah. Tidak heran kalau para pendiri UII begitu menginspirasi para tokoh yang kini memegang jabatan strategis di lembaga penegakan hukum.

Tentu banyak yang curiga ada setting dari ”gank” UII untuk mendudukkan alumnusnya di lembaga-lembaga tersebut. Apalagi, alumnus IKA UII dipimpin Mahfud M.D. dan sering melakukan pertemuan dengan para alumnus seperti Busyro Muqqodas, Ifdhal Kasim, Abdul Haris Semendawi, Jawahir Thontowi, Suparman Marzuki, Artidjo Alkostar, Sri Murwahyuni, dan sebagainya. Wajar bila ada kecurigaan, jangan-jangan keputusan hukum yang keluar dari lembaga-lembaga hukum itu digodok terlebih dahulu di IKA UII. Namun, sejauh ini belum pernah ada dan tak pernah terbukti adanya UII connection di balik keputusan hukum. 

Sejauh ini integritas para alumnus yang memegang posisi strategis di lembaga penegakan hukum masih terjaga. Bahkan, karena satu almamater, mereka bisa mengontrol satu sama lain. Kalau ada yang mulai kendur, yang lain bisa menyemangati. Kalau mulai ada yang melenceng, yang lain bisa mengingatkan.

Di era Orde Baru, menteri kabinet juga dikuasai kampus tertentu. Tak jauh dari ITB, UI, IPB, dan UGM. Bahkan, di awal pemerintahan Soeharto ada istilah mafia Berkeley. Itu adalah julukan bagi sekolompok menteri bidang ekonomi dan keuangan, yang menentukan kebijakan ekonomi di zaman Soeharto. Sebagian besar menteri adalah lulusan doktor atau master dari University of California di Berkeley pada 1960-an, atas bantuan Ford Foundation. Para menteri tersebut sekembalinya dari Amerika Serikat mengajar di Universitas Indonesia.

Pemimpin tidak resmi mereka adalah Widjojo Nitisastro. Para anggotanya, antara lain, Emil Salim, Ali Wardhana, dan J.B. Soemarlin. Dorodjatun Koentjoro-Jakti yang lulus belakangan dari Berkeley kadang-kadang juga dimasukkan sebagai anggota kelompok ini. Dengan teknik-teknik makroekonomi yang didapat  dari Berkeley, mereka menetapkan berbagai kebijakan makroekonomi dan deregulasi yang memacu kegiatan ekonomi Indonesia yang macet pada masa pemerintahan Soekarno (Wikipedia). Belakangan mafia berkeley dituding sebagai biang kehancuran perekonomian Indonesia karena terlalu membebek sistem perekonomian di AS.

Bagi para civitas academica UII, kehadiran orang-orang UII di pucuk lembaga penegakan hukum menjadi kebanggaan sekaligus beban. Tidak ada kampus yang tidak bangga ketika alumnusnya menggapai keberhasilan. Menjadi beban karena bila para tokoh itu gagal menjalankan amanah yang diembannya, citra UII juga akan ikut jatuh. Justru saat ini adalah pertaruhan terbesar UII di kancah penegakan hukum. Bila para alumnus UII di lembaga penegakan hukum berhasil, UII akan ikut mendapat citra yang baik.

Sebaliknya, bila salah satu pemimpin lembaga penegakan hukum dari UII itu melakukan korupsi atau menerima suap, institusi UII juga ikut tercemar. Karena itu, mahasiswa, alumnus, dosen, dan institusi UII harus ikut mengontrol para pejabat di lembaga penegakan hukum yang berasal dari UII. Bila tidak dikontrol, bukan tidak mungkin suatu saat nanti para alumnus itu mendapat julukan mafia hukum.

*) Tomy C. Gutomo, Wartawan Jawa Pos, alumnus UII

DPR, Kunjungan Kerja main main...



Kunker ke Luar Negeri, Yang ”Soro” dan ”Tidak Soro”
Oleh Djoko Susilo

Banyak sudah sorotan publik terhadap kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri oleh kalangan eksekutif maupun legislatif. Namun, tidak banyak yang mengungkapkan kerepotan persiapan dan pelaksanaan di pihak penerima, terutamanya KBRI (kedutaan besar RI). Berikut catatan Djoko Susilo, mantan wartawan Jawa Pos yang sekarang tinggal di Swiss.
------------

Belum lama ini, sebuah surat dari pimpinan DPRD di salah satu provinsi di luar Jawa membuat saya jengkel dan kesal bukan main. Surat itu menyatakan bahwa sebuah rombongan DPRD dari provinsi tersebut akan melakukan kunker resmi selama seminggu di Swiss. Namun, mereka menyatakan hanya punya waktu untuk kegiatan resmi pada hari pertama, mulai pukul 13.30 waktu setempat sampai malam.

”Kami mohon bisa diatur acara dengan pihak Swiss pada jam tersebut, terserah pukul berapa saja, sampai malam,” ujar seorang petugas penghubung provinsi itu kepada staf saya.
Dalam keterangan petugas tersebut, sebut saja namanya Lidya, rombongan itu sudah merencanakan hal tersebut secara matang dan sesuai dengan ”arahan” pimpinan dewan.  Hari kedua direncanakan untuk pergi ke Jungfrau, sebuah tempat wisata terkenal di Swiss. Hari ketiga dan keempat, rencananya, mereka berada di Paris. Lalu, hari kelima dan keenam, mereka berada di Belanda. Di Paris maupun Belanda, acaranya hanya ngelencer.

Taufiq Rodhy, staf KBRI Bern yang bertugas mengoordinasikan kegiatan kunjungan, minta pertimbangan saya untuk menghadapi kemauan rombongan DPRD tersebut. Saya langsung dengan tegas mengatakan menolak rencana DPRD yang mau bikin kunjungan secara ngawur itu. Saya katakan, kalau rombongan DPRD mau tamasya ke Swis, silakan. Tetapi, tidak ada urusannya dengan KBRI. Dengan kata lain, KBRI tidak akan menstempel SPPD (surat pertanggungjawaban perjalanan dinas) yang mengesahkan dikeluarkannya dana negara untuk kegiatan tersebut.
”Minimal, mereka harus 50 persen atau syukur-syukur bisa 75 persen melakukan kegiatan resmi. Kalau tidak, biar mereka mengurus sendiri,” tegas saya.

Memang benar, rata-rata kunker ke luar negeri, khususnya oleh kalangan legislatif, selama ini kurang berjalan maksimal. Umumnya, sasaran kunjungan juga kawasan yang enak-enak. Misalnya, Eropa, Amerika, Australia, Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, dan lain-lain. Hampir tidak ada atau bisa dikatakan sangat jarang kunjungan ke negara yang dianggap sengsara. Meskipun, dari segi diplomatik dan politik, hal itu sangat perlu bagi kepentingan nasional. Misalnya saja, kunjungan ke Afrika atau Asia Tengah.

Itu semua bisa tecermin dari data KBRI. Misalnya, KBRI Den Haag dalam setahun bisa mengurus 4.500 kunjungan dari berbagai instansi. ”Itu saja yang resmi mengirim kawat berita. Yang tidak resmi lebih banyak,” ujar Dubes RI di Belanda J.E. Habibie kepada saya beberapa waktu lalu. Sebaliknya, pada 2008 saya pernah ke Abuja dan diberi tahu bahwa KBRI di ibu kota Nigeria tersebut dalam setahun hanya meng-handle beberapa rombongan. Saya dan Ibu Nursyahbani waktu itu menjadi orang pertama DPR tahun itu yang pergi ke Nigeria. Padahal, saya berkunjung saat sudah Oktober. Sangat jarang anggota DPR, apalagi DPRD, mengadakan kunker ke Nigeria.

Kunker ke luar negeri, baik oleh kalangan legislatif maupun eksekutif, umumnya bisa digolongkan ke tiga kelompok. Pertama, misi diplomatik dan kebudayaan. Pemerintah maupun DPR bisa melakukannya. Itu bukan hanya domain Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Saya pernah ikut rombongan tersebut ke Malaysia pada 2009 dalam rangka masalah Ambalat. Kedua, konferensi. Untuk urusan tersebut, DPR punya agenda tetap tahunan yang cukup banyak, antara lain IPU (International Parliamentary Union), AIPA (ASEAN Inter Parliamentary Assembly), APP (Parlemen Asia Pasifik), dan PUIC (Parlemen OKI). Ketiga, kunjungan yang bersifat muhibah. Kunjungan terakhir itulah yang biasanya bermasalah dan sering disebut ngelencer saja. Dalam kategori ketiga tersebut, tidak ada seleksi ketat. Hanya bagi-bagi jatah di antara anggota yang sesuai dengan komposisi fraksi.

Dalam kategori misi diplomatik, kemampuan dan keberanian anggota harus sudah teruji. Saya ingat, ketika komisi I mengutus tim ke Malaysia –di antaranya saya, Yusron, Happy Bone, Andre Pereira, dan Sidki Wahab–, tiap-tiap personel sudah dikenal sebagai pengkritik Malaysia soal Ambalat. Tidak hanya mampu berdiplomasi, kami juga harus berani secara tegas menghadapi petinggi Malaysia. Dalam misi tersebut, kami bertemu dengan panglima tentara Diraja Malaysia, menteri pertahanan, dan sejumlah petinggi lain. Meski friendly, kami tetap harus tegas.

Untuk misi diplomatik maupun konferensi, stok DPR agak terbatas. Pertama, kemampuan bahasa. Kedua, pengetahuan internasional. Hampir dipastikan mayoritas orang yang ikut dalam misi tersebut sejak dulu jarang diganti. Biasanya, yang ikut adalah eks anggota komisi I atau BKSAP (Badan Kerja Sama Antarparlemen). Pada masa saya di DPR, yang langganan untuk misi semacam itu, saya ingat, di antaranya Sabam Sirait,  Iris Indira Murti, Tutik Lukman Sutrisno, dan Abdillah Thoha. Penugasan untuk misi diplomatik tersebut termasuk kurang ”laku”. Sebab, jadwal kegiatan sudah jelas dan padat serta dianggap berat.

Karena itu, banyak di antara anggota DPR yang memilih kunker muhibah. Kunker tersebut terdiri atas tiga bagian. Pertama, kunker komisi. Artinya, seorang anggota bisa pergi ke luar negeri sebagai anggota komisi. Kedua, kunker sebagai anggota pansus sebuah undang-undang atau tim penyelidikan. Ketiga, kunker sebagai anggota GKSB atau Grup Kerja Sama Bilateral. Setiap anggota DPR biasanya dialokasikan menjadi anggota grup GKSB. Misalnya, saya pernah menjadi anggota tim kunker GKSB ke Rumania. Kunker GKSB itu baru dimulai sekitar 2007. Jadi, rata-rata seorang anggota DPR dalam setahun bisa pergi ke luar negeri dengan ongkos dinas 3–4 kali.

Perjalanan ke luar negeri juga bisa terjadi karena mereka diundang LSM atau pemerintah negara sahabat. Misalnya saja, antara 2005–2009 saya menjabat wakil ketua ASEAN Inter Parliamentary on Myanmar Caucus dan presiden IPF-SSG (Intern Parliamentary Forum on Security Sector Governance). Hal itu membuat saya sering diundang ke beberapa negara ASEAN tiap tahun, juga Eropa dan Amerika. Tapi, kunjungan ke luar negeri seperti itu tidak laku di DPR. Sebab, selain sering harus bikin makalah dan berbicara dalam forum internasional, saya hanya dapat fasilitas hotel dan tiket ekonomi. Tidak ada uang saku dan lain-lain.

Memang kalau mengikuti kunker ke luar negeri yang bisa dikategorikan ngelencer itu, fasilitasnya luar biasa dan pekerjaannya enteng banget. Ambil contoh, sebuah tim pansus beberapa waktu lalu resmi ke Swiss dengan anggaran untuk satu minggu. Acara resmi hanya sehari, ketemu saya sebagai Dubes dan satu-dua official meeting. Besoknya, sebagian anggota sudah kabur ke Milan, Italia. Ada yang pergi ke Paris, Jerman, dan lain-lain. Sebenarnya, saya sudah minta mereka menunda kepergian itu sekitar dua minggu lagi agar persiapan lebih matang. Tapi, jawabannya, karena ada anggota rombongan yang telanjur jalan ke Kanada, diteruskan ke Swiss, jadwal tidak bisa ditunda. Rupanya, dia ikut kunker komisi ke Kanada, terus ke Swiss sebagai kunker pansus.

Mengapa kunker ngelencer paling populer di kalangan anggota dewan? Pertama, kerjanya enteng dan memang mayoritas benar-benar hendak ngelencer. Kedua, uang sakunya lumayan banyak. Untuk pergi ke Swiss atau Eropa, pada umumnya jatah satu hari mereka USD 400–450 dolar AS dengan indeks pesawat bisnis sekitar USD 6.500. Jika naik kelas ekonomi, dibutuhkan sekitar USD 1.500 untuk perjalanan Zurich–Jakarta pp (pergi-pulang). Bila naik kelas bisnis, dibutuhkan USD 3.500. Dari harga tiket saja, sudah ada selisih USD 5.000 atau USD 3.000. Sementara itu, tarif hotel di Swiss rata-rata USD 200. Itu sudah memadai. Jadi, bisa dipastikan dana yang ada sudah lebih dari cukup. Pertanggungjawabannya juga gampang. Sebab, anggota DPR terima lump sum sehingga tidak harus melaporkan kuitansi hotel, boarding pass, dan lain-lain.

Ke depan, sebaiknya yang ikut kunker diseleksi, yakni yang memiliki kemampuan diplomasi dan bahasa. Itu semua dilakukan agar perjalanan ke luar negeri efektif. Sebaiknya juga, pimpinan DPR mewajibkan jadwal kunker dibagikan kepada media secara bebas. Dengan begitu, publik bisa melihat apa saja kegiatan anggota dewan selama  berada di luar negeri.
Sayang, sampai sekarang masih banyak yang kucing-kucingan, tidak mau transparan soal program yang akan dilakukan. (c11/kum)

Minggu, 28 November 2010

Jember, Rumah Belajar Matematika



Nur Fitriana/Radar Jember - Jawa Pos Group
OBSESI GURU: Siti Nurul Khasanah ingin mencerdaskan anak bangsa melalui matematika.

Siti Nurul Khasanah Merintis Rumah Belajar Matematika di Jember
Sukses Antar Belasan Anak Juara Olimpiade Matematika

Sukses mengantar tiga anaknya menjuarai olimpiade matematika mendorong Siti Nurul Khasanah, alummus MIPA UGM Jogjakarta, merintis rumah belajar matematika. Tujuannya, mencetak siswa yang andal di bidang matematika.

NUR FITRIANA, Jember

”BANYAK bilangannya seratus. Lalu, banyak pasangannya 50. Jumlah tiap pasangan 598. Lalu, berapa jumlah deretnya?” ujar Siti Nurul Khasanah kepada anak-anak usia SD di hadapannya.
Anak-anak tersebut sibuk mengutak-atik bolpoin di atas buku. Sementara itu, perempuan berjilbab tersebut dengan sabar memberikan jeda.

Setelah lebih lima menit, dia menunjuk seorang anak. ”Nouval,” ucap dia.
Yang ditunjuk hanya bergumam tidak jelas. Siti mulai tidak sabar. Dia mengulangi pertanyaannya. ”Berapa, Nouval?” tanyanya. Kali ini si anak berpikir keras.

”Jumlah deret sama dengan 50 dikalikan 598. Hasilnya, 29.900, Bu!” ujar si anak terbata-bata. Perempuan itu tersenyum, lalu menambahkan sebuah gambar bintang di depan nama Nouval yang tertulis di papan bersama nama-nama lain, seperti Sony dan Ayu yang telah mendapatkan empat bintang.

Siti Nurul Khasanah adalah guru spesialis olimpiade yang berhasil mengantar belasan anak mencapai tahap-tahap lomba olimpiade matematika di tingkat kecamatan hingga tingkat internasional. Dia biasa disapa Nurul. Sore pada 26 November 2010, dia mengajar 12 siswa yang disiapkan untuk mengikuti olimpiade matematika.

Saat Jumat, dia mengajarkan matematika khusus olimpiade. Pada Minggu, dia mengajar privat beberapa siswa SMP untuk mata pelajaran matematika serta para siswa SD yang akan menjalani UASBN.

Ibu tiga putra dan empat putri itu mengawali karir sebagai pengajar privat sebelum meluluskan kuliahnya di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan IPA (MIPA) Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta. Dia terobsesi menjadi guru. Bagi dia, sosok guru luar biasa.

Karena itu, ketika pindah ke Jember bersama dengan suami yang merupakan dosen di Fakultas Teknik Pertanian Unej, dia memutuskan mengambil akta empat di Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Jember.

”Sembilan tahun saya jadi ibu rumah tangga. Rasanya, gereget saya mengajar semakin besar. Alhamdulillah, suami mendukung saya mengambil akta empat,” ujar dia.
Keinginan perempuan kelahiran Magelang, 8 Februari 1969, itu menjadi guru tercapai pada 2004. Dia menjadi guru di SMA Muhammadiyah Rambipuji, Jember.

Meski menempuh jarak cukup jauh dari rumahnya di Perumahan Bedadung Indah Blok U Nomor 10 ke Rambipuji dengan menggunakan angkot, dia menjalani pekerjaan itu dengan ikhlas.
”Waktu itu bersejarah sekali bagi saya dan anak-anak. Mereka setelah sekolah harus naik angkot menuju Pasar Tanjung. Kalau saya datang dulu, saya menunggu mereka di pinggir jalan H.O.S. Tjokroaminoto. Kalau mereka datang dulu, merekalah yang harus menunggu saya,” ujar dia.
Sayang, meski mencintai pekerjaan tersebut, Nurul yang saat itu hamil tua harus mengundurkan diri setelah berjuang dua tahun jadi guru SMA Muhammadiyah Rambipuji. Dia tidak ingin terlalu lelah dan mengabaikan anak-anaknya yang masih kecil.

Meski belum bisa mewujudkan cita-cita mendidik anak bangsa lewat profesi guru, dia ingin memulainya dengan mengajar anak-anaknya sendiri. Dia ingin mendidik anak-anaknya sehingga bisa mencapai prestasi gemilang.

Tepat 2005, perempuan yang menikah pada 1994 itu berhasil mendorong anak pertamanya, Ahmad Mutafakkir Alam, menjadi juara olimpiade matematika tingkat nasional.
Berbekal itu, Nurul mulai mempersiapkan anak keduanya, Adzka Muhammad Mumtaz, bergelut di bidang yang sama dengan sang kakak. Belajar matematika kepada ibu dan bahasa Inggris kepada ayah, Tasliman.
Tidak mudah mempersiapkan kematangan anak-anaknya. Nurul harus mempelajari teknik menjawab soal-soal olimpiade matematika.

Ketika anak-anaknya bersekolah, dia belajar mengerjakan puluhan soal olimpiade matematika di sela-sela mengurus pekerjaan rumah tangga.     Bagi dia, hadiah terbesar adalah kepuasan ketika anak-anaknya bisa menguasai matematika di luar kepala.
Menyelesaikan soal dengan cepat melalui beragam metode pengerjaan sudah menjadi penganan wajib Nurul sekeluarga.

Putri ketiganya, Adiba Nur Ashri Ramadhani, lolos dalam olimpiade matematika tingkat internasionl dengan medali perunggu. ”Alhamdulillah, kini bukan hanya anak-anak saya yang berhasil dalam matematika. Banyak anak yang mengikuti kursus matematika dengan saya yang juga akhirnya bisa menjadi terbaik di kecamatan hingga kabupaten,” ungkap dia.

Saat ini Nurul merintis rumah belajar matematika. Diharapkan, fasilitas itu bisa mencetak anak-anak bangsa, khususnya di Jember, supaya bisa berlaga di berbagai medan.  ”Mereka harus menjadi anak-anak hebat. Tidak harus melalui olimpiade, tetapi juga di kelas dan sekolah,” ucap dia. (c11/bh)

Haji, berangkat dengan cuci darah tiap 5-6 jam



Amin Mahmudi dan Siti Masruroh saat akan berangkat menuju Bandara Juanda kemarin & Tumpukan kemasan cairan yang akan dibawa ke Tanah Suci.


Amin Mahmudi, Penderita Gagal Ginjal Yang Nekat Berangkat Haji
Tiap Lima Jam Cuci Darah, Bawa 369 Kg Cairan

Penyakit gagal ginjal tak menyurutkan niat Amin Mahmudi, 61, untuk menunaikan ibadah haji. Meski tiap 5-6 jam harus menjalani cuci darah, dia tetap berangkat ke Tanah Suci kemarin. Bagaimana dia akan menjalaninya?

JUNEKA SUBAIHUL MUFID (Jawa Pos)

Sebuah kantong plastik putih diambil Siti Masruroh dari dalam tas. Kantong tersebut berisi dua kantong lagi. Satu kantong berisi cairan untuk cuci darah melalui perut (continuous ambulatory peritoneal dialysis/CAPD) dan satunya kosong. Wanita 50 tahun itu kemudian meletakkan kantong dengan berat kira-kira 2 kg tersebut di samping suaminya, Amin Mahmudi.

Untuk apa cairan tersebut? Masruroh menjelaskan, cairan itulah yang membantu suaminya bertahan hidup sampai sekarang. Cairan CAPD itu digunakan untuk mencuci darah Amin yang sejak enam tahun lalu menderita gagal ginjal.

Sebelum mengidap gagal ginjal, Amin terkena hipertensi atau tekanan darah tinggi dan asam urat. Dua penyakit tersebut, kata Amin, menyebabkan ginjalnya tak berfungsi dengan baik. ”Saya kurang tau rusak keduanya atau cuma satu. Kata dokter, ginjal saya mengecil. Itu saja,” tutur Amin menceritakan penyakit yang dideritanya kemarin (6/11).
Dua bulan pertama dinyatakan gagal ginjal, Amin diharuskan rutin datang ke rumah sakit untuk hemodialisis atau mencuci darah melalui mesin. Dengan cara itu, darah dikeluarkan dari tubuh dan masuk ke "ginjal buatan" (mesin) kemudian dibersihkan dengan cairan pembersih (dialisat).

Selama dua bulan itu, dokter meminta Amin tidak makan makanan yang mengandung lemak. Dalam kurun waktu dua bulan itu pula, dia cuci darah sampai 20 kali. ”Rasanya nggak enak. Nggak bebas. Makan diatur-atur,” tambahnya.

Dua bulan berlalu, dia mengaku tidak kerasan dengan terapi hemodialisis. Lantas, dia memilih cuci darah dengan terapi CAPD atau cuci darah melalui perut. Sebuah slang untuk mengalirkan cairan itu menyembul pada perut bagian kiri. ”Kalau di sebelah sini enak. Saya tidurkan miring ke kanan. Ya, terkadang dikasih bantal untuk penyangga,” ucapnya.

Terapi dengan CAPD dapat dia lakukan sendiri. Dalam sehari, Amin harus melakukan terapi tiga sampai empat kali. Masruroh pun menjelaskan cara terapi dengan CAPD yang biasa dilakukan sang suami. Dia pun mengambil satu tas ransel berisi peralatan yang biasa digunakan untuk terapi tersebut.

”Ini ada tisu untuk membersihkan. Ada alkohol juga,” jelas Masruroh sambil mengeluarkan tisu dan botol alkohol dari tas. Selain itu, dia menunjukkan sebuah alat berbentuk segitiga yang punya beberapa cabang untuk pemasangan slang. ”Saya nggak tahu namanya. Biasanya saya sebut cenggeh,” kata Masruroh lantas terkekeh. Selain itu, alat yang digunakan adalah lakban untuk menutup saluran slang pada waktu mandi. ”Ini ada timbangan juga,” tambahnya.

”Caranya begini,” ujar Masruroh. Dia lantas membuka sedikit kantong yang berisi kantong cairan CAPD dan satu kantong kosong. Kantong kosong digunakan untuk menampung cairan CAPD yang mengalir dari dalam perut. Cara kerjanya, pertama, cairan yang ada di perut dikeluarkan. Lantas cairan itu ditimbang untuk mengetahui beratnya. ”Cairan yang masuk kan 2.000 ml. Bisa keluar sampai 2.200 ml,” jelas Masruroh.

Setelah itu, dia memasukkan cairan CAPD baru ke dalam perut melalui slang. ”Cukup diputer aja knopnya. Terus masuk sendiri,” ucapnya.
Kira-kira cuma butuh waktu 15 menit untuk memasukkan CAPD 2.000 ml tersebut. Setelah semua cairan masuk, slang ditutup dengan disinfection cap. ”Biasanya ayah melakukannya sendiri. Gak merepotkan kok,” tutur Masruroh. Amin pun mengangguk. Kata Amin, dia biasa melakukannya dengan nonton televisi atau saat duduk santai.

Amin sangat hafal dengan jadwal terapi CAPD-nya. Jika sehari dilakukan dalam empat kali, dia harus memasukkan cairan itu pada pukul 05.30, 10.00, 16.00, dan 21.00. Jika hanya tiga kali, terapi dilakukan pada pukul 06.00, pukul 13.30, pukul 21.00. Jika dirata-rata, dia harus terapi dalam jarak 5–6 jam. Kalau telat lebih dari sejam dari waktu tersebut, kata Amin, kakinya membengkak. ”Tapi, nggak terlalu gede,” tambahnya.
Ada dua jenis CAPD yang dipakai Amin. Yakni, yang berkadar 1,5 persen dan 2,3 persen. ”Kalau empat kali terapi, menggunakan 1,5 persen sekali pada pagi dan tiga terapi sisanya pakai 2,3 persen,” ujar Masruroh.

Perbedaannya, CAPD 1,5 persen berisi 2.000 ml cairan itu saat dikeluarkan bisa sampai 2.200 ml. Sedangkan CAPD 2,3 persen bisa keluar sampai 2.500 ml. Kelebihan 200 ml dan 500 ml itu merupakan sisa makanan atau nutrisi yang berada dalam tubuh.
Warna cairan yang keluar sama dengan cairan CAPD baru. Kalau warnanya lebih keruh, ujar Masruroh, berarti ada yang tidak beres. ”Maka harus segera ke dokter. Begitu pula jika yang keluar kurang dari 2.000 ml,” tambahnya.

Dalam sehari Amin bisa menghabiskan empat kantong CAPD. Satu kantong CAPD, kata Amin, seharga Rp 40 ribu. Jadi, tiap hari harus keluar uang Rp 160 ribu atau Rp 4,8 juta sebulan. Namun, dia tak keluar uang sepeser pun. ”Ayah kan pensiunan pegawai negeri sipil, jadi dapat gratisan dari Askes,” tuturnya.

Masruroh mengatakan, pada minggu pertama tiap bulan, ada orang yang mengantarkan paket CAPD ke rumahnya di Jalan Dahlia, Tumpang, Malang. ”Biasanya tiap tanggal tujuh dikirim,” tambah Amin yang kini jadi petani tebu.

Untuk biaya berangkat haji, Amin mengumpulkan dari gaji dan keuntungan hasil penjualan tebu. Putri pertama mereka, Ika Rahmawati, 28, sudah menikah. Anak kedua, Muhammad Ziaul Haq, 25, sudah bekerja di PT PLN. Dan si bungsu, Ilham Aya Putri Pratiwi, masih berusia 16 tahun dan duduk di bangku SMA. ”Alhamdulillah, ada rezeki untuk berangkat haji. Anak-anak sudah besar semua,” kata Masruroh.

Dia punya rencana sejak lama untuk bisa berhaji. ”Baru 2008 terealisasi. Lantas menunggu untuk berangkat tahun ini,” ucap Amin.

Amin menyadari bahwa haji merupakan ibadah yang membutuhkan kekuatan fisik. Hal itu tentu menjadi kendala tersendiri baginya. Sebab, seorang yang terkena gagal ginjal tidak diperkenankan terlalu capai. ”Insya Allah saya kuat,” jawab Amin.

Dia berkata bahwa pada saat nanti melakukan rangkaian ibadah haji dan tubuhnya itu capai, Amin akan berhenti sejenak. Misalnya saat tawaf, mengelililingi Kakbah atau saat sai, berlari kecil dari Shafa dan Marwa. ”Saya sudah punya bayangan akan seperti apa di sana. Ya dijalanin saja,” tuturnya.

Sebagai persediaan cairan CAPD selama di Tanah Suci, Amin membawa CAPD 1,5 persen 40 pak, CPAD 2,3 persen 120 pak, dan disinfektan cap 160 pak. Semua obat tersebut dikemas dalam 41 kardus. Saat ditimbang oleh petugas, berat rata-rata tiap kardus 9 kg. Jadi berat seluruhnya 369 kg.

Bagaimana dia bisa lolos tes kesehatan? Menurut Amin, dirinya dinyatakan lolos karena bisa melakukan semuanya sendiri. Dia bisa mengganti cairan sendiri tanpa bantuan dokter.

Jarum jam di dinding asrama haji menunjukkan pukul 09.30. Muhtar, 47, teman sekamar Amin, telah berangkat menuju gedung Mina untuk pemberangkatan kloter 77. Amin pun bangkit dari duduknya. Dia menuju kamar kecil. ”Kalau kencing itu sedikit. Paling dua tetes,” ujar Masruroh.

Amin segera mengenakan pakaian ihram dibantu sang istri. Slang yang ada di perutnya dia tata sedemikian rupa sehingga mudah mengenakan pakaian yang tanpa jahitan itu. Selanjutnya, mereka menuju gedung Mina untuk bersiap menuju Bandara Juanda. Amin hanya membawa tas berisi paspor yang dikalungkan pada leher. Istrinya membawa dua tas tenteng. Dua tas lainnya dibawa oleh dua orang yang mengunjungi Amin pagi itu. ”Terima kasih ya nak, kami doakan bisa berangkat haji juga,” kata Masruroh kepada Nur Yasin Shirotol Mustaqim, petugas bagian Humas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi Surabaya.

Beberapa lama dia menunggu untuk dipanggil oleh petugas bagian pemberangkatan. Setelah dipanggil dan diberi perlengkapan berupa paspor dan uang saku 1.500 real, Amin dan Masruroh menuju bus. Sebelumnya, tas mereka diperiksa. Saat melewati X-ray, ditemukan gunting kecil di tas milik Masruroh. ”Guntingnya ditinggal saja, Bu,” ujar petugas keamanan. ”Ini untuk menggunting lakban. Untuk pengobatan suami saya,” jawab Masruroh. ”Nanti minta sama petugas kesehatan saja. Ada kok,” kata petugas.

Masruroh pun mengalah dan memberikan gunting kecil itu kepada petugas. Kedua pasutri CJH itu kemudian masuk bus, bergabung dengan rombongan. ”Terima kasih ya, Nak, nanti saya doakan juga,” ujar Masruroh setelah difoto. (c2/nw)

Pelantun Ayat-Ayat Alquran (3)



Maria Ulfa di kediamannya, komplek Ciputat Baru, Tangerang Selatan, Jumat (26 November 2010). Foto: Sugeng Sulaksono / Jawa Pos

Maria Ulfa

Cetak Qariah, Bangun Pesantren di Rumah

Di mata Maria Ulfa, keterpurukan Indonesia tidak hanya di bidang olahraga dan pendidikan, tetapi juga di dalam pendidikan seni membaca dan hafalan kitab suci Alquran. Qariah yang menjadi juara dunia di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 1980 itu prihatin karena perhatian pemerintah memudar seiring dengan hilangnya gema Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) di negeri ini.

Contoh perhatian yang tidak seantusias dulu terjadi ketika Maria menjadi official qariah Ade Halimah, juara membaca dan hafalan Alquran 30 juz pada 2007. Sepulang mereka dari kontes di Libya, tidak ada perwakilan pemerintah yang menjemput di Bandara Soekarno-Hatta.

Padahal, kata Maria, dirinya sudah menghubungi pejabat pemerintah karena sudah membawa nama baik negara. Dalam kontes itu mereka membawa hadiah Rp 500 juta. ’’TV dan media-media di sana (Libya, Red) memberikan sambutan luar biasa setelah juara. Banyak yang meminta wawancara,’’ kenang perempuan kelahiran Lamongan, 21 Desember 1955, tersebut.
Sesampainya mereka di Jakarta, ternyata tidak ada sambutan sedikit pun. Maria dan Ade Halimah harus pulang dengan menumpang bus umum di Bandara Soekarno-Hatta.

Kondisi itu lain bila dibandingkan dengan pengalaman dirinya pada 1980 saat menjadi juara pertama tingkat dunia seni membaca Alquran di Kuala Lumpur. Begitu dia menjejakkan kaki di Jakarta, ada kalungan bunga. Dia pun diarak sampai ke Balai Kota DKI Jakarta. Lalu, di sana ada upacara penyambutan. ’’Selanjutnya, kita diinapkan di hotel. Belum boleh pulang karena esok harinya diajak sowan kepada menteri-menteri,’’ kisah alumnus IAIN Sunan Ampel itu.

Bagi Maria, kurangnya perhatian pemerintah jelas amat memprihatinkan. Itu berimbas pada terpuruknya MTQ yang dulu sangat populer. Imbas lanjutannya, Indonesia yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia tidak pernah lagi menjadi juara MTQ tingkat internasional dalam lima tahun belakangan ini. ’’Bisa jadi juga karena salah pilih juri di MTQ nasional,’’ tuturnya.

Meski begitu, Maria tidak pernah menyerah. Pada 2001 dia mendirikan Pesantren Baitul Qurro dan Pusat Studi Tilawatil Quran Jakarta. Lokasinya di lingkungan rumahnya di atas lahan seluas sekitar 1.000 meter persegi di perumahan Ciputat Baru, Tangerang Selatan. ’’Sekarang ada dua institusi tempat saya mengabdi, di pesantren ini dan Institut Ilmu Alquran (IIQ di Ciputat sebagai pembantu rektor III, Red),’’ kata istri dokter spesialis paru Mukhtar Ikhsan tersebut.

Pesantren Baitul Qurro, tutur Maria, didirikan secara tidak sengaja setelah ada begitu banyak calon qari dan qariah yang berdatangan menuntut ilmu. Awalnya dia menampung mereka di lantai dua rumahnya. ’’Karena anak saya bertambah besar dan minta kamar (terpisah), kebetulan rumah di depan itu dijual, akhirnya saya buatkan sebagai pesantren tahap pertama,’’ jelasnya.

Maria pun membeli tiga bidang tanah di samping rumahnya. Lokasinya saling berdampingan sehingga bisa dipersatukan. Saat ini pesantrennya memiliki dua bangunan bertingkat untuk 40 santri yang terdiri atas 30 perempuan dan 10 pria. ’’Dua puluh di antaranya (belajar) gratis karena mereka punya bakat besar, tapi dari keluarga kurang mampu,’’ ungkapnya.

Seluruh santri itu masih bersekolah di pagi hari. Mulai tingkat SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi. Sepulang dari belajar di sekolah formal itulah, kegiatan mereka di pesantren dimulai hingga malam. ’’Mereka tinggal di sini. Hanya sekolah yang di luar,’’ ujarnya.

Maria menerapkan kurikulum tersendiri dengan penekanan khusus pada metode baca Alquran untuk MTQ. Dalam mengajar, Maria dibantu ustadah lulusan Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, dan syekh Mesir yang ditugaskan pemerintahnya untuk menyebarkan ilmu Alquran di Indonesia. ’’Syekh itu ditugaskan untuk IIQ, tetapi belum ada jadwal mengajar di sana. Jadi, saya minta di sini. Kan sama saja. Gajinya dari pemerintah Mesir,’’ terangnya.

Maria berharap para santri itu mampu meneruskan jejak dan prestasinya. Tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga dunia. ’’Selain (mengajar) di pesantren ini, saya sebetulnya juga ke provinsi-provinsi. Banyak dan bahkan sebagian besar (santri binaannya, Red) jadi juara provinsi. Tetapi, belum sampai juara nasional,’’ kata ibu tiga anak dan nenek dua cucu itu.

Maria juga berharap ada anggota keluarga yang menjadi penerus. Terutama, mengelola pesantren yang dibangunnya dengan biaya sendiri. Tetapi, di antara tiga anaknya yang laki-laki (Nabris, Labib, dan Rifky), tidak ada yang berbakat menjadi qari.

’’Tidak ada yang suaranya bagus. Rata-rata lurus saja begitu,’’ ujarnya. ’’Suara (qari) kan harus punya getaran. Ada cengkok-cengkoknya begitu. Jika bukan karunia Allah, memang tidak bisa. Ada yang ayahnya qari dan ibunya qariah, tetapi suara anaknya nggak bagus. Sebaliknya, ada yang ayah-ibunya bukan qari dan qariah, tapi suara anaknya bagus,’’ ungkapnya.

Ketiga anaknya justru mengikuti jejak sang ayah, yakni kuliah di bidang kedokteran. Dua di antaranya menikah dan berprofesi dokter. Maria lantas berharap kepada dua menantu perempuannya. Tetapi, mereka lebih suka dunia medis. ’’Saya tinggal berharap, semoga anak bungsu saya dapat (jodoh) qariah. Saya sudah tawarkan ke dia, ’mama pilihkan ya?’,’’ ceritanya lantas tertawa.

Jika rencana itu tidak berhasil, Maria bisa berharap kepada cucunya. Salah seorang dari dua cucunya adalah perempuan, yakni Aisyah, 2. ’’Suka saya tanya, Aisyah kalau sudah besar mau jadi apa? ’Mau jadi qariah kayak mbah putri’. Begitu katanya,’’ ungkap Maria.
Maria juga berharap keluarganya mau melanjutkan pesantren yang didirikannya itu. Dengan begitu, misi melahirkan para qari dan qariah terwujud dan ilmu yang dimiliki tidak terputus. (gen/c2/dwi)

Pelantun Ayat-Ayat Alquran (2)



Achmad Muhajir dan Mawaddah Abbas, pasangan suami-istri juara qori internasional. Foto: Agung Putu Iskandar (Jawa Pos )

Achmad Muhajir, Juara Dunia Qari Pertama dari RI
Tak Rewel, Jadi Favorit Raja Emirat

Jika dibandingkan dengan para qari dan qariah Indonesia yang berjaya di pentas dunia, Achmad Muhajir termasuk paling senior. Dia adalah qari pertama Indonesia yang merengkuh jawara qari sejagat yang dihelat di Makkah, Arab Saudi, pada 1980. Selain pentas, Muhajir kini berkeliling dunia sebagai juri dan membina para qari dan qariah tanah air.
- - - - - - - - - - -  -

Rumah Muhajir terletak di Pisangan Raya, Cireundeu, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten. Rumah dua lantai itu bergaya modern minimalis. Berdiri di atas lahan 800 meter persegi, kediaman Muhajir belum memiliki nomor rumah. Maklum, rumah dengan tujuh kamar tersebut masih anyar. ’’Baru tujuh bulan di sini. Maka, belum ada nomornya,’’ kata Muhajir, lantas tersenyum.

Tidak semua lahan digunakan sebagai bangunan. Sisa lahan sekitar tiga kali lapangan futsal dipakai sebagai taman. Karena berdiri di atas lahan yang lapang, rumah Muhajir lebih terlihat seperti kompleks kediaman daripada sekadar rumah biasa.

Muhajir mengatakan, dirinya sengaja memilih lahan lapang. Bahkan, rencananya di atas lahan kosong itu dibangun sejumlah paviliun. Tujuannya, tiap kali para peserta MTQ singgah ke Jakarta, dia bisa menampung mereka sekaligus membina. ’’Maka, rumah saya banyak kamar. Mereka bisa menginap di sini sekaligus persiapan,’’ ujar lelaki kalem tersebut.

Muhajir memang qari senior di Indonesia. Lulusan Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (sekarang Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran) tersebut merupakan juara pertama qari internasional di Arab Saudi pada 1980. Itu adalah prestasi tertinggi yang pertama diraih Indonesia di pentas qari dunia di Makkah.
Bahkan, ketika pulang dari Makkah, Muhajir sampai diarak keliling kota oleh Pemprov DKI Jakarta. Bersama Harir Muhammad (juara keenam hafiz Quran 1980), dia dikalungi bunga dan menumpang jip terbuka. ’’Rasanya seperti jadi kontingen olahraga,’’ katanya, lantas terkekeh.

Maklum, tutur Muhajir, ada unsur ’’balas dendam’’ saat mengarak dirinya. Ketika itu, masyarakat Indonesia sedang terpukul lantaran timnas sepak bola Indonesia baru saja digasak 8-0 oleh timnas Arab Saudi. ’’Jadi, begitu ada berita bahwa kami menang di Arab, ada perintah dari Gubernur untuk mengarak kami keliling kota,’’ ujarnya, tersenyum.

Muhajir menuturkan, 1980 merupakan tahun kedua Kerajaan Arab Saudi mengadakan lomba tilawah Alquran. Cabang yang dilombakan, kata dia, awalnya hanya hafalan. Namun, lambat laun, cabang lomba mulai berkembang. Kini, lomba serupa tak hanya dilaksanakan di Makkah. Tetapi, ada juga di Iran, Mesir, dan negara Timur Tengah lainnya.

Malaysia sebenarnya juga mengadakan lomba serupa. Namun, negeri jiran itu hanya menyelenggarakan lomba qari tingkat Asia-Afrika. Istri Muhajir, Mawaddah Abbas, pernah meraih juara kedua kompetisi pembacaan Alquran tersebut pada 1984 di Malaysia.

Karena sudah mencapai tingkat tertinggi kompetisi membaca Alquran, ada kesungkanan pada diri Muhajir untuk ikut lagi. Karena itu, dia tidak pernah ikut lagi ’’piala dunia’’ antarqari tersebut. ’’Aturannya sih tidak melarang. Tapi, ya kami memberikan kesempatan kepada yang lain,’’ ujarnya.
Tak lagi ikut lomba bukan berarti karir Muhajir sebagai qari tamat. Justru jam terbang lelaki berkulit cerah itu semakin tinggi. Tak hanya tingkat domestik, sejumlah negara di Eropa dan Timur Tengah mengundang dirinya. Di antaranya, pemerintah Iran yang meminta dia menjadi hakim alias juri lomba qari pada 2002, 2003, 2004, dan 2010.

Lelaki kelahiran 1953 itu juga pernah berkeliling untuk ’’pentas’’ di beberapa Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Eropa. Pada peresmian masjid di Bosnia, dia diundang untuk membacakan Alquran. Begitu pula pada haul 300 Syeikh Yusuf di Afrika Selatan. ’’Semua benua sudah saya datangi, kecuali Amerika dan Australia,’’ ujarnya.

Muhajir juga pernah menjadi qari langganan Kerajaan Uni Emirat Arab (UEA). Pada Ramadan 2002, 2003, dan 2005, ayah dua putri itu menjadi qari di masjid-masjid Emirat Arab selama sebulan penuh. ’’Baru pulang pada tanggal 27 (Ramadan). Itu pun kalau ada pesawat,’’ ujarnya.
Menurut Muhajir, qari dari Indonesia merupakan qari favorit Kerajaan Uni Emirat. Sebab, umumnya qari Indonesia tidak rewel terhadap persyaratan dan fasilitas. Itu berbeda dengan qari dari Malaysia dan Brunei Darussalam yang menuntut adanya pengawalan dan fasilitas spesial. ’’Kami diundang kan malah senang dan langsung berangkat. Tidak menuntut ini itu. Saya menginap satu kamar dengan orang Aljazair nggak masalah, walaupun sama-sama nggak bisa berkomunikasi (karena beda bahasa),’’ katanya enteng.

Bersama istri, Muhajir kini lebih banyak mendidik para qari dan qariah sembari terus berkeliling ke daerah-daerah di Indonesia. Kakek satu cucu itu mengatakan tidak bisa berganti profesi selain menjadi qari. Dia juga enggan menjadi pegawai negeri. ’’Barangkali karena jiwanya di sini,’’ imbuhnya.
Menurut Muhajir, qari yang baik tidak hanya mementingkan lagu dan suara dalam melafalkan Alquran. Kitab suci itu, kata dia, tetap harus dibaca dengan benar. Artinya, tajwid dan fasholah bacaan harus dijaga. Tajwid berhubungan dengan akurasi dan qolqolah dalam melafalkan huruf. Fasholah terkait dengan pemenggalan dalam kalimat. ’’Dua itu jangan sampai salah. Sebab, itu yang pokok dalam membaca Alquran, meski lagu dan suaranya bagus,’’ jelasnya. (aga/c6/agm)

Pelantun Ayat-Ayat Alquran (1)



Qari Internasional H Muammar ZA ketika ditemui di Pesantren Ummulquro, Cipondoh, Tangerang Minggu (21/11) lalu.  FOTO: ZULHAM MUBARAK (JAWA POS)

Muammar Bangga Bisa Masuk ke Dalam Kakbah

Para Pelantun Ayat-Ayat Alquran yang Berprestasi Internasional 
Prihatin Seni Qiraah Kalah oleh Karaoke

Mereka ini pernah mengharumkan nama bangsa pada 1980–1990-an berkat suara emas dalam melantunkan ayat-ayat Alquran. Benarkah kini semakin sulit mencari orang-orang seperti mereka?
--------------------------------------

Pada era 1980-an, nama H. Muammar Zainal Asyikin atau yang sering disingkat dengan nama Muammar Z.A. cukup dikenal sebagai jawara qari. Kaset yang merekam suara emasnya kala itu cukup banyak dijual dan diputar di masjid-masjid atau pada acara keagamaan.

Laki-laki kelahiran Pemalang, 14 Juni 1954, tersebut adalah seorang hafiz atau penghafal Alquran dan qari yang dikenal luas secara internasional. Dia pernah menjuarai MTQ tingkat nasional maupun internasional pada 1980-an. Muammar adalah pencetus pembacaan Alquran yang diduetkan dengan arti tiap ayat (saritilawah). Bersama dengan H. Chumaidi, saat itu dia memopulerkan duet qari dan pembaca saritilawah yang dianggap sebagai terobosan presentasi pembacaan Alquran.

Ketika ditemui Jawa Pos di Pesantren Ummulquro, Cipondoh, Tangerang, Minggu lalu (21/11), dia sibuk menularkan ilmunya. Sebanyak 20 santri duduk bersila di musala yang berdiri anggun di tengah kompleks pesantren seluas sekitar 1 hektare tersebut. Suara Muammar melantun merdu dari speaker portabel dengan sebuah clip-on menempel di kemeja putihnya. Para santri menyimak dan menirukan dia membaca ayat-ayat Alquran dengan irama bayati, lagu pembuka qiraah bernada rendah.

”Hari ini sedikit karena baru libur Idul Adha. Tapi, biasanya sampai 60 santri. Siapa pun boleh belajar qiraah di sini secara gratis, tanpa biaya,” ujar Muammar setelah memimpin jamaah salat Duhur.
Walaupun telah mendidik ratusan santri, alumnus Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta itu menyatakan tidak mudah menemukan qari berbakat. Sebab, menurut dia, untuk menjadi pelantun kalimat Allah yang bisa berprestasi internasional, dibutuhkan lebih dari kerja keras.

Suami Syarifah Nadia tersebut mengatakan, seorang santri tidak butuh waktu lama untuk memahami materi qari dan menghafal ragam lagu dalam membaca Alquran. Dengan pendidikan intensif, Muammar mampu melakukannya dalam kurun 3–4 bulan. Namun, tutur dia, untuk mendapatkan komposisi suara qari yang lazimnya bernada tinggi dan melengking, dibutuhkan waktu belajar bertahun-tahun. ”Saya menyebutnya evolusi suara. Itu tidak bisa diprediksi. Bergantung masing-masing. Tapi, paling tidak dibutuhkan minimal enam tahun,” jelasnya.   

Namun, tak jarang upaya mencetak qari berskala internasional terkendala akses teknologi informasi dan ragam hiburan yang kini mengisi layar kaca. Menurut dia, tradisi mengajarkan seni membaca Alquran (qiraah) ditaklukkan oleh budaya karaoke, lomba pencarian bakat menyanyi, dan berbagai hiburan baru. Regenerasi pemuda-pemuda dengan minat dan bakat menjadi qari internasional sulit dilakukan karena tantangan modernisasi serta gaya hidup kebarat-baratan yang meracuni generasi muda Islam.

Kendala lain yang membuat pendidikan qari sulit menghasilkan output berskala internasional adalah rendahnya apresiasi pemerintah kepada mereka. Misalnya, hadiah yang ditawarkan bagi juara kompetisi MTQ tingkat nasional sangat rendah. Sangat jauh jika dibandingkan dengan hadiah yang diterima para juara di even-even hiburan.

Dia lantas mengenang pengalamannya saat mendapatkan hadiah televisi 14 inci dalam sebuah MTQ tingkat nasional pada era 1980-an. ”Kalau sekarang, biasanya uang beberapa juta rupiah dan naik haji. Tapi, naik hajinya ikut tenaga musiman Kementerian Agama. Menurut Anda, itu layak nggak?” tanya dia.

Di sisi lain, dia menjamin, jika seseorang ikhlas dalam menekuni dunia qari, kebutuhan duniawinya tidak akan sampai kekurangan. Dia mencontohkan dirinya, yang menjadi qari ketika berusia belasan tahun. Dalam 30 tahun masa pengabdian kepada Alquran, dia telah berkeliling dunia.

Saat menghadiri undangan mengaji, dia pernah mencoba berbagai moda transportasi. Mulai jet pribadi, pesawat komersial, limusin, ojek, sampai tandu. Modal menjadi qari pula yang membuat dia diundang sebagai tamu kehormatan raja Arab Saudi dan pada 1981 diberi kesempatan masuk ke dalam Kakbah.
”Sama sekali tidak terbayang sebelumnya bisa berada dalam Kakbah. Ketika itu saya cuma bisa tertunduk, menangis. Saya nggak berani mengangkat wajah dan memandang langit-langit,” ucap dia.

Ketika menghadiri undangan mengaji, dia pernah mengalami kecelakaan lalu lintas di daerah Cirebon pada akhir 1990. Mobilnya hancur. Dia terluka parah dan harus menjalani operasi tengkorak. Uniknya, kejadian tersebut adalah kali pertama dan terakhir dia harus dirawat di rumah sakit. Selama 56 tahun hidupnya, tidak pernah sekali pun dia sakit keras dan mendapatkan perawatan. ”Itu adalah berkah Alquran,” tegas dia.

Ketika ditanya mengenai rahasia suara merdu tersebut, Muammar dengan serius mengatakan tidak mempunyai resep apa pun. Dia bahkan tidak pantang terhadap makanan tersentu atau memiliki kebiasaan khusus. Dalam hal-hal tersebut, dia menyatakan cenderung rasional. ”Apalagi, saya jarang tidur. Tiap hari saya cuma tidur sekitar empat jam,” ucap dia.

Muammar bercita-cita membangun sebuah lembaga pendidikan yang komprehensif, mulai TK, SD, SMP, sampai SMA, yang mempunyai nilai plus pendidikan Alquran. Dia berharap bisa membekali santrinya dengan kelengkapan ilmu-ilmu Alquran, baik tajwid, qiraah, dasar-dasar tafsir, maupun tahfidz (hafalan Alquran). Targetnya, paling tidak setamat SD atau SMP para santri mampu membaca Alquran dengan fasih, baik, dan benar. Dia berharap seni membaca Alquran di Indonesia bisa berkembang dan tidak tenggelam karena ditelan budaya karaoke. (zul/c11/kum)