Minggu, 13 Februari 2011

Giliran Kami Makan



Oleh: Djoko Susilo

Dalam dua minggu terakhir ini saya menghabiskan waktu senggang saya dengan dua hal: nonton TV Al Jazeera yang melaporkan demonstrasi di Mesir dan membaca buku kisah John Githongo yang berjudul It's Our Turn to Eat'' (Giliran Kami untuk Makan).

Laporan langsung tentang demonstrasi di Mesir yang membuat Presiden Hosni Mubarak mundur mengingatkan saya akan gerakan reformasi di tanah air pada 1998. Sedangkan buku John Githongo adalah kisah yang menarik bagaimana gerakan reformasi di Kenya melaksanakan amanahnya ketika Presiden Mwai Kibaki mulai berkuasa menggantikan presiden sebelumnya, Daniel Arap Moi.
Kejadian di Mesir dan apa yang dituturkan Githongo patut menjadi renungan bagi kita di Indonesia, khususnya adanya fakta bahwa sepertiga gubernur dan hampir sepertiga bupati –belum lagi puluhan anggota DPR/DPRD– yang masuk penjara karena didakwa korupsi. Jika ditambah dengan pejabat eksekutif lainnya, mereka yang terkena pidana korupsi makin banyak.

Bahkan, penjara di Indonesia akan makin sesak dengan koruptor jika UU Antikorupsi benar-benar dilaksanakan dengan konsisten. Sebab, yang sekarang belum masuk itu bukan karena mereka ''bersih'', tapi hanya karena belum tertangkap tangan oleh petugas KPK. Mengapa demikian? Sebab, memang rezim Soeharto sudah runtuh dan keluarga Cendana tidak berkuasa seperti dulu, tetapi raja-raja kecil yang meniru rezim Soeharto masih ada. Malah, banyak pejabat baru itu yang aji mumpung dengan berprinsip: Kini Giliran Kami untuk Makan.

Kisah yang terjadi di Kenya yang dituturkan John Githongo patut dipelajari dengan baik. John Githongo memulai karir sebagai wartawan yang sangat kritis terhadap rezim Presiden Daniel Arap Moi. Kemudian, dia bergabung dengan NGO Transparency International. Namanya sangat terkenal sebagai tokoh yang memimpikan Kenya yang bersih dari KKN.

Wajar ketika pada 2002 Presiden Mwai Kibaki menang pemilu dengan mengalahkan Arap Moi dalam kampanye yang bertemakan antikorupsi, dia menunjuk Githongo sebagai permanent secretary for Ethics and Government (semacam KPK-nya Kenya). Tugasnya memang membersihkan Kenya dari KKN dan memperbaiki mental aparat negara agar tidak suka mencuri dan menggarong kekayaan nasional.

Namun, pada 2006 atau hampir empat tahun setelah bekerja keras, dia terpaksa melarikan diri dan minta suaka di Inggris. Masalahnya, teman- teman seperjuangannya yang dulu beroposisi kepada rezim Daniel Arap Moi dengan platform perjuangan antikorupsi, ternyata malah melakukan korupsi secara lebih keji. Bedanya dengan KPK, lembaga yang dipimpin Githongo tidak punya kekuasaan eksekusi.

Dia hanya bisa memberikan rekomendasi kepada presiden. Inilah yang menyebabkan Githongo frustrasi. Berlembar-lembar laporan dan rekomendasi dibuatnya tidak ada tindak lanjut, khususnya jika sudah menyangkut tokoh politik kelas kakap. Memang, Presiden Mwai Kibaki menindak sejumlah pejabat korup, tetapi hanya kelas teri. Tidak ada menteri atau pejabat tinggi yang ditindak karena korupsi.

Tetapi, yang memuakkan Githongo adalah perilaku pejabat yang dulu ketika belum punya jabatan berjanji bekerja serius untuk rakyat, nyatanya mengkhianati rakyat yang memilihnya. Jadi, dulu mereka membenci rezim Presiden Daniel Arap Moi karena iri saja. Buktinya, kini mereka ganti berpesta pora menjarah harta negara.

Saya sepertinya tidak percaya dengan kisah John Githongo tersebut. Tetapi, setelah saya verifikasi ke sejumlah sumber, memang demikian adanya. Bahkan, hal itu tidak terbatas di Kenya. Di beberapa negara eks-Uni Soviet, banyak tokoh oposisi antikomuinis yang tiba-tiba menjadi pejabat tinggi di negaranya, mempunyai perilaku yang sama dengan para komisaris yang mereka gantikan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membunuh mereka yang dianggap menghalang-halangi korupsinya. Rezim berganti, tapi korupsi jalan terus.

Buku It’s Our Turn to Eat (Giliran Kami untuk Makan) sangat menggelisahkan saya, khususnya dengan semakin banyaknya politikus dan pejabat yang masuk penjara. Dalam pertemuan World Economic Forum di Davos, Swiss, akhir Januari lalu Indonesia menjadi bintang dan saya sangat bangga karenanya. Bangsa lain bangga melihat perkembangan demokrasi di tanah air yang makin mantap dan pertumbuhan ekonomi yang makin baik. Saya sering bertanya, apa yang salah dengan proses reformasi selama ini?

Menurut Githongo, kegagalan pemberantasan korupsi umumnya karena para pembaru dan pendukungnya tidak cepat menyerang dan menghabisi koruptor ketika momentum masih ada. Akibatnya, para pembaru yang tadinya antikorupsi secara perlahan malah bisa diakomodasi. Dengan kata lain, seseorang yang tadinya menjadi anggota dewan atau dalam jabatan lain dengan tidak ada niat korupsi, tetapi karena pengaruh lingkungan, akhirnya dia larut juga.

Saya ambil contoh Swiss yang dalam indeks antikorupsi termasuk tinggi, selalu berkisar antara nomor satu, dua, atau tiga. Perilaku pejabatnya biasa-biasa saja. Sangat normal melihat menteri naik trem atau kereta api. Beberapa waktu lalu, saya bertanya ke seorang Dirjen Urusan Lingkungan Hidup, apa mobil dinasnya? Dirjen tersebut terheran-heran dengan pertanyaan saya. Dia menjawab begini, ''Lho kenapa saya harus memakai mobil, pakai itu saja (sambil menunjuk trem). Saya bisa ke mana-mana dan sampai ke rumah.”

Jika Dirjen tidak ada mobil dinas, anggota DPR di Swiss juga tidak dapat fasilitas mobil dan perumahan. Fasilitas dinas anggota DPR di Swiss hanya sebuah laptop yang bisa dipakai bekerja ketika dalam kereta api. Total fasilitas anggota DPR di sana yang diterima dari negara –dari gaji dan tunjangan lain– hanya sekitar USD 100.000 per tahun, sedangkan fasilitas anggota DPR RI saya hitung-hitung mencapai USD 150.000 (catatan: pendapatan per kapita Swiss adalah USD 64.000, sedangkan Indonesia baru USD 3.000).

Dengan demikian, jelaslah bahwa gaji dan fasilitas pejabat di Indonesia, setidaknya anggota dewan, sudah jauh di atas rata-rata rakyat Indonesia. Prinsip pejabat di Swiss ialah low cost but high product. Karena itu, jangan heran, dengan penduduk hanya 7,6 juta orang, ekspor Swiss per tahun mencapai USD 290 miliar. Jelas saja negara ini sangat makmur, aman, tenteram, dan penduduknya mendapat fasilitas kesehatan terbaik di dunia. Saking makmurnya, setiap tahun APBN-nya surplus miliaran dolar.

Bagi Indonesia, bisa memilih mengikuti jejak Swiss yang baik rakyat maupun pemimpinnya antikorupsi sehingga negaranya bisa aman, tenteram, dan makmur atau mengikuti Kenya yang ganti pemimpin hanya ganti orang? Saya terus terang memimpikan negara kita menjadi Swiss, tapi lebih besar. Artinya, negara yang besar, tapi makmur dan kuat seperti Swiss. Perilaku pejabatnya mengikuti pejabat Swiss; Low cost but high product.

Saya sering kesal dan geram karena masih banyak pejabat kita yang bermental suka dilayani, bukan melayani. Saya punya kenalan seorang anggota dewan, dulu makan saja susah, sekarang punya rumah banyak dan apartemen beberapa buah. Yang menjengkelkan, mau naik mobil saja sekarang harus dibukakan pintu oleh sopirnya. Ada juga seorang kawan yang dulu hidupnya dari memberi les, tiba-tiba setelah diangkat sebagai asisten menteri, dia membeli mobil Alphard, apartemen, rumah mewah, dan lain-lain. Ini tidak akan terjadi di Swiss, tetapi hanya pada pejabat yang berprinsip: Giliran Kami untuk Makan.

Mungkin saya naif mengeluhkan perilaku beberapa kawan saya yang punya jabatan. Apa memang dulu adanya gerakan reformasi itu dimaksudkan sekadar ganti mendapat kesempatan menggarong harta negara? Bukankah kita diberi amanah untuk bisa berbuat kebajikan? Demonstrasi di Mesir dan buku John Githongo layak menjadi renungan dan pelajaran bagi siapa saja yang sekarang mendapat amanah memegang jabatan publik. Intinya sederhana saja: kita semua menjadi pejabat, baik di yudikatif, eksekutif, maupun legislatif, untuk menjadi pelayan terbaik bagi masyarakat. Untuk Anda yang sedang atau akan ke Swiss, silakan komplain ke saya jika tidak mendapat layanan memuaskan dari KBRI Bern.

*) Mantan wartawan Jawa Pos yang kini menjadi Dubes RI di Bern, Swiss. Dia bisa dihubungi di thedjokosusilo@gmail.com atau ambassador@indonesia-bern.org