Minggu, 13 Februari 2011

Giliran Kami Makan



Oleh: Djoko Susilo

Dalam dua minggu terakhir ini saya menghabiskan waktu senggang saya dengan dua hal: nonton TV Al Jazeera yang melaporkan demonstrasi di Mesir dan membaca buku kisah John Githongo yang berjudul It's Our Turn to Eat'' (Giliran Kami untuk Makan).

Laporan langsung tentang demonstrasi di Mesir yang membuat Presiden Hosni Mubarak mundur mengingatkan saya akan gerakan reformasi di tanah air pada 1998. Sedangkan buku John Githongo adalah kisah yang menarik bagaimana gerakan reformasi di Kenya melaksanakan amanahnya ketika Presiden Mwai Kibaki mulai berkuasa menggantikan presiden sebelumnya, Daniel Arap Moi.
Kejadian di Mesir dan apa yang dituturkan Githongo patut menjadi renungan bagi kita di Indonesia, khususnya adanya fakta bahwa sepertiga gubernur dan hampir sepertiga bupati –belum lagi puluhan anggota DPR/DPRD– yang masuk penjara karena didakwa korupsi. Jika ditambah dengan pejabat eksekutif lainnya, mereka yang terkena pidana korupsi makin banyak.

Bahkan, penjara di Indonesia akan makin sesak dengan koruptor jika UU Antikorupsi benar-benar dilaksanakan dengan konsisten. Sebab, yang sekarang belum masuk itu bukan karena mereka ''bersih'', tapi hanya karena belum tertangkap tangan oleh petugas KPK. Mengapa demikian? Sebab, memang rezim Soeharto sudah runtuh dan keluarga Cendana tidak berkuasa seperti dulu, tetapi raja-raja kecil yang meniru rezim Soeharto masih ada. Malah, banyak pejabat baru itu yang aji mumpung dengan berprinsip: Kini Giliran Kami untuk Makan.

Kisah yang terjadi di Kenya yang dituturkan John Githongo patut dipelajari dengan baik. John Githongo memulai karir sebagai wartawan yang sangat kritis terhadap rezim Presiden Daniel Arap Moi. Kemudian, dia bergabung dengan NGO Transparency International. Namanya sangat terkenal sebagai tokoh yang memimpikan Kenya yang bersih dari KKN.

Wajar ketika pada 2002 Presiden Mwai Kibaki menang pemilu dengan mengalahkan Arap Moi dalam kampanye yang bertemakan antikorupsi, dia menunjuk Githongo sebagai permanent secretary for Ethics and Government (semacam KPK-nya Kenya). Tugasnya memang membersihkan Kenya dari KKN dan memperbaiki mental aparat negara agar tidak suka mencuri dan menggarong kekayaan nasional.

Namun, pada 2006 atau hampir empat tahun setelah bekerja keras, dia terpaksa melarikan diri dan minta suaka di Inggris. Masalahnya, teman- teman seperjuangannya yang dulu beroposisi kepada rezim Daniel Arap Moi dengan platform perjuangan antikorupsi, ternyata malah melakukan korupsi secara lebih keji. Bedanya dengan KPK, lembaga yang dipimpin Githongo tidak punya kekuasaan eksekusi.

Dia hanya bisa memberikan rekomendasi kepada presiden. Inilah yang menyebabkan Githongo frustrasi. Berlembar-lembar laporan dan rekomendasi dibuatnya tidak ada tindak lanjut, khususnya jika sudah menyangkut tokoh politik kelas kakap. Memang, Presiden Mwai Kibaki menindak sejumlah pejabat korup, tetapi hanya kelas teri. Tidak ada menteri atau pejabat tinggi yang ditindak karena korupsi.

Tetapi, yang memuakkan Githongo adalah perilaku pejabat yang dulu ketika belum punya jabatan berjanji bekerja serius untuk rakyat, nyatanya mengkhianati rakyat yang memilihnya. Jadi, dulu mereka membenci rezim Presiden Daniel Arap Moi karena iri saja. Buktinya, kini mereka ganti berpesta pora menjarah harta negara.

Saya sepertinya tidak percaya dengan kisah John Githongo tersebut. Tetapi, setelah saya verifikasi ke sejumlah sumber, memang demikian adanya. Bahkan, hal itu tidak terbatas di Kenya. Di beberapa negara eks-Uni Soviet, banyak tokoh oposisi antikomuinis yang tiba-tiba menjadi pejabat tinggi di negaranya, mempunyai perilaku yang sama dengan para komisaris yang mereka gantikan. Bahkan, mereka tidak segan-segan membunuh mereka yang dianggap menghalang-halangi korupsinya. Rezim berganti, tapi korupsi jalan terus.

Buku It’s Our Turn to Eat (Giliran Kami untuk Makan) sangat menggelisahkan saya, khususnya dengan semakin banyaknya politikus dan pejabat yang masuk penjara. Dalam pertemuan World Economic Forum di Davos, Swiss, akhir Januari lalu Indonesia menjadi bintang dan saya sangat bangga karenanya. Bangsa lain bangga melihat perkembangan demokrasi di tanah air yang makin mantap dan pertumbuhan ekonomi yang makin baik. Saya sering bertanya, apa yang salah dengan proses reformasi selama ini?

Menurut Githongo, kegagalan pemberantasan korupsi umumnya karena para pembaru dan pendukungnya tidak cepat menyerang dan menghabisi koruptor ketika momentum masih ada. Akibatnya, para pembaru yang tadinya antikorupsi secara perlahan malah bisa diakomodasi. Dengan kata lain, seseorang yang tadinya menjadi anggota dewan atau dalam jabatan lain dengan tidak ada niat korupsi, tetapi karena pengaruh lingkungan, akhirnya dia larut juga.

Saya ambil contoh Swiss yang dalam indeks antikorupsi termasuk tinggi, selalu berkisar antara nomor satu, dua, atau tiga. Perilaku pejabatnya biasa-biasa saja. Sangat normal melihat menteri naik trem atau kereta api. Beberapa waktu lalu, saya bertanya ke seorang Dirjen Urusan Lingkungan Hidup, apa mobil dinasnya? Dirjen tersebut terheran-heran dengan pertanyaan saya. Dia menjawab begini, ''Lho kenapa saya harus memakai mobil, pakai itu saja (sambil menunjuk trem). Saya bisa ke mana-mana dan sampai ke rumah.”

Jika Dirjen tidak ada mobil dinas, anggota DPR di Swiss juga tidak dapat fasilitas mobil dan perumahan. Fasilitas dinas anggota DPR di Swiss hanya sebuah laptop yang bisa dipakai bekerja ketika dalam kereta api. Total fasilitas anggota DPR di sana yang diterima dari negara –dari gaji dan tunjangan lain– hanya sekitar USD 100.000 per tahun, sedangkan fasilitas anggota DPR RI saya hitung-hitung mencapai USD 150.000 (catatan: pendapatan per kapita Swiss adalah USD 64.000, sedangkan Indonesia baru USD 3.000).

Dengan demikian, jelaslah bahwa gaji dan fasilitas pejabat di Indonesia, setidaknya anggota dewan, sudah jauh di atas rata-rata rakyat Indonesia. Prinsip pejabat di Swiss ialah low cost but high product. Karena itu, jangan heran, dengan penduduk hanya 7,6 juta orang, ekspor Swiss per tahun mencapai USD 290 miliar. Jelas saja negara ini sangat makmur, aman, tenteram, dan penduduknya mendapat fasilitas kesehatan terbaik di dunia. Saking makmurnya, setiap tahun APBN-nya surplus miliaran dolar.

Bagi Indonesia, bisa memilih mengikuti jejak Swiss yang baik rakyat maupun pemimpinnya antikorupsi sehingga negaranya bisa aman, tenteram, dan makmur atau mengikuti Kenya yang ganti pemimpin hanya ganti orang? Saya terus terang memimpikan negara kita menjadi Swiss, tapi lebih besar. Artinya, negara yang besar, tapi makmur dan kuat seperti Swiss. Perilaku pejabatnya mengikuti pejabat Swiss; Low cost but high product.

Saya sering kesal dan geram karena masih banyak pejabat kita yang bermental suka dilayani, bukan melayani. Saya punya kenalan seorang anggota dewan, dulu makan saja susah, sekarang punya rumah banyak dan apartemen beberapa buah. Yang menjengkelkan, mau naik mobil saja sekarang harus dibukakan pintu oleh sopirnya. Ada juga seorang kawan yang dulu hidupnya dari memberi les, tiba-tiba setelah diangkat sebagai asisten menteri, dia membeli mobil Alphard, apartemen, rumah mewah, dan lain-lain. Ini tidak akan terjadi di Swiss, tetapi hanya pada pejabat yang berprinsip: Giliran Kami untuk Makan.

Mungkin saya naif mengeluhkan perilaku beberapa kawan saya yang punya jabatan. Apa memang dulu adanya gerakan reformasi itu dimaksudkan sekadar ganti mendapat kesempatan menggarong harta negara? Bukankah kita diberi amanah untuk bisa berbuat kebajikan? Demonstrasi di Mesir dan buku John Githongo layak menjadi renungan dan pelajaran bagi siapa saja yang sekarang mendapat amanah memegang jabatan publik. Intinya sederhana saja: kita semua menjadi pejabat, baik di yudikatif, eksekutif, maupun legislatif, untuk menjadi pelayan terbaik bagi masyarakat. Untuk Anda yang sedang atau akan ke Swiss, silakan komplain ke saya jika tidak mendapat layanan memuaskan dari KBRI Bern.

*) Mantan wartawan Jawa Pos yang kini menjadi Dubes RI di Bern, Swiss. Dia bisa dihubungi di thedjokosusilo@gmail.com atau ambassador@indonesia-bern.org

Jumat, 04 Februari 2011

Cinta Itu Terbukti Sudah

 

Oleh Mushab Syuhada


„Fathimah“ seru ibuku perlahan. Matanya berkaca-kaca. „Ibu telah membicarakan hal ini dengan Ayahmu“ lanjutnya.
Aku menoleh ke arah Ayah yang duduk di sudut ruangan itu.
„Ada apa bu?“ tanyaku
„Seorang pemuda telah melamarmu. Ia hendak memperistrikanmu“ jawabnya. Ku lihat dua tetes air mata pecah mengalir.
„Lalu mengapa ibu bersedih?” tanyaku. “Fathimah siap menikah sekarang. Dengan siapa Fathimah hendak dinikahkan bu?“ sahutku kembali.
Tangis ibuku makin meledak. Ia memelukku erat sekali seolah tak ingin membiarkan aku pergi jauh darinya. Ayahku pun datang menghampiri kami dan merangkul kami yang sedang larut dalam air mata.

***

Haritsah – Pemuda yang akan meminangku nanti. Ternyata ia adalah adik dari suaminya Mujaadillah – teman baikku yang sedang mengandung delapan bulan. Mujaadillah sangat kaget dan juga senang ketika mengetahui bahwa aku akan menikah dengan Haritsah. „Kita akan menjadi sebuah keluarga besar, ukhti!“ katanya sambil tersenyum senang.

Tapi jujur aku belum pernah bertemu ataupun melihat pemuda yang sejak kecil telah yatim piatu itu. Dari namanya aku teringat akan sahabat Nabi yang dijanjikan masuk surga firdaus – Haritsah bin Suraqah ra. Aku membayangkan kesholehannya seperti sahabat Nabi itu. Kata Mujaadillah, jika aku ingin dapat melihat wajahnya, aku harus datang ke sebuah masjid kecil yang terletak di ujung utara desa kami pada waktu antara Ashar dan Maghrib. Biasanya pada waktu itu ia sedang berada di dalam masjid sambil melantunkan ayat-ayat Allah dari mushaf kecilnya.

Sore ini, dengan ditemani Mujaadillah, kami berangkat ke masjid kecil itu. Setelah selesai shalat Ashar berjama’ah, beberapa orang pergi meninggalkan masjid. Di balik hijab masjid kami duduk, dan tiba-tiba terdengar suara merdu dari bagian masjid untuk ikhwan. Suara seseorang yang melantunkan ayat Al-Qur’an. Begitu syahdu begitu hikmat. Inilah pemuda yang akan menjadi suamiku nanti. Aku hanya mendengarkan suaranya di balik hijab sambil meresapi ayat-ayat yang dibacanya.

Ia sedang membaca surah Ad-Dukhaan dan sampai pada ayat empat puluh tiga. Seketika bulu kudukku merinding. Ayat yang sedang dibacanya adalah ayat tentang sifat-sifat neraka. Mujaadillah telah menangis terisak-isak disampingku. Air matanya menetes ke perutnya yang sudah membesar. Aku pun menangis. Menangis karena aku teringat akan dosa-dosaku namun aku tak sanggup berada di dalam neraka seperti yang digambarkan pada ayat-ayat itu. Ku dengar lantunan merdu itu berhenti. Yang ada kini hanya isak-isak kecil kami. Mungkin ia menyadari ada orang lain yang sedang mendengarkan ayat-ayat suci yang dibacanya.

***

Minggu depan hari pernikahanku. Aku bertemu Mujaadillah di rumahnya. Keadaannya memburuk. Sejak tiga hari yang lalu ia jatuh sakit. Suaminya telah membawa dia ke dokter ternama di kota. „Tidak apa-apa kok, paling hanya gejala mau melahirkan“ katanya. Aku melihat tubuhnya yang sudah sedikit mengurus. Aku berbisik kepadanya „Ayo Mujaadillah, kamu harus kuat. Kamu harus sembuh, sebentar lagi kamu akan melahirkan. Kondisi badanmu harus fit“

Ia menjawab „Sungguh aku merasa senang sekali. Senang karena aku akan segera melahirkan. Kamu tahu Fathimah, aku ingin sekali membahagiakan suamiku. Jika kamu sudah menikah nanti, kamu juga harus mengabdi kepada suamimu. Harus. Itulah ladang jihadmu, Fathimah“. Wajahnya mencerah. Ia tak sabar menyongsong kelahiran putra pertamanya.

„Dan kamu tahu Fathimah, aku juga senang karena aku melihat sahabatku akan menggenapkan dien-nya. Insya Allah aku akan sembuh dan datang ke walimah nikahmu“ lanjutnya.

Aku menangis haru. Cahaya kedua bola mata Mujaadillah mengatakan kalau ia yakin akan sembuh. „Aku tunggu kamu di walimah nikahku. Cepat sembuh yah ukhti“ bisikku di telinganya yang ditutupi jilbab hijau kesukaannya. Cahaya matahari sore merambas masuk kedalam ruangan ini, memantul sedikit di atas wajah pucat Mujaadillah dengan seulas senyumnya yang khas.

***

Tiga hari lagi aku akan melaksanakan walimah nikah. Sampai sekarang aku belum pernah bertatap muka langsung dengan Haritsah. Aku sudah melihat fotonya yang diberikan oleh ayahku, namun tidak begitu jelas.

„Ini foto ketika Haritsah lulus dari sekolahnya anakku“
„Yang mana Haritsah, ayah? Ada sekitar empat puluh wajah di foto ini“
„Itu, yang berada di pojok kanan, yang sebagian wajahnya tertutup oleh kepala temannya“
Walau tidak terlalu jelas, namun ia tetap terlihat tampan. Aku berulang-ulang memanjatkan syukur kepada Allah atas jodoh yang kelak akan diberikan kepadaku.

„Ibu, bagaimana dengan masjid yang akan digunakan untuk ijab qabulku?“ tanyaku pada ibu.
„Itu semua sudah diurus oleh ayahmu. Kamu tahu masjid kecil di utara desa kita? Di situ kelak akan diberlangsungkan acara ijab-qabul“ jawab ibuku. Masya Allah, masjid kecil itu, masjid tempat Haritsah menghabiskan waktu Asharnya dengan bertilawah.
„Ibu, perasaanku sekarang sedang bercampur baur menjadi satu“
„Tenang anakku. Itu biasa bagi seorang gadis yang akan melangsungkan sebuah pernikahan. Waktu dulu ibu juga seperti kamu“

Tak lama Aisyah – salah satu temanku datang kepadaku.
„Fathimah, ada kabar yang kurang enak untuk kamu ketahui“ sahut Aisyah dengan nafas yang tersengal-sengal di hadapanku. Ia menatapku dan orang tuaku cemas.
„Ada apakah Aisyah? Ada musibahkah?“ tanyaku penuh rasa waswas. Ibu dan ayah juga terlihat cemas melihat kedatangan Aisyah yang secara tiba-tiba dengan disertai kabar yang katanya kurang enak.
“Mujaadillah akan segera melahirkan” jawabnya.
Seperti ada hembusan angin yang membuatku membuang nafas lega. “lho, bukankah itu berita bagus, Aisyah?”
Aisyah pun melanjutkan, “Namun dokter baru saja memberitahukan, kalau Mujadillah menderita tekanan darah rendah yang hebat. Kondisinya semakin lama semakin melemah, sementara ia harus segera melahirkan”
Buliran air mata tak terasa sudah berjalan di atas pipiku. Segera aku dan Aisyah pamit kepada ibu dan ayah untuk menemui Mujaadillah di rumah sakit di kota. Selama perjalanan kami ke kota, aku selalu memikirkan keadaan Mujaadillah sambil tak henti-hentinya berdoa kepada Allah untuk kesembuhan dan kekuatan Mujaadillah.

“Kamu tahu Fathimah, aku ingin sekali membahagiakan suamiku. Jika kamu sudah menikah nanti, kamu juga harus mengabdi kepada suamimu. Harus. Itulah ladang jihadmu, Fathimah“.
Seketika kalimat-kalimat yang pernah dilontarkan Mujaadillah berbunyi lagi di telingaku. Air mataku semakin tak dapat kutahan dan kubiarkan menderas. Aisyah memelukku mencoba menyabarkan aku dan tak henti-hentinya menyuruhku untuk menyerahkan semuanya kepada Allah.

***

Sesampainya di rumah sakit langkah-langkah kaki kami segera menuju ke ruangan persalinan tempat Mujaadillah kemungkinan berada. Terdengar suara isak tangis bayi di malam itu. Isak tangis seorang bayi yang baru saja dilahirkan. Seorang perawat terlihat sedang menggendong bayi mungil yang tangisannya memecahkan kesunyian di koridor tunggu rumah sakit itu. Seorang pria berdiri di sebelah perawat itu, dengan wajah yang tertutup bayangan lampu gantung dari atap koridor.

Pria itu adalah suaminya Mujaadillah. Mujaadillah telah melahirkan!

“Ya Mustafa apakah bayi mungil ini anakmu?” tanyaku dengan suara parau dan wajah yang basah oleh air mata. Mustafa – suami Mujaadillah menoleh kearah kami yang menanti jawaban darinya.
“Ya, dia anakku dan Mujaadillah. Alhamdulillah dia terlahir sehat dan sempurna” jawabnya.
“Alhamdulillah... lalu bagaimana kabar Mujaadillah, ya Mustafa?” lanjut pertanyaanku lagi. Jantungku memberikan degupan yang luar biasa atas harapan terhadap keadaan Mujaadillah – sahabatku.
“Kondisinya sangat lemah ketika melahirkan” jawabnya. Raut wajahnya segera berubah. “Mujaadillah telah menjemput syahidnya”
“Innalillahi wa inna illahi rooji’uun...” sahut kami sebelum larut pada tangisan karena kepergiannya. Mujaadillah telah pergi. Pergi dengan membawa bukti cintanya. Cinta kepada Rabb-nya serta cinta kepada suaminya.

Mustafa lalu memberikan aku secarik kertas yang ditulis oleh Mujaadillah sesaat sebelum ia dibawa ke ruangan persalinan. “Aku tidak tahu apa isinya. Mujaadillah mengamanahkanku surat ini untukmu. Bacalah” sahutnya.

“Fathimah, sahabatku yang kusayangi. Sungguh, jika aku menjemput syahidku pada persalinan ini, maafkan aku karena tidak dapat mendampingimu pada hari bahagiamu. Menikahlah Fathimah. Doaku bersamamu. – Mujaadillah”.

Wangi surga merembas di koridor tunggu rumah sakit pada malam kepergian Mujaadillah.

***

Suasana duka menyelimuti keluargaku dan juga keluarga Haritsah di dua hari menjelang pernikahanku. Setelah Mujaadillah dikebumikan, kami harus kembali mempersiapkan acara ijab qabul dan walimah nikahku yang kami adakan sesederhana mungkin. Keluarga Haritsah sibuk memilih mas kawin apa yang akan diberikan kepadaku.

Hari itu hari Ahad. Matahari bersinar dengan cerahnya. Keluarga kami telah sampai sejak dua jam yang lalu di masjid kecil tempat ijab qabul akan diucapkan. Hari ini – jika Allah menghendaki – aku akan menggenapkan dien-ku.

Terdengar kembali bunyi letusan dari arah kota setelah hampir dua minggu tidak terdengar letusan. Seorang tamu yang datang mengatakan bahwa tentara Zionis Israel berusaha kembali merebut jalur Gaza dan menguasai kota itu – kota Jerusalem beserta Al-Quds.





Hari pernikahanku diwarnai dengan letusan senjata-senjata sang Zionis.

Dua jam kami menunggu. Keluarga Haritsah pun sudah sampai di tempat. Beberapa tamu telah hadir. Namun kami belum melihat keberadaan Haritsah di masjid itu. Kami menginginkan pelaksanaan ijab qabul yang sesingkat mungkin mengingat keadaan yang tidak lagi memungkinkan.

„Sebelum kami pergi, Haritsah minta izin ke rumah temannya yang tidak dapat hadir ke acara ini untuk meminta doa restu pernikahannya“ sahut Mustafa yang hari itu bertindak sebagai wali Haritsah menggantikan ayahnya yang telah meninggal.
„Baik, kita tunggu saja kedatangannya dengan sabar“ sahut ayahku.
Perasaanku bergejolak kembali. Persis seperti ketika aku berangkat ke kota untuk menemui Mujaadillah yang akan bersalin. „Ya Allah... saya serahkan semuanya kepada-Mu“ gumamku dalam hati.

Seorang pemuda berbaju gamis terlihat datang ke masjid ini. „Assalamu’alaikum saudara-saudaraku, saya datang ke sini membawakan kabar dari kota. Tentara Zionis berusaha merebut kembali Al-Quds pagi tadi. Panggilan jihad telah berkumandang ke seluruh pelosok Palestina. Tadi saya bertemu dengan Haritsah, ia hendak memenuhi panggilan itu. Saya pun juga akan ingin memenuhi panggilan itu. Namun ia berkata pada saya, bahwa ia akan melangsungkan pernikahannya di hari ini dan di sini. Oleh karena itu ia meminta saya untuk datang ke sini serta mengabarkan bahwa Haritsah menangguhkan pernikahannya karena ia ingin berjihad di kota“

Semua yang hadir di sini diam tak bergeming.

„Ibu, ayah, kita tunda saja pernikahanku. Ada yang lebih penting dari pada pernikahanku“ sahutku ke orangtuaku.

***

Jerusalem di siang hari itu mengantarkan Haritsah sebagai syuhada yang kelak akan menghuni surga Firdaus. Aku jadi teringat sebuah kisah di jaman Rasulullah SAW dulu. Ada seorang pemuda yang bernama Abdullah bin Sulaim hendak menikah dengan puteri dari Abdurrahman bin Auf. Namun sebelum ia melangsungkan pernikahan, ada panggilan jihad yang segera ia turuti. Ia pun syahid di panggilan jihad itu, tanpa sempat menikah dengan puteri dari Abdurrahman bin Auf. Masya Allah, mirip sekali kisah itu dengan aku dan Haritsah kini. Ya Allah, tempatkanlah Haritsah di sisi-Mu. Ia telah membuktikan cintanya kepada-Mu. Ya Allah, sungguh cinta sejati hanyalah untukMu. Tidak ada lagi yang patut dicinta melebihi cinta kepadaMu. Niat Haritsah untuk menikahiku pun karena cintanya ia kepadaMu. Ya Allah, matikanlah juga aku dalam keadaan syahid suatu saat nanti, seperti Kau syahidkan Mujaadillah dan Haritsah. Ingin sekali aku bertemu dengan Mujaadillah dan Haritsah di bawah naungan surgaMu.

Sebulir airmataku jatuh lagi.

***

Epilog:
Pemakaman Haritsah. Ratusan orang hadir dalam upacara pemakaman, teriakan Allahu Akbar menggema di langit Palestina pagi itu. Aku teringat dengan bait nasyid kesukaanku: Khaibar khaibar ya Yahud! Jaizu Muhammad Saufaya’ud!


Berlin, 21 Juni 2005
Pukul 21:06, sesaat sebelum pergi shalat maghrib
Mushab Syuhada

Selasa, 01 Februari 2011

Handry Satriago, Memimpin Perusahaan Kelas Dunia dari Kursi Roda



Bos Termuda yang Suka Mengaku Tak Pernah Sakit

Menggantungkan aktivitas pada kursi roda tak menghentikan langkah Handry Satriago mengukir karir hingga ke puncak. Dalam keterbatasan, dia kini menjadi pemimpin utama perusahaan multinasional kelas dunia. 

IGNA ARDIANI, Jakarta

Sejak September 2010, jabatan presiden General Electric (GE) Indonesia berpindah tangan. Dari David Utama, tampuk pimpinan itu kini berada dalam genggaman Handry Satriago. Pria kelahiran Pekanbaru itu bukan orang baru di lingkup perusahaan multinasional kelas dunia tersebut.
Sebelumnya, Handry menangani Divisi GE Lighting. Terakhir, sebelum jabatan presiden diembannya, Handry merupakan direktur Power Generation GE Energy untuk kawasan Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Kamboja.  

Bergabung dengan GE Indonesia sejak 1997, karier pria 41 tahun itu boleh dibilang melesat. Hanya dalam tempo 13 tahun dia sudah menempati kantor presiden GE Indonesia. Handry tidak hanya menjadi pemimpin GE Indonesia termuda yang berasal dari dalam negeri, tetapi juga pimpinan pertama yang menggunakan kursi roda.

Sudah 18 tahun mobilitas Handry dibantu kursi roda. Jika ditanya penyebabnya, panjang cerita. Banyak orang yang mengidentikkan itu dengan penyakit. Tetapi, Handry bilang tidak. Dia sehat, hanya tidak bisa berjalan. Karena itu, sebenarnya dia cukup sebal jika harus bepergian dan ditanya-tanya.

’’Misalnya, saat di airport, saya ditanya oleh petugas, Bapak sakit apa? Saya bilang nggak sakit. Kok di kursi roda? Ya saya jawab karena nggak bisa jalan. Tapi, karena tetap harus menuliskan sakit, akhirnya saya bilang saja saya sakit saraf,’’ ujar Handry, kemudian tertawa.

Sebenarnya Handry menggunakan kursi roda bukan karena kakinya sudah tak mampu lagi berdiri maupun berjalan. Pria keturunan perantau Minang itu masih bisa melakukan keduanya. Hanya memang kualitas kakinya menurun sehingga dia hanya mampu berjalan pelan.

’’Saat kuliah dulu, empat tahun saya pakai kruk,’’ katanya. Persolannya, dia bukan tipikal orang yang senang berjalan santai. ’’Saya benci pelan. Nggak efektif saja hari-hari saya. Mending pakai kursi roda, cepat,’’ tegasnya.

Ihwal berkurangnya kemampuan kaki, kata Handry, itu terjadi karena kanker getah bening yang menyerang dirinya saat bangku kelas 2 (XI) SMA. Semula dia merasakan nyeri di sekitar tulang punggung. Rasa sakit yang menyiksa itu kemudian diikuti dengan penurunan kekuatan kaki yang makin lama terasa lemas.

Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan, terdapat kista di sumsum tulang belakang. Boleh jadi karena pada 1987 teknologi kedokteran belum semaju sekarang, pemeriksaan patologi anatomi tidak dilakukan dengan benar. Begitu kista diangkat, dia langsung dinyatakan sehat. Nyatanya, tiga bulan sesudah pengangkatan kista itu rasa nyeri muncul lagi, di lokasi yang sama.

Setelah dicek kembali, dokter mengatakan tak ada yang aneh. Mungkin rasa nyeri itu terjadi karena rematik. Namun, jika rematik, rasa sakit yang dia rasakan terlalu awet, tak mau hilang. ’’Tidur jadi susah. Telentang nggak enak, miring nggak enak. Akhirnya saya tidur dengan posisi duduk,’’ ujar suami Dinar Putri Sriardani Sambodja tersebut.  

Handry frustrasi, enggan ke dokter karena, menurut dia, tak membawa hasil. Dia lantas mulai mencoba macam-macam pengobatan alternatif. ’’You name it, mulai yang masuk akal hingga yang tidak masuk akal pernah saya coba,’’ kenangnya. Salah satu yang diingatnya, dia diminta telungkup, sementara punggung ditaburi beras, lantas ayam dilepas untuk mematuki beras itu.
Setelah itu, ayam disembelih, kemudian diperlihatkan bagian punggung si ayam yang menghitam. ’’Katanya, penyakit saya sudah ditransfer ke ayam,’’ katanya, lantas tertawa lebar. Lantaran tak mendapatkan pengobatan yang benar, kondisi kakinya kian lemah. Handry pun kembali ke rumah sakit.

Hingga akhirnya, dia bertemu dengan seorang ahli onkologi dan hematologi yang menyarankan untuk menjajal teknologi CT scan. ’’Saya termasuk pengguna mesin CT scan pertama waktu itu,’’ ujar alumnus Institut Pertanian Bogor tersebut.

Dari hasil pemindaian diketahui adanya kanker di tulang belakang. Kanker itu menekan sumsum tulang belakang dan telah mengenai saraf. Melalui operasi, kanker itu dibuang. Tetapi, karena telanjur merusak saraf, kemampuan kakinya tidak bisa kembali seperti semula.

Dokter memang tidak mengatakan stadium kanker yang diidap Handry. Yang jelas, kanker itu tergolong kanker getah bening yang sangat ganas dan juga amat mungkin kambuh kembali. Itu memang terjadi. Pada 1994, di bawah lapisan perut kiri Handry tumbuh benjolan besar.

’’Saya sedang skripsi waktu itu. Dokter menyarankan saya untuk menuntaskan skripsi sebelum operasi. Sebab, setelah operasi, saya harus menjalani kemoterapi,’’ ujar mahasiswa teladan nasional 1993 itu. Setelah 8 bulan kemoterapi, hingga sekarang kanker tak mengunjungi dia lagi.

Sebenarnya Handry tidak terlalu suka diulik-ulik soal penyakitnya. Namun, begitu menuntaskan promosi doktor dalam bidang ilmu manajemen stratejik di Universitas Indonesia dan waktu bersamaan naik jabatan menjadi presiden GE Indonesia, mau tidak mau, dia harus siap diekspos media. Pertanyaan seputar kursi roda pasti akan muncul juga.

Jauh dari perkiraannya, kisah hidupnya itu banyak mendapat feedback positif. Tak sedikit pembaca yang mengaku terinspirasi. Pemikirannya mulai berubah. ’’Mungkin ini adalah bagian dari usaha yang harus saya lakukan agar menjadi berguna,’’ ungkap putra tunggal pasangan Djahar Indra danYumalis Indra itu.

Dulu Handry berkeyakinan kuat kemampuan kakinya akan kembali lagi. Dia pun rajin menjalani sesi fisioterapi. Kenyataannya, kemampuan kakinya sudah maksimal, hanya mampu berjalan pelan. Lama-lama dia pasrah. Penyandang dua cum laude itu tak merasa menyesal.
Sebab, cobaan tersebut dirasa sudah memberikan lebih banyak daripada yang diambil darinya. ’’Saya bisa lebih termotivasi, bisa bertemu dengan banyak orang. Jika saya normal, mungkin saja sekarang saya tinggal di hutan,’’ ungkap Handry, lantas tertawa.

Meski dalam keterbatasan, penghobi baca itu cukup mandiri. Handry tak menyewa asisten khusus untuk membantu mobilitasnya. Dia lebih suka melakukan sendiri. Dia percaya bahwa pada dasarnya semua orang baik dan pasti mau membantu. ’’Jika ada yang perlu dibantu, ya dibantu. Jika tidak, ya saya melakukan sendiri,’’ katanya.   

Berbicara mengenai jabatan barunya sebagai pimpinan tertinggi di GE Indonesia, Handry tak menganggap itu sebagai puncak karir. Masih ada banyak hal yang ingin dilakukan.’’Saya ingin menjadi guru,’’ katanya. Karena alasan itu juga, Handry kembali ke bangku kuliah dan menempuh pendidikan doktor. ’’I feel alive ketika saya berada di kelas,’’ tegasnya. 

Harapannya, setelah menuntaskan tugasnya di GE, Handry bertekad akan memenuhi panggilan hatinya. ’’Sebenarnya semakin bisa ngajarin yang lebih basic semakin senang. Cuma, saya belum mempunyai  kesempatan untuk mengajar di SD, SMP, atau SMA,’’ ujar Handry. (*/c4/iro)

Minggu, 30 Januari 2011

anak Adnan Buyung Nasution






Pia Akbar Nasution, Penerus Jejak Adnan Buyung Nasution

//Minta Bayaran Tinggi saat Dibajak sang Ayah

Setiap kali sidang Gayus Halomoan Tambunan digelar, seorang perempuan selalu duduk di antara para pengacara. Kadang dia duduk di samping advokat senior Adnan Buyung Nasution. Dia adalah Pia Akbar Nasution, putri bungsu Buyung.

AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta

Sehari-hari, Pia berkantor di firma hukum Adnan Buyung Nasution and Partners di lantai 3 Menara Global. Ruang kerja berukuran 4 x 5 meter itu cukup lapang. Pada salah satu dindingnya, terdapat jendela besar dengan view kawasan Jalan Gatot Subroto yang selalu ramai.

Pia menata ruang kerjanya sedemikian rupa untuk mengingatkan dirinya akan suasana rumah. Di meja kerja, perempuan berambut panjang itu meletakkan foto-foto dua jagoan ciliknya, M. Iqbal Fadhilah Akbar, 13, dan M. Alyosha Rizsqullah Akbar, 7. Garis-garis wajah dua cucu Buyung itu sangat persis dengan sang kakek. ”Yang paling mirip yang sulung. Mirip banget, ya,” kata Pia, lantas menunjukkan foto Iqbal dan Buyung yang kompak mengenakan kacamata dan jas hitam.

Hubungan cucu-kakek tersebut memang sangat akrab. Bahkan, Buyung sering mengajak Iqbal berdiskusi dengan tema-tema serius, seperti korupsi dan persoalan hukum. ”Saya sampai bilang, ’Ayah, dia kan masih SMP,’” ujar Pia, lantas tersenyum.

Pia adalah bungsu di antara empat bersaudara. Dia juga anak Buyung yang paling cantik. Sebab, semua saudara Pia adalah lelaki. Perempuan 42 tahun itu pun merupakan salah seorang di antara dua buah hati Buyung yang menekuni karir di dunia hukum. Kakaknya, Rasyid Nasution, juga menjadi pengacara. Namun, sang kakak lebih berfokus pada bidang perkara konstitusi.

Istri M. Djamil Syah Akbar itu tidak termasuk perempuan yang ingin serbagampang. Setelah lulus dari Fakultas Hukum Unika Atma Jaya pada 1987, Pia tidak langsung bekerja bersama sang ayah. Dia merasa lebih baik memulai semuanya dari awal. ”Kalau berhasil, kan lebih puas karena itu hasil jerih payah diri sendiri,” papar dia.

Setelah lulus, Pia menelusuri gedung-gedung perkantoran di kawasan Jalan Sudirman dan Thamrin. Dia datangi satu per satu lobi gedung-gedung tersebut untuk mencatat nama-nama firma hukum. ”Saya masukkan lamaran saya ke semua firma hukum yang ada. Saya catat itu,” ujarnya.

Lulusan pascasarjana Bond University, Gold Coast, Australia, tersebut kemudian diterima di firma hukum Subagyo, Roosdiono, Jatim and Djarot. Firma hukum tersebut menangani korporasi multinasional, tidak langsung mengurusi perkara. Buyung kaget ketika diberi tahu Pia bahwa dirinya bekerja di firma hukum tersebut. Sebab, Buyung tidak mengira bahwa ibu dua anak itu benar-benar serius menjadi pengacara. ”Ayah bilang, tahu gitu, aku titipin kamu ke teman-teman,” papar dia.

Pia memang tidak mau hidup di bawah bayang-bayang sang ayah. Bebannya berat. Dia akan selalu dibanding-bandingkan dengan Buyung. Itu dia rasakan sejak kuliah. Saat menggarap tugas, bahkan skripsi, dia selalu dikait-kaitkan dengan Buyung. Kalau hasil tugas Pia baik, para dosen curiga bahwa pengerjaan tugas tersebut dibantu Buyung. Begitu pula kalau hasilnya jelek. ”Ini anak Abang Buyung, kok cuma begini hasilnya,” kata Pia, menirukan ucapan mereka.

Saat menggarap skripsi, misalnya, Pia kebetulan mengangkat tema franchise alias waralaba. Kebetulan, tema tersebut masih langka. Orang mengenal, waralaba hanya diperuntukkan makanan cepat saji. ”Dosen penguji bilang, yang bikin skripsi ini Abang Buyung, ya?” katanya.

Karena itu, sebisanya Pia bekerja dengan usaha sendiri, bukan atas campur tangan Buyung. Lagi pula, kalau dibantu sang ayah, paling banter Pia akan bekerja dengan kolega-kolega Buyung. ”Akan aneh rasanya, orang yang biasanya saya panggil om menjadi atasan,” ucap dia.

Pia benar-benar merasakan hasil kerja kerasnya. Buktinya, di firma hukum Jatim and Djarot tersebut, dia bertahan empat tahun. Pada tahun keempat dia bekerja di situ, kebetulan Adnan Buyung Nasution and Partners sudah berdiri. Buyung berniat ”membajak” Pia dari tempat kerja tersebut.

Prosesnya tidak gampang. Pia tidak mau pindah karena alasan keluarga. Dia menuntut Buyung menggaji dirinya lebih tinggi daripada firma hukum sebelumnya.

Negosiasi pun berjalan. Awalnya, Buyung menolak tuntutan gaji Pia yang terlalu tinggi untuk ukuran orang baru. Tapi, sang ayah akhirnya menurut. ”Tiga bulan dulu kau bekerja. Kalau bagus, boleh aku gaji segitu,” ujar Pia, menirukan Buyung.

Memang berapa tuntutan gaji Pia saat itu? Pia terseyum. Dahinya berkernyit. Dia berusaha mengingat-ingat. ”Lupa ah. Tapi, itu rahasia dapur, dong,” ucap dia, lantas tertawa lepas.
Bekerja bersama ayah bukan urusan gampang. Justru lebih berat. Apalagi ketika Pia masih tinggal bersama Buyung, jam dan hari kerja seolah tidak ada. Dia merasa seperti 24 jam menggarap tugas-tugas kantor. Sebab, hampir setiap saat dia bertemu dengan Buyung. Tiap kali bertemu, Buyung selalu bertanya tentang tugas-tugas yang diberikan kepada Pia.

Bahkan, saat malam, Buyung kadang-kadang mengetuk pintu kamar Pia untuk menanyakan perkara yang mereka tangani. ”Saat acara keluarga juga, masih saja bertanya tugas kantor,” ungkap Pia.
Pia menyatakan, masyarakat saat ini terus membandingkan dirinya dengan Buyung. Beberapa orang bahkan menyebut dia sebagai pengganti Buyung. Dia pun mengakui bahwa beberapa tugas yang biasanya ditangani Buyung mulai dialihkan kepadanya. Untuk sejumlah pernyataan ke media, sering Pia mengambil peran.

Namun, Pia menegaskan bahwa dirinya bukan Buyung. Dia hanya meneruskan apa yang menjadi harapan tokoh senior tersebut. ”Ayah itu one of a kind. Nggak ada yang bisa meniru dia. Saya tidak bisa seperti dia,” ucap Pia. Bekerja dengan sang ayah juga tidak berarti mendapatkan privilege. Saat sang ayah mengamuk, Pia juga disemprot, sama dengan karyawan lain.

Perempuan kelahiran 1969 itu menuturkan, sang ayah sangat berharap dirinya menjadi aktivis hukum di LSM, seperti yang Buyung lakukan dulu. Tapi, Pia menegaskan bahwa dirinya tidak bisa. Dengan pekerjaan sekarang saja, dia kadang kewalahan. Jika harus membagi waktu untuk aktivitas lain, dia khawatir keluarga kecilnya terkena imbas. ”Saya katakan kepada ayah, jujur saya tidak bisa. Keluarga dan pekerjaan harus jalan dua-duanya,” ungkap dia.

Figur ayah saat dirinya masih belia terekam jelas di benak Pia. Buyung, terang Pia, adalah ayah yang sangat sibuk. Buyung hampir tidak punya waktu di rumah. Sampai-sampai, sang ayah tidak tahu di mana anak-anaknya bersekolah. Pernah, saat masih SD, Pia berjalan pulang dari sekolahnya di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Buyung yang lewat dengan menumpang mobil langsung berhenti.
”Pia, kamu kenapa main-main di sini?” ucap Pia, menirukan Buyung kala itu. Pia menjawab balik. ”Lho, Yah, ini kan sekolah Pia. Pia habis sekolah, mau pulang,” katanya. Buyung lantas menutup jendela dan mobil kembali berjalan.

Karena itu, Pia tak ingin kejadian-kejadian seperti itu menimpa anak-anaknya. Sesibuk apa pun di tempat kerja, dia harus selalu mengontak anak-anaknya. Baik melalui ponsel, internet, maupun pertemuan-pertemuan singkat.

Apalagi saat sidang kasus Gayus sedang ramai-ramainya, Pia tetap intensif memperhatikan dua buah hatinya. Pia pernah diprotes salah seorang anaknya gara-gara terlalu sibuk. ”Mama, kantornya nggak pernah libur, ya? Kok hari libur, tapi masih kerja?” ucap Pia, menirukan komplain anaknya ketika dirinya masih sibuk bekerja pada musim liburan sekolah. ”Saya kaget banget saat dia ngomong gitu. Mending gue mati deh daripada dengar anak bilang begitu,” kata dia. (*/c11/iro)

Kamis, 27 Januari 2011

Kembar Empat dari Bogor





foto :  FEDRIK TARIGAN/ JAWA POS
Kembar Bersaudara 4 ; Marina, Marini, Martina dan Martini di temui di Rumahnya Jl. Kebun Pedas, Jakarta, Rabu (26-Januari-2011).

Marina, single, bagian keuangan RSI Bogor
Sejam lebih tua daripada tiga saudara kembarnya. Ngebet menikah bareng adik-adiknya. Tapi, sampai saat ini, menurut dia, belum ada pria yang pas di hati. 

Marini, single, bagian keuangan RS Karya Bakti, Bogor
Hobi menulis puisi dan cerpen romantis. Saudara-saudaranya menyebut dia sangat keibuan.

Martina, single, guru SDN Cibinong Kulon II, Bogor 
Paling pemalu dan pendiam di antara saudara-saudaranya.

Martini, menikah, guru di SMP IT el’Mamur, Bogor
Paling ceria di antara tiga saudaranya. Dia juga mengaku tomboi. 


Cerita si Kembar Empat dari Bogor
Dari Kecil Jadi Perhatian

Menjadi saudara kembar tentu menghadirkan keunikan tersendiri. Apalagi kembar empat, seperti Marina Siti Khodijah, Marini Siti Aisyah, Martina Siti Shopiah, dan Martini Siti Maemunah ini.

Karena keunikan itu, sejak lahir pada 7 Oktober 1983 di Bogor, Jawa Barat, para putri pasangan Sarta Wiguna dan Siti Masitoh tersebut sering menjadi sorotan sekitar. Marina, yang lahir pertama, keluar dari rahim sang ibunda secara alami. Marini, anak kedua, lahir berselisih sejam melalui operasi caesar. Begitu juga dua kembar berikutnya.

Kelahiran Marini, Martina, dan Martini hanya berselisih satu menit. Mereka berempat adalah anak bungsu di antara 13 bersaudara. Seharusnya, mereka menjadi anak kesepuluh. Tapi, karena langsung lahir empat, akhirnya jumlahnya menjadi 13 orang. Selisih umur mereka dengan saudara kesembilan adalah lima tahun. 

’’Waktu kami lahir, Kak Seto menjenguk di rumah sakit. Itu sekaligus menandai berdirinya Yayasan Nakula Sadewa yang beranggota anak-anak kembar,’’ ujar Martina kala ditemui bersama tiga saudara kembarnya di kediaman mereka di daerah Kebon Pedes, Kota Bogor, kemarin (26/1).

Layaknya anak kembar, sejak anak-anak, mereka selalu mendapatkan barang-barang yang sama. Baju, sepatu, sampai payung, semua mendapatkan jatah yang sama, baik warna maupun bentuk. Alasannya, kalau tidak sama, salah satu bisa iri. Apalagi, jika mereka sedang diundang untuk mengikuti festival kembar oleh Yayasan Nakula Sadewa di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.
Jadilah, orang tua mereka repot mencarikan baju-baju kembar minimal dua macam. Beberapa kali mereka mengikuti festival kembar di TMII. Terakhir, mereka mengikutinya lima tahun lalu.

Mereka juga pernah mengikuti festival kembar internasional pada 1994 juga di TMII. Mereka pun masuk ke sekolah yang sama. Menjadi anak kembar berjarak usia cukup jauh dengan saudara-saudara lainnya membuat keempatnya sangat akrab. Sejak kecil, setiap hari mereka selalu menghabiskan waktu bersama. ’’Paling senang kalau sedang sedih, ada banyak teman buat curhat. Kami juga tidak pernah kesepian karena semua dilakukan berempat,’’ ucap Martini.

Mereka menyatakan seperti ada telepati di antara keempatnya. Misalnya, kalau salah seorang di antara mereka tengah bersedih, yang lain akan ikut merasakan. Saat ini, ketika mereka sudah tidak tinggal dalam satu rumah, hal itu juga kerap terasa.

’’Beberapa kali, kami pernah memasang status Facebook yang sama. Misalnya, kalau satu lagi sedih, status lainnya juga ikut sedih,’’ ungkap Marina yang kini bekerja di bagian keuangan RSI Bogor. 
Soal cowok, mereka juga sering naksir cowok yang sama. Tetapi, mereka tidak pernah berebut. Menurut mereka, siapa di antara mereka yang merasa lebih suka dengan satu cowok yang mendekati, dialah yang akan mendapatkan cowok itu.

Saat ABG, mereka punya rencana untuk menikah bersama. Namun, rencana itu kandas. Martini yang termuda di antara mereka malah menikah terlebih dahulu. Saat ini, dia tengah mengandung tujuh bulan. Tiga saudaranya yang lain masih berstatus lajang.

Martini yang bekerja sebagai guru di SMP IT el’Mamur, Bogor, mengatakan, kata bidan yang memeriksanya, dirinya akan memiliki buah hati kembar. Tapi, setelah dipastikan melalui USG, ternyata anaknya tidak kembar. Martini malah bersyukur karena akan sangat repot kalau anak pertama langsung kembar.

Kesibukan bekerja membuat mereka agak susah untuk berkumpul bersama setiap hari. Tapi, mereka selalu menjalin komunikasi setiap hari melalui ponsel ataupun Facebook. Ada kegiatan favorit yang mereka lakukan saat sudah dewasa, yaitu menonton film Korea bersama-sama. (nar/c6/ayi)

Bagian Keuangan Jadi Guru SD

Menjadi saudara kembar identik membuat Marina, Marini, Martina, dan Martini mengalami hal-hal yang tidak dialami anak-anak lain. Wajah, bentuk tubuh, dan pembawaan yang sangat mirip membuat orang-orang di sekitar mereka bingung. Itulah yang membuat mereka bisa saling bertukar peran untuk membantu jika salah satu di antara mereka mengalami masalah. Bukan hanya orang lain, keluarga mereka pun kerap keliru menerka salah satu di antara mereka.

’’Waktu kecil, muka kami sangat mirip. Apalagi, potongan rambut kami juga sama. Ibu saja kadang-kadang bingung,’’ ungkap Marini. Dia menceritakan, suatu hari ibu menyuruh salah satu di antara mereka pergi ke warung. Tidak lama kemudian, ibu mereka marah-marah.
Sang bunda mengira, anak yang disuruh kembali ke rumah tanpa membawa pesanan yang harus dibeli di warung. Jelas saja yang dimarahi bingung. Kemarahan mereda setelah ibu mereka tahu bahwa yang disuruh ke warung belum datang.

Kesamaan fisik juga membuat mereka bisa bertukar peran. Salah satu yang kerap dilakukan adalah menggantikan kerja ketika salah satu tidak masuk kerja. Pertukaran peran tersebut dilakukan Martina yang bekerja sebagai guru di SDN Cibinong Kulon II, Bogor.

’’Waktu itu, saya tidak mengajar karena sakit. Daripada bolos, saya minta Marini menggantikan saya. Pelajaran SD kan juga tidak susah,’’ tuturnya. Padahal, Marini bukan seorang guru, melainkan staf bagian keuangan RS Karya Bakti, Bogor. Saking miripnya, guru maupun murid tidak tahu bahwa yang mereka temui hari itu adalah orang yang berbeda. (nar/c12/ayi)

Didik Anak dengan Tangan Besi






Didik Anak dengan Tangan Besi
Amy Chua si Tiger Mother

Amy Chua sedang menjadi pembicaraan. Bukan karena sosoknya sebagai profesor muda di universitas papan atas Amrik, Yale University. Namanya kini melejit setelah dia berbagi cara mendidik anak lewat buku berjudul Battle Hymn of the Tiger Mother. Buku yang dirilis 11 Januari lalu tersebut menuai protes dari banyak kalangan. Seperti apa pengasuhan yang dilakukan tiger mother itu?

BUKU setebal 237 halaman tersebut merupakan memoar dari pengalaman Chua mengasuh dua putrinya, Sophia 18, dan Louisa, 13. Dia menggambarkan metode tangan besinya sebagai tradisi Tiongkok, meski perempuan 47 tahun itu lahir dan besar di Illinois, AS. Chua juga menuntut ilmu di Yale University. Tak sedikit pun dia pernah merasakan pendidikan ala Negeri Tirai Bambu.
Dalam bukunya, Chua tidak segan menceritakan bahwa dirinya melarang dua anaknya untuk menginap di rumah teman dan menghadiri kamping sekolah. Dia juga tidak suka anak-anak ikut drama. Televisi dan permainan komputer merupakan barang yang haram disentuh Sophia dan Lulu, panggilan Louisa.

Selain itu, istri Jed Rubenfeld tersebut melarang keduanya memilih sendiri kegiatan ekstrakurikuler yang disukai. Mereka hanya boleh bermain piano dan biola. Absen les musik, Sophia dan Lulu bisa dihukum berat. Soal nilai pelajaran, standar Chua sangat tinggi. Mereka tidak boleh mendapat nilai selain A. Dua gadis itu juga harus menjadi murid nomor satu di semua mata pelajaran, kecuali olahraga dan drama.

Chua dengan gamblang menceritakan, dirinya tidak ragu mengucapkan kata-kata kasar kepada anak-anaknya jika ada target tertentu yang belum bisa mereka lampaui. Salah satu yang membikin miris, dia membuang kartu ulang tahun yang dibuat oleh tangan-tangan kecil Sophia dan Lulu hanya karena kartu tersebut kurang bagus di matanya. Sebagai tambahan, saat itu Chua juga memaki mereka dengan sebutan sampah.

Contoh lain yang mengundang kecaman adalah ketika Lulu tidak kunjung menguasai sebuah komposisi. Chua melarang Lulu berdiri di depan piano sebelum komposisi itu bisa dihafal. Sepanjang malam, Lulu bekerja keras menguasainya. Dia tidak makan, tidak minum, dan bahkan tidak ke kamar mandi. Hanya di piano.

’’Itu bukan metode yang benar. Anak yang menerima perlakuan seperti itu tidak akan bisa berpikir dan bertindak untuk dirinya sendiri. Sebab, sejak kecil mereka terbiasa dengan pilihan-pilihan yang dibuat ibunya,’’ kecam Anne Cawood, ahli parenting asal Cape Town, sebagaimana dikutip BBC. ’’Saya sering mendapat pasien anak-anak seperti itu. Meski secara akademis nilainya bagus, self esteem mereka sangat rendah,’’ paparnya.

’’Pendekatan seperti itu tidak bisa diterapkan kepada semua anak,’’ imbuh Greg Crighton, psikolog pendidikan asal Johannesburg. ’’Tidak semua bisa mendapat nilai A karena secara akademis memang tidak mampu. Menghadapi hal semacam itu, orang tua tidak boleh memaksa,’’ tegasnya.

Chua santai saja menghadapi semua kecaman yang ditujukan kepada dirinya. Menurut perempuan keturunan Filipina tersebut, kontroversi itu hanya muncul karena kultur yang berbeda. Di Tiongkok, orang tua memegang kontrol penuh atas pengasuhan anak. Mereka lebih tegas. Tidak seperti orang tua negara-negara Barat yang lebih mementingkan self esteem anak.

’’Di Tiongkok, orang tua bisa menyuruh anak mendapat nilai A. Menyebut anak pemalas juga biasa. Sementara itu, di Barat, orang tua hanya meminta anak melakukan yang terbaik,’’ ungkap Chua. ’’Di Eropa dan AS, orang tua selalu khawatir akan perkembangan psikologis anak. Padahal, kalau terbiasa dengan metode keras, yang mereka takutkan tidak terjadi,’’ lanjutnya.

Orang Tiongkok, kata Chua, percaya bahwa anak berutang banyak hal kepada orang tua. Itulah yang melandasi pemikiran bahwa anak di sana bisa dieksploitasi. ’’Kami menjaga anak kami dengan mempersiapkan mereka menghadapi masa depan yang keras. Kami mempersenjatai mereka dengan skill, kebiasaan bekerja keras, serta kepercayaan diri,’’ ujarnya.

Yang membuat banyak orang heran, anak-anak Chua tampak enjoy dengan pendidikan keras ala sang ibu. Sophia justru menyatakan sangat beruntung mendapat pola asuh tangan besi Chua. Dia juga menyebutkan, kecaman-kecaman para psikolog yang ditujukan kepada sang ibu tidak beralasan.

’’Punya ibu seperti mama (Chua), kami tidak bisa bersenang-senang terlalu sering. Tapi, saya tahu, itu semua mama lakukan untuk kebaikan saya dan Lulu,’’ katanya dalam sebuah surat terbuka di Washington Post. ’’Mama tidak bertangan besi. Dia hanya membuat saya mengeluarkan seluruh kemampuan terbaik dalam semua hal. Saya sangat berterima kasih atas pola asuhan mama,’’ lanjutnya. (na/c5/ayi)





* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *

Bunda Lembut pun Bisa Antar Sukses

DALAM surat pembelaan yang dikirim ke Washington Post, putri Amy Chua Sophia menulis bahwa pola asuh tangan besi ibunyalah yang mengantarnya menjadi pribadi sukses. Dalam arti, selalu mendapat nilai A di sekolah, pintar bermain piano dan biola, serta menjadi pribadi yang tangguh.
Namun, pola seperti itu bukanlah satu-satunya cara untuk mengantar anak ke jenjang kesuksesan. Litha Chistin, misalnya. Perempuan 48 tahun tersebut tidak pernah menggunakan cara-cara keras untuk mendidik tiga anak gadisnya, Caroline Tanjaya 25; Evelyn 22; dan Aileen 10. Tanpa itu pun, Caroline dan Evelyn selalu menjadi murid unggulan di sekolah.

Caroline yang sejak SMA sering mengikuti program pertukaran pelajar ke berbagai negara bisa menyelesaikan kuliah dalam waktu 3,5 tahun. Dia baru saja mendapat gelar magister ilmu politik dari sebuah universitas di India. Sementara itu, Evelyn, yang nilai-nilainya selalu bagus, kini bekerja di Bank Indonesia.

”Saya tidak pernah memberikan les pelajaran ke anak-anak. Kecuali bahasa Inggris, itu pun karena sangat diperlukan di kehidupan sehari-hari,” jelas Litha. ”Sejak TK, tiga anak saya les bahasa Inggris. Itu pun sudah berhenti setelah lulus SD. Pelajaran lain, mereka sama sekali nggak pernah les,” lanjutnya. 

Menurut Litha, pelajaran tambahan di luar jam sekolah tidak cukup efektif. Pulang sekolah, anak sudah lelah, belum tentu bisa menerima materi lagi. Daripada les, Litha selalu menyuruh anak-anaknya tidur siang sebentar. Nanti bangun tidur, mereka sudah fresh dan siap belajar atau mengerjakan PR. ”Belajarnya tidak lama, paling setengah jam. Tetapi, materinya benar-benar masuk. Toh, nilai anak-anak bagus semua,” lanjut perempuan kelahiran Banjarmasin itu.

Tidak seperti Chua yang melarang anak-anaknya mengikuti kamp sekolah atau menginap di rumah teman, Litha membebaskan semua anaknya bersosialisasi. Segala macam acara yang diadakan sekolah, anak-anak boleh ikut. Bikin pajamas party di rumah teman, silakan. Yang penting, anak-anak jujur dan bertanggung jawab.

Meski terdengar cukup permisif, pola asuh yang diterapkan Litha efektif membangun disiplin dan tanggung jawab pada tiga putrinya. ”Bahkan, Aileen pun sudah bisa tanggung jawab. Kalau main ke rumah teman, biasanya dia belajar kelompok. Belajar beneran, tidak main-main. Dia sudah punya kesadaran sendiri, kalau melakukan ini akibatnya apa, melakukan itu akibatnya apa,” tutur Litha. (na/c7/ayi) 
   
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * *    


Potensi Munculkan Depresi

POLA asuh yang diterapkan Amy Chua memang bertipe Tiongkok kuno yang cenderung keras. Anak dianggap sebagai properti, yakni orang tua merasa memegang kontrol penuh atas pengasuhan dan pendidikannya. Dengan landasan pemikiran seperti itu, tak jarang dalam penerapannya orang tua bertindak otoriter.

Maria Farida Kurniawati SPsi mengatakan, tidak ada ukuran bahwa suatu metode seratus persen benar atau seratus persen salah. Sebab, pola pengasuhan ditentukan pula oleh kultur, kebiasaan, dan komitmen keluarga itu sendiri. ”Sebaiknya, lihat dulu karakter buah hati sebelum menentukan pola pengasuhan,” ucap Maria.

Menurut ketua Yayasan Baby Smile School itu, yang paling penting dari sebuah pola asuh adalah penerimaan si anak. Untuk anak yang sensitif dan cenderung flegmatis, perlakuan superkeras dari orang tua ala tiger mother jelas tidak cocok. Bukannya menuruti keiginan sang bunda, bisa-bisa mereka malah depresi atau tertekan.

”Anak yang sejak kecil sudah terbiasa menelan semua yang diperintahkan orang tua, nanti dia tidak punya pilihan sendiri. Kalaupun punya, dia tidak berani mengungkapkan. Dia tidak akan bisa mengeluarkan ekspresi emosionalnya,” papar Maria. Ujung-ujungnya, anak menjadi tertutup, kaku, dan individualis. Lebih buruk lagi, mereka cenderung memperlakukan lingkungan sekitar sebagaimana perlakuan yang dia terima dari orang tua.

Maria pernah menjumpai seorang anak korban pengasuhan keras ala tiger mother. Sejak kecil anak tersebut dibebani aneka target oleh orang tua. Jika si anak gagal mencapai target itu, orang tua tidak segan-segan mengurungnya di gudang. Ayah si anak berpendapat, mereka bisa sukses lantaran menerima perlakuan yang sama dari orang tuanya. 

”Padahal, tiap anak kan berbeda. Antara saudara yang hanya beda beberapa tahun saja karakternya tidak sama. Apalagi dengan orang tua yang beda generasi,” papar Maria. Akibatnya fatal, anak tersebut memiliki gejala masokis.

Lantas, bagaimana bunda bisa memilih pola pengasuhan anak? Mula-mula, pastikan bunda mengenal karakter anak. Karakter itu bisa dilihat sejak balita. Yang paling baik, pilih pola asuh yang demokratis. Artinya, orang tua mendorong anak mengutarakan keinginan, juga selalu mendengarkan setiap keluhan mereka. Biarkan kepercayaan diri mereka berkembang secara wajar. Disiplin wajib diterapkan. Tapi, disiplin harus dibedakan dengan otoriter.

”Ada toleransi-toleransi yang bisa diberikan. Disiplin dianggap berhasil jika anak mau melakukan semua kewajiban karena kesadaran, bukan karena paksaan. Berikan pengertian tentang plus minusnya anak melakukan kewajiban itu,” papar Maria. ”Kalau anak tidak mau, tugas orang tua adalah memberi motivasi,” tegasnya. (na/c10/ayi)

   
   

Selasa, 25 Januari 2011

Keluarga Pengacara 3




Foto: Boy Slamet/Jawa Pos

Ditegur Ayah, Hanya Tangani
Manajemen Kantor Pengacara

Salah seorang tokoh muda Surabaya merupakan anak pejabat Mahkamah Agung (MA). Dia adalah Adies Kadir. Ketua DPD Partai Golkar Surabaya itu adalah putra Abdul Kadir Mappong, wakil ketua MA Bidang Yudisial.

Kewenangan sang ayah (bidang yudisial itu membawahkan pidana umum, pidana khusus, perdata umum, perdata khusus, tata usaha negara, agama, dan militer) tersebut memberikan privilege tersendiri bagi Adies.

Dugaan macam-macam pun muncul. Misalnya, dengan posisi ayahnya itu, Adies pun disebut bisa gampang menang dalam beperkara. Apalagi, dia sempat bergabung dengan kantor pengacara dan kuasa hukum Syaiful Ma’arif and Partners.

Kendati baru dan masih muda di Surabaya, kiprah kantor pengacara itu cukup moncer. Beberapa kasus yang mereka tangani berhasil dimenangi secara cemerlang. Mereka juga berhasil membebaskan empat terdakwa kasus gratifikasi yang menghebohkan Surabaya pada 2008.
Saat dikonfirmasi, Adies hanya tertawa. ’’Informasi itu tak benar bila saya dianggap memanfaatkan bapak saya,’’ katanya.

Dia mengungkapkan, bapaknya justru kali pertama menegur ketika tahu dirinya mulai terjun ke bidang hukum. ’’Sebaiknya jangan jadi pengacara dulu selama bapak masih menjabat. Sebab, nanti ada konflik kepentingan. Mending nunggu bapak pensiun dulu,’’ ucap Adies menirukan sang bapak saat itu.

Dia pun mematuhi peraturan tersebut. ’’Saya memang terlibat dalam Syaiful Ma’arif and Partners, tapi tidak ikut beracara (berpraktik sebagai pengacara). Saya hanya dipercaya mengurus manajemen bironya dan sama sekali tak ada kaitan dengan kasus,’’ tegasnya.

Adies pun menceritakan riwayatnya. Setelah lulus dari Fakultas Teknik Sipil Universitas Wijaya
Kusuma (UWK) Surabaya pada 1992, dirinya bekerja sebagai site engineer di PT Lamicitra. ’’Gaji saya hanya Rp 150 ribu saat itu. Itu bukti bahwa saya tidak pernah mengandalkan orang tua,’’ ceritanya. Selanjutnya, karirnya merangkak naik hingga menjadi site manager proyek Jembatan Merah Plaza (JMP) dan menjadi project manager dengan gaji Rp 7,5 juta per bulan.

Pada 1996, Adies berpindah kantor ke PT SuryaInti Permata. Dia dipercaya menjadi kepala cabang Batam yang bertugas menggarap hanggar Bandara Hang Nadim, Batam. ’’Gajinya sangat memuaskan,’’ tutur Adies tanpa mau menyebutkan nominalnya. Hanya, saat itu dia digaji dengan mata uang dolar Singapura (SGD).

Lantas, pada 1999, Adies balik ke Surabaya. Kali ini, dengan bekal tabungan dari gaji saat bekerja di PT SuryaInti Permata itu, dia membuka perusahaan sendiri, yakni PT Trisakti dan CV Delaviji. Kini, proyek yang digarap dua perusahaan Adies tersebut lebih banyak berlokasi di Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Selatan (Kalsel). Nilai proyeknya berkisar Rp 6 miliar.
Bersamaan dengan itu, dia kemudian bersekolah hukum di Universitas Merdeka (Unmer) Surabaya hingga bisa mendapatkan surat izin beracara sementara. Tapi, sesuai dengan peraturan sang bapak, dia hanya terlibat dalam manajemen biro hukum Syaiful Ma’arif and Partners.

Selanjutnya, Adies merambah dunia politik. ’’Saya sebenarnya tertarik pada dunia politik sejak kecil,’’ ujarnya. Dia menyatakan, mentornya adalah sang bapak, Abdul Kadir Mappong, yang saat itu menjabat ketua Pengadilan Negeri (PN) Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah (Kalteng). ’’Dulu, pada zaman Orba, PNS kan juga disuruh kampanye. Saya sering diajak kampanye sama bapak,’’ ujarnya. Tentu, partai afiliasinya adalah Golkar.

Ditambah kuliah di UWK (yang didirikan para tokoh Golkar di Jatim), tak heran bila Adies masuk Golkar. Dia memulai karir sebagai sekretaris PK (pengurus kecamatan) Golkar Dukuh Pakis. Lalu, pada 2004, dia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, tapi dapat nomor 8 alias nomor sepatu.

’’Meski tidak terpilih, saya mendapat pengalaman politik yang berharga,’’ ungkapnya.
Karirnya terus moncer. Dia kemudian menjadi ketua AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar). Selanjutnya, dia menjadi caleg (calon anggota legislatif) DPRD Surabaya dan terpilih pada Pemilu 2009. Lantas, Adies menjabat ketua Fraksi Partai Golkar di DPRD Surabaya. Belakangan, dia juga terpilih sebagai ketua DPD Partai Golkar Surabaya.

Adies menuturkan, fokusnya di dunia politik semata untuk kepuasan pribadi. ’’Untuk bisnis, saya sudah cukup. Kini, dua perusahaan saya ditangani kerabat saya,’’ katanya. Kiprahnya di dunia politik juga menjadi semacam pelampiasan karena tak bisa terjun dalam dunia hukum.
’’Pernah kuliah di hukum, tentu saja saya ingin menjadi pengacara. Tapi, karena nasihat bapak itulah, saya memutuskan keluar dari manajemen Syaiful Ma’arif (and Partners) dan fokus di politik sekarang,’’ jelasnya. (ano/c5/dwi)

Keluarga Pengacara 2





Dimarahi Ayah ketika Masuk ke Ruang Sidang

Bapak Hakim Agung, Anak Jadi Pengacara

Nesha Merangkap Jadi Kontraktor

Mereka ini adalah para pengacara yang ayahnya menjadi hakim agung. Benarkah mereka menuai berkah dari jabatan orang tuanya ketika berperkara di pengadilan?
--------------------

Nama Neshawaty mencuat belakangan ini. Putri sulung hakim konstitusi Arsyad Sanusi itu (sebelumnya pernah menjadi hakim agung) merupakan salah seorang yang disebut menemui pihak beperkara di Mahkamah Konstitusi ( MK), mantan calon Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud. Padahal, hakim konstitusi harus menjaga keluarganya agar tidak menemui pihak beperkara.

’’Saya tidak bermain dalam perkara tersebut. Papi juga tidak tahu. Saya hanya kebetulan menerima seseorang yang bertamu ke rumah karena merasa dizalimi pengacara,’’ tutur wanita 39 tahun yang karib dipanggil Nesha itu saat ditemui di apartemen lembaga tinggi negara di Kota Baru Bandar, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Apartemen tersebut merupakan rumah dinas Arsyad selama menjabat hakim. Nesha ikut tinggal di situ bersama ibu dan salah seorang saudaranya. Apartemen tersebut terletak di lantai 4 tower 1 di sisi timur yang langsung menghadap udara bebas.

Ruang tamu apartemen Arsyad cukup lapang dengan jendela besar ber-view kawasan Kemayoran. Di meja kecil di samping ruang tamu dipajang foto-foto Arsyad dan para anggota keluarga. ’’Saya kalau tinggal di sini tidak lama kok. Paling habis ini ke Surabaya atau ke Makassar untuk keperluan bisnis,’’ ujarnya.

Kendati memiliki ayah yang malang melintang di dunia peradilan, Nesha tidak benar-benar merintis karir di dunia hukum. Dia justru fokus ke bisnis. Mulai bisnis pakaian, makanan, kontraktor, hingga jasa layanan umrah. Aktivitas di dunia hukum justru secara resmi baru diterjuni pada 2009. Sebab, pada saat itulah dia baru lulus ujian di Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).

Memang, Nesha pernah kuliah hukum di Universitas Airlangga (Unair). Tapi, sebelumnya dia justru belajar sastra Inggris di Universitas Widya Mandala (UWM) Surabaya, meski tak sampai lulus. Baru setelah si bungsu Irawaty Arsyad kuliah hukum, dia ikut. Nesha lulus dari Unair pada 2000.
Jalan hidup janda tiga anak itu memang tidak diarahkan Arsyad ke dunia hukum. Nesha bahkan sempat dimarahi ayahnya gara-gara nyelonong di ruang sidang saat Arsyad bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Saat itu Arsyad memimpin sidang kasus Tanjung Priok yang menewaskan Amir Biki. ’’Di depan pengunjung sidang, saya dimarahi, disuruh keluar. Sampai di rumah saya dimarahi lagi. Katanya jangan sekali-sekali masuk ruang sidang,’’ tuturnya.

Dari enam bersaudara, tutur Nesha, hanya Irawaty yang benar-benar ’’dikader’’ Arsyad. Hakim kelahiran Makassar itu juga kerap secara langsung ’’menurunkan ilmunya’’ lewat diskusi-diskusi di rumah. Bahkan, ketika akan membuat putusan, Irawaty sering berkonsultasi dengan sang ayah. Irawaty kini bertugas sebagai hakim di Depok, Jabar, sembari menunggu penempatan. ’’Kalau Papi nggak mau beri tahu, aku nggak mau jadi hakim lagi,’’ tutur Nesha menirukan rengekan si bungsu lantas terkekeh.

Beberapa tahun lalu Nesha sejatinya juga ikut nimbrung di firma hukum. Namun, dia hanya membantu dan tidak menangani perkara secara langsung. Yakni, di firma hukum ADN bersama anggota KPU Surabaya Edward Dewaruci. ’’Saya ikut mendirikan juga,’’ ujarnya.

Nesha menegaskan bahwa dia tak pernah memanfaatkan posisinya sebagai anak hakim untuk mengurus perkara. Di rumah dia juga sangat jarang berbincang soal kasus dengan Arsyad. Bahkan, pada sengketa pilwali Surabaya di MK tahun lalu, dia juga tidak ikut bermain meski kenal baik dengan Edward. ’’Saya nggak pernah ikut-ikutan,’’ tegasnya. (aga/c2/agm)

Keluarga Pengacara 1





Advokat Farhat Abbas, Putra Hakim Agung Abbas Said

Anak Realistis, Ayah Normatif

Farhat Abbas sebenarnya ingin menjadi hakim. Tapi, oleh bapaknya, Abbas Said (hakim agung yang kini menjadi ketua bidang di Komisi Yudisial), dia diarahkan menjadi pengacara jika ingin kaya.

--------------------------------------------- 

Farhat adalah putra kedua Abbas Said. Farhat mengaku sebagai anak kebanggaan bapaknya. ’’Mungkin kalau anak kesayangan, tidak. Sebab, semua anak jelas disayang. Tapi, kalau anak kebanggaan, jelaslah,’’ canda Farhat saat ditemui di sebuah studio rekaman di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu (22/1).

Studio rekaman tersebut disewa Farhat untuk menggarap lahan bisnisnya. Yakni, menciptakan lagu. Bisnis tersebut dia kelola bersama istri, Nia Daniati, yang juga penyanyi. ’’Ini lagu ciptaan saya,’’ katanya lantas menyuruh salah seorang teknisi menyetel komposisi berjudul Jakarta dan Pengacara.
Saat ini sudah 25 lagu yang diciptakan Farhat. Soal aransemen, dia menyewa sejumlah orang untuk membantunya. Tapi, secara umum, lagu-lagu ciptaannya harus dia acc bersama sang istri. ’’Daripada saya bisnis tambang emas yang merusak lingkungan, lebih baik saya bisnis tembang emas,’’ ujarnya lantas terkekeh.

Dari enam bersaudara, hanya Farhat dan si bungsu yang merintis karir di dunia hukum. Si bungsu kini sudah jadi hakim. Proses Farhat menjadi pengacara juga tidak langsung setelah dia lulus dari Universitas Pasundan. Sebab, begitu lulus kuliah dia sempat menjajal dunia bisnis sebagai pengusaha rotan.

Memilih hukum sebagai jurusan juga bukan karena arahan sang ayah. Itu dipilih karena sarjana hukum cenderung lebih banyak dibutuhkan di instansi-instansi. ’’Lebih fleksibel kalau mau cari kerja,’’ katanya.

Setelah cukup dengan bisnis rotan, Farhat lantas mulai berpikir jadi pengacara. Awalnya, dia sempat berpikir ingin menjadi hakim. Tapi, Abbas Said sempat berkata kepada dia, ’’Kalau mau kaya, jadi pengacara. Jangan jadi hakim. Jadi hakim yang ada hanya pengabdian.’’ Lelaki 34 tahun itu pun akhirnya menggeluti dunia pengacara.

Saat masih menjadi hakim agung di Mahkamah Agung (MA), Abbas Said tidak pernah memperkenalkan Farhat kepada kolega sesama hakim. Justru Farhat dilarang datang ke kantor Abbas di gedung Mahkamah Agung (MA). Begitu pula ketika Abbas bermain golf bersama rekan-rekannya. Farhat tak pernah diajak. ’’Saya sebenarnya juga mau ikut. Tapi, ayah selalu risi kalau lihat saya. Akhirnya, nggak usahlah daripada dia risi,’’ katanya.
Untuk menjaga independensi, Abbas sengaja tidak pernah menyidangkan kasus-kasus yang ditangani Farhat. Tiap kali ada kasus dengan Farhat sebagai pengacara, Abbas meneruskannya ke hakim agung lain.

Farhat mengakui, dia kerap berdiskusi dengan Abbas tentang hukum. Namun, tidak spesifik pada kasus tertentu. Farhat justru merasa tidak asyik berdiskusi dengan sang ayah. Sebab, Abbas cenderung normatif. Penjelasannya pun lebih banyak berkutat pada hal-hal yang berbau agama. ’’Kalau kita kan anak muda mikirnya realistis. Ayah itu mikirnya selalu agama,’’ imbuhnya.
Selama menjadi pengacara, Farhat pernah dimarahi Abbas. Dalam kasus pembunuhan penyanyi Alda Rizma, hakim memutus kurungan badan 15 tahun bagi terdakwa Ferry Surya Prakasa. Farhat mencak-mencak dan mengecam hakim yang memberikan hukuman terlalu ringan. ’’Langsung saya ditelepon. Dia bilang, kamu sama hakim jangan begitu. Bisa kualat kamu,’’ tuturnya. (aga/c2/kum)

Selasa, 11 Januari 2011

Dahlan Iskan : sosok . .



Bergaya Pemimpin Tiongkok, Dahlan Live Chat dengan Karyawan

JAKARTA --Suasana di ruang Pre Function, Kantor Pusat PLN di Jalan Trunojoyo, Blok M, Jakarta Selatan, kemarin pagi (31/12) meriah. Direktur Utama PLN Dahlan Iskan membuat kejutan dengan mengenakan baju dan topi bergaya pemimpin revolusi Tiongkok, Mao Zedong, dalam acara Live Chat With Dahlan Iskan.

Live Chat adalaah salah satu media komunikasi secara langsung direktur PLN dengan karyawan. Tema live chat yang diangkat sesuai dengan CEO Note yang ditulis Dahlan Iskan sehari sebelumnya, yakni ’’Tahun 2011, Tahun Cangkul yang Dalam’’. CEO Note tersebut bercerita tentang apa yang harus dilakukan oleh insan PLN di tahun 2011.

’’Selamat pagi di Indonesia Barat dan selamat siang di Indonesia Timur...,” sapanya. Seketika beberapa karyawan menyapa kembali melalui layar laptop.

Antusiasme karyawan yang mengikuti live chat  juga membuat beberapa kali laptop yang digunakan menjadi hang dan lemot. Dahlan pun nampak tak sabar. ’’Ayo… ayo… mana lagi yang harus saya jawab?” teriak Dahlan, yang membuat para moderator menjadi agak grogi.

Pertanyaan yang ditanyakan karyawan pun sangat bervariasi. Ada yang serius, konyol, maupun curhat. ’’Pak, di note Bapak tahun 2011 tidak mau lagi dipusingkan dengan hal-hal tetek bengek, justru kalau masih ada manajer cabang atau ranting bakal diganti. Kalau di luar Jawa sudah dapat jatah trafo distribusi yang melimpah belum Pak seperti di Jawa? Kok kita masih merasa mendapatkan trafo sebagai sesuatu yang langka ya?” tanya salah seorang karyawan.

’’Hermansyah, khusus untuk Anda, tolong jawab di sini: sekarang ini Anda perlu berapa trafo. Jam ini juga akan saya kirim!’’ janji Dahlan.

Ada pula pertanyaan yang menggunakan bahasa asing, ’’Overlevenden vieren het nieuwe jaar 2011, kunnen we geen verandering voor de toekomst te maken IndonesiĆ« meer licht dan onze naties geallieerde.’’ (Selamat memasuki tahun baru 2011, kita tidak bisa mengubah untuk masa depan untuk membuat Indonesia lebih ringan dari negara lain).

Tidak jelas, Dahlan mengerti atau tidak, tapi dia tetap membalas, ’’Het nieuwe jaar juga. leven gevaar...wo hen ai niii,” yang langsung memancing tawa semua orang yang ikut menonton live chat ini.

Tak terasa 1 jam 30 menit telah terlewati, Dahlan Iskan pun menutup forum dengan menuliskan, ’’Aduuuuhhhh kok waktunya habis ya... padahal masih mau terus menjawab. Tapi begitulah alam, tergantung waktu. Kita akhiri dulu chatting ini sampai di sini. Maaf bagi yang belum terjawab. Akan saya baca semua pertanyaan yang belum terjawab itu. Selamat mencangkul dalam-dalam dan selamat tahun baru!’’

Dalam live chat itu Dahlan didampingi Direktur Operasi Indonesia Timur Harry Jaya Pahlawan, Direktur Perencanaan Nasri Sebayang, Direktur Bisnis dan Manajemen Resiko Murtaqi Syamsuddin, Direktur Operasi Jawa Bali Ngurah Adnyana, Direktur Keuangan Setio Anggoro Dewo, dan Direktur Operasi Indonesia Timur  Vickner Sinaga.

Live chat bertujuan untuk menampung aspirasi dan menjadi salah satu media komunikasi dengan karyawan. Tema yang diangkat sesuai dengan CEO Note yang sehari sebelumnya telah disebarkan ke karyawan di seluruh Indonesia dengan judul ’’Tahun 2011, Tahun Cangkul yang Dalam’’. CEO Note tersebut bercerita tentang apa yang harus dilakukan oleh insan PLN pada 2011. (lum/jpnn/ari)

Dahlan Iskna : Bangun Apa Saja dengan Modal Hemat 2 T

Bangun Apa Saja dengan Modal Hemat Rp 2 Triliun

Oleh Dahlan Iskan

Direktur Utama PT PLN


Indonesia akan tetap jadi salah satu bintang ekonomi dunia pada 2011. Tidak ada satu pun faktor yang membuat Indonesia tidak lebih baik. Dari sektor yang kini saya tangani, sinyal itu terlihat lebih jelas. Sektor listrik yang merupakan penggerak utama ekonomi jauh membaik pada  2011.

Dua minggu lalu, ketika ke Sumut, saya minta diantar ke Kawasan Industri Medan (KIM). Saya dengar di kawasan ini sudah  berhasil dibangun satu pabrik keramik yang sangat besar dengan investasi hampir Rp 1 triliun. Pabrik itu tidak bisa dijalankan karena tidak mendapatkan listrik.

Ternyata benar. Bahkan, pembangunan pabrik tersebut sudah selesai sejak dua tahun lalu. Pabrik itu dibangun dengan serius. Mesin-mesinnya baru buatan Eropa. Tapi, nganggur. Saya bayangkan berapa bunga yang harus dibayar investornya  setiap bulan. Berapa banyak tenaga kerja yang mestinya bisa tertampung di situ. Berapa besar  devisa yang bisa diperoleh karena keramik tersebut sudah punya pasar di Taiwan. Tentu, saya tidak bisa melihat hal seperti itu. Saya minta teman-teman di Medan segera mengalirkan listrik ke pabrik itu.

Di Jakarta saya juga menerima surat dan SMS yang sangat banyak. Asalnya dari kalangan industri. Isinya minta tambahan listrik. Mereka berencana  mengembangkan usaha pada  2011. Tentu, tidak baik kalau saya melayani permintaan seperti itu satu per satu. Karena itu, saya umumkan saja secara terbuka melalui iklan di surat kabar: pengusaha yang memerlukan listrik silakan hubungi e-mail PLN. Pada 15 Desember 2010,  permintaan itu, berapa pun besarnya, akan dipenuhi oleh PLN.
Ketika mengumumkan itu, kami mengira permintaan listrik dari pengusaha akan mencapai 1.000 MW. Karena itu, acara pada 15 Desember 2010 tersebut kami beri nama ”Kado 1.000 MW untuk Pengusaha”.

Ternyata meleset. Permintaan itu mencapai 1.600 MW. Satu jumlah yang amat besar. Yang saya bayangkan adalah: tahun 2011 akan sangat bergairah. Dari permintaan listrik itu saja, sudah bisa diketahui berapa ribu pabrik yang akan mengembangkan usahanya. Berapa tenaga kerja yang akan terserap ke dalamnya. Bahkan, salah satu perusahaan yang minta listrik tersebut ternyata pabrik baja baru yang akan membangun pabrik lebih besar daripada Krakatau Steel.

Ketika saya mendampingi wakil presiden ke Ambalat di perbatasan dengan Malaysia pertengahan Desember, direktur Bank Papan mengungkapkan kegembiraannya bahwa banyak kredit macet di banknya yang membaik. Mengapa? Sebab, para pengusaha perumahan (real estate) sudah mulai bisa menjual rumah mereka. Ini juga karena perumahan mulai mendapatkan listrik. Gerakan ”satu hari satu juta sambungan” yang diadakan PLN pada  27 Oktober 2010 ternyata bukan hanya menyenangkan para pemilik rumah, tapi juga menyelesaikan banyak persoalan kredit macet.

Pengurus Pusat REI (Real Estate Indonesia) memang merasa sangat tertolong oleh gerakan sehari sejuta sambungan itu. Apalagi kami masih akan memprogramkan bahwa pada Mei 2011 ini akan ada lagi gerakan sejuta sambungan. Bahkan, pada  2011 ini, seluruh daftar tunggu di seluruh Indonesia harus sudah tidak ada lagi. Artinya, orang yang memerlukan listrik bisa langsung mendapatkan listriknya. Kecuali yang rumahnya amat jauh dari jaringan listrik, yang untuk melayaninya masih memerlukan pembangunan tiang-tiang listrik yang banyak. Untuk yang seperti ini, memang banyak pekerjaan pendahuluan yang harus diselesaikan.

Dari mana PLN memiliki listrik yang demikian banyak?

Listrik itu, untuk Jawa,  sebenarnya ada. Hanya saja, selama ini terjadi bottle-neck dalam penyalurannya. Untuk menyalurkan listrik itu diperlukan infrastruktur yang banyak. Mulai dari gardu induk tegangan ekstra tinggi (GITET) sampai ke trafo-trafo distribusi. Pada akhir 2010,  PLN sudah mendatangkan lima trafo IBT untuk lima GITET di sekitar Jakarta. Sembilan trafo IBT lagi akan tiba awal tahun 2011 untuk Jabar, Jateng, dan Jatim. Termasuk untuk mengganti trafo GITET Krian (Sidoarjo, Jatim) yang dulu dipinjam Cawang ketika GITET di Jakarta Timur itu meledak pada  2009.
Demikian juga trafo distribusi.  Pada akhir 2010, PLN membeli hampir 10.000 unit trafo distribusi. Ini pembelian trafo terbesar yang pernah dilakukan PLN dalam satu periode. Kebetulan, dengan perubahan sistem pengadaan,  PLN kini bisa membeli trafo GITET maupun trafo distribusi dengan harga hanya separo daripada  harga pembelian dulu.

Dari mana PLN tiba-tiba punya uang? Bisa membeli begitu banyak trafo?

Selama 2010,  dari berubahnya sistem pembelian, direktur pengadaan strategis bisa menghemat uang Rp 2 triliun! Sebuah penghematan yang bisa dipakai untuk membangun apa saja! Pada 2011, perubahan sistem pembelian itu akan dilanjutkan ke bidang pembelian suku cadang. Masih besar peluang untuk berhemat di sektor pembelian spare-part itu.

Jangan dilupakan pula, pada 2011 ini akan ada tambahan listrik 5.000 MW. Ini sama saja dengan stimulus ekonomi senilai Rp 75 triliun. Tidak mungkin stimulus yang begitu besar tidak mampu menggerakkan ekonomi.

Ekonomi pada 2011, dengan demikian, akan lebih baik.  Setidaknya, tidak akan lebih buruk. Satu-satunya penghambat adalah kenaikan harga minyak mentah yang di luar kendali kita.  Apalagi target produksi minyak mentah kita, rasanya, tidak tercapai tahun ini. Padahal,  targetnya hanya 986.000 barel.  Kalau saja produksi minyak mentah kita sangat baik, tentu justru kita yang akan ikut menikmati lonjakan harga minyak mentah dunia itu.

Politik tidak akan lebih buruk tahun ini. Bahkan, bisa lebih baik. Kabar penyederhanaan partai lewat undang-undang yang kini sedang dibahas juga modal yang baik bagi kemajuan dan kematangan bangsa. Pada 2010,  energi kita habis untuk Bank Century. Pada 2011, tidak perlu ada heboh-heboh seperti itu.

Tahun 2011, tahun kelinci ini, akan membuat siapa pun yang lincah akan menguasai keadaan!  (*)

Dahlan Iskan : ’’Pembunuhan Berencana’’ Bernilai Triliunan Rupiah Setahun






’’Pembunuhan Berencana’’ Bernilai Triliunan Rupiah Setahun

oleh Dahlan Iskan
CEO PLN

Inilah ’’pembunuhan berencana’’ yang tidak melanggar pasal 340 KUHP (pasal tentang pembunuhan berencana, Red). Inilah ’’pembunuhan berencana’’ yang akan bisa menghemat minimal Rp 1 triliun setahun. Inilah ’’pembunuhan berencana’’ yang harus dilakukan karena kepepet: di satu pihak jengkel tidak mendapatkan gas, di pihak lain harus melakukan efisiensi secara besar-besaran.

Yang akan ’’dibunuh’’ adalah pembangkit listrik yang amat besar di berbagai lokasi. ’’Pembunuhan’’ pertama sedang dilakukan secara kecil-kecilan di Tanjung Perak, Surabaya. ’’Pembunuhan’’ kedua akan dilakukan secara besar-besaran di Tambak Lorok, Semarang, pertengahan tahun ini. Lokasi lain menyusul karena masih dikaji oleh teman-teman di PLN.

Semua orang tahu bahwa PLN selama ini memiliki banyak sekali pembangkit listrik yang ’’salah makan’’. Pembangkit-pembangkit itu seharusnya diberi ’’makan’’ gas. Namun, karena tak ada gas, pembangkit-pembangkit tersebut terpaksa diberi ’’makan’’ solar. Mahalnya minta ampun. Di sinilah pemborosan triliunan rupiah terjadi setiap tahun. Entah sudah berapa lama.
Di Semarang, misalnya. Pembangkit listrik sebesar hampir 1.000 MW (kalau dibangun sekarang, menelan dana sekitar Rp 15 triliun) mestinya bisa diberi ’’makan’’ gas.

Ada dua skenario untuk mendapatkan gas di situ. Pertama, dari proyek yang disebut pipa gas trans-Jawa. Inilah ’’jalan tol’’ gas yang melintang dari Jakarta ke Surabaya lewat Semarang. Pemegang izin proyek tersebut  sudah lama ada, tetapi kabar pembangunannya tidak pernah nyata. Di atas kertas, kalau pipa gas trans-Jawa itu dibangun, fleksibilitas distribusi gas menjadi luar biasa.
Skenario kedua bisa mendapatkan gas dari lepas pantai Semarang. Sumur gasnya ada. Milik Petronas, perusahaan (BUMN) minyak dan gas Malaysia. Petronas sudah setuju menjual gas kepada PLN. PLN juga sudah setuju untuk membeli. Harganya pun sudah disepakati.

Tetapi, transaksi itu tidak bisa terjadi. Gara-garanya sepele: menentukan siapa yang harus membangun pipanya. Untuk membangun pipa dari sumur gas ke Semarang, Petronas tidak diperbolehkan. PLN juga tidak. Begitulah peraturannya. Harus ditunjuk tersendiri siapa yang boleh membangun pipa tersebut. Kalaupun sampai sekarang pipa itu belum terbangun, bukan karena sulit. Justru karena proyek tersebut termasuk bisnis yang amat menggiurkan. Gula itu kian manis kian banyak semut yang mengincar. Padahal, antarsemut tidak dilarang untuk saling mendahului atau saling berebut.
Akibat perebutan antarsemut itu, PLN menjadi korban. Kesimpulannya: PLN tidak boleh terlalu berharap dari dua skenario tersebut. Harus dicari terobosan lain untuk melakukan efisiensi.
Memang, kalau saja Tambak Lorok bisa mendapatkan gas, akan bisa menghemat biaya separo. Kinerja pembangkit itu juga bisa meningkat 15 persen karena tidak lagi ’’salah makan’’.

Memang, sudah lama teman-teman di PLN jengkel dalam menghadapi kelangkaan gas seperti itu. Tetapi, jengkel saja tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan, bisa merugikan kejiwaan. Maka, saya meminta para ahli di PLN yang jumlahnya luar biasa banyak itu berpikir di luar kebiasaan. Energi jengkel dialihkan untuk menciptakan terobosan.

Maka, lahirlah ide besar ini: melakukan ’’pembunuhan berencana’’ secara besar-besaran. Yang harus ’’dibunuh’’ adalah pembangkit listrik di Semarang yang borosnya bukan main. Kalau sukses, ’’pembunuhan’’ itu akan bisa menghemat biaya sekurang-kurangnya Rp 1 triliun setiap tahun.
Ahli-ahli di PLN sudah menemukan caranya. Begini: Kebutuhan listrik di Semarang adalah 900 MW. Karena itu, di Semarang disediakan pembangkit listrik hampir 1.000 MW di Tambak Lorok. Alangkah besarnya. Hampir sama dengan listrik yang tersedia untuk seluruh Indonesia Timur. Untuk bisa mematikan pembangkit di Semarang itu harus bisa menemukan pasokan listrik dalam jumlah yang sama sebagai penggantinya.

Diskusi dilakukan berkali-kali. Ditemukanlah beberapa sumber listrik lain untuk Semarang. Pertama, dari GITET (gardu induk tegangan ekstratinggi) di Ungaran, selatan Semarang. Teman-teman PLN memutuskan untuk memasang trafo IBT (interbus transformer) tambahan di Ungaran. Tambahan IBT itu akan bisa mengalirkan listrik ke Semarang 400 MW. Sumber listriknya diambilkan dari sistem 500KV trans-Jawa.

Kekurangan 500 MW lagi akan diambilkan dari pembangkit baru di Rembang (2 x 300 MW) yang sudah hampir jadi. Dari Rembang, listrik akan dialirkan dengan sistem 150 KV ke Semarang. Di luar itu, masih akan ada back-up dari pembangkit baru Tanjung Jati yang juga segera selesai.
Maka, cukuplah listrik untuk Semarang tanpa harus menghidupkan pembangkit yang ’’salah makan’’ itu. Dari pemikiran tersebut, penghematan yang luar biasa besar bisa dilakukan segera. Tidak lagi menunggu gas yang entah kapan akan tiba di Semarang. Dengan demikian, fungsi pembangkit listrik di Tambak Lorok itu bakal berubah. Hanya akan disuruh jaga-jaga kalau-kalau ada kerusakan di sistem 500, di GITET Ungaran, atau di transmisi dari arah Rembang.

Sebagai ’’latihan” untuk ’’pembunuhan berencana’’ itu, teman-teman PLN kini sedang mencoba secara lebih kecil di Surabaya. Di Tanjung Perak, beroperasi pembangkit sebesar 100 MW (2 x 50 MW). Ini juga ’’salah makan’’. Satu pembangkit itu saja besarnya sudah sama dengan seluruh pembangkit PLN di Provinsi NTT, Maluku Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat jika dijadikan satu. Kalau saja pembangkit di Tanjung Perak tersebut berhasil dimatikan dan BBM-nya dialihkan untuk melistriki provinsi-provinsi itu, alangkah majunya Indonesia Timur.

Setelah pembangkit di Tanjung Perak dimatikan, dari mana mendapatkan ganti 100 MW? Teman-teman PLN sudah menemukan sumbernya: dari GITET Ngimbang (antara Babat-Jombang). Saya sudah berkunjung ke GITET itu dan pembangunannya memang sudah selesai. Satu sirkuit sudah berfungsi dan satu sirkuit lagi sedang diuji coba.

Apalagi, fungsi pembangkit di Tanjung Perak tersebut ternyata lebih banyak sebagai penghasil tegangan reaktif. Listrik untuk Surabaya sendiri cukup dari sistem 500 KV. Terlalu boros kalau, untuk keperluan daya reaktif, harus menghidupkan pembangkit begitu besar, yang cukup untuk melistriki lima provinsi di Indonesia Timur. Bagi Surabaya, yang rawan justru macetnya proyek GITET Surabaya Selatan sehingga bisa saja Surabaya terkena pemadaman berat kalau terjadi gangguan di sistem itu. Kini sedang diupayakan bagaimana proyek yang macet sejak 12 tahun lalu tersebut bisa bergerak lagi.

Kalau ’’pembunuhan berencana’’ di Tanjung Perak dan Semarang itu berhasil tahun ini, tidak tertutup kemungkinan cara yang sama akan dilakukan di beberapa lokasi lain di Jawa.
Entah berapa triliun rupiah lagi akan bisa dihemat!

Kepepet memang sering membuat orang lebih kreatif. Gara-gara kepepet tidak mendapat gas, ditemukanlah cara berhemat yang lain. Tetapi, bukan berarti tidak memberikan gas ke PLN bisa diterus-teruskan! (*)

Minggu, 02 Januari 2011

Demam Mengigil di Gayo ( Catatan Dahlan Iskan )

* Oleh Dahlan Iskan,  Dirut PLN

Setahun sudah saya menjabat CEO PLN, pekan lalu. Kurang dari setahun semua provinsi di Indonesia sudah saya kunjungi. Banyak yang sudah saya kisahkan dalam CEO Noted, tapi beberapa di antaranya belum. Misalnya, kunjungan ke Aceh, Kalteng, Kalsel, Kalbar, Bangka, dan Bengkulu. Saya juga belum menulis kunjungan ke Jambi, Wakatobi, Tanimbar, Kolaka, dan Kendari.

Daerah yang paling sering saya kunjungi ternyata Sumut. Mengalahkan pulang kampung saya ke Surabaya. Ini sudah cocok dengan prinsip "mementingkan yang penting dan jangan mementingkan yang kurang penting". Maklum, Medan adalah kota metropolitan yang krisis listriknya terparah. Saya harus mendorong teman-teman PLN Medan bekerja all-out. Dalam waktu enam bulan krisis listrik yang begitu hebat itu bisa teratasi.

Banyak juga daerah yang saya kunjungi sampai tiga kali. Termasuk Kendari. Kunjungan pertama saya ke Kendari tidak diketahui siapa pun. Kunjungan saya yang ketiga pun saya lakukan diam-diam meski akhirnya gagal: menjelang kembali ke bandara, keberadaan saya bocor ke PLN setempat. Hanya saat kunjungan kedua kami melakukannya beramai-ramai dengan hampir semua direksi. Yakni, dalam rangkaian rapat direksi di Wakatobi dan sekalian menjelajah dari Kolaka ke Kendari jalan darat.

Aceh saya kunjungi 1,5 kali. Saya sebut 1,5 karena pada kunjungan kedua pertengahan Desember lalu saya jatuh sakit. Yakni, ketika rombongan tiba di sebuah bukit yang amat tinggi di Takengon, Aceh Tengah. Begitu turun dari mobil, badan saya menggigil. Di Pegunungan Gayo itu, di tepi danau Laut Tawar itu, udara memang amat dingin dan angin berembus agak kencang. Tapi, bukan itu soalnya. Gejala demam memang sudah ada sejak berangkat dari Jakarta.

Apalagi, saat itu saya tidak berjaket (jaket yang saya beli di London saya hadiahkan kepada supervisor penyulang –jaringan listrik 20 KV– yang paling berprestasi di PLN Kota Bireuen tiga jam sebelumnya). Tapi, demam ini memang sudah waktunya tiba. Badan saya terasa meriang sejak tiga hari sebelumnya. Disertai batuk-batuk kecil yang tidak berhenti-berhenti. Radang tenggorokan sudah kelihatan gejalanya.

Memang ada yang tidak beres di tubuh saya. Tapi, demam itu saya tahan. Tujuan kunjungan ke Takengon harus tercapai dulu. Yakni, untuk melihat Danau Tawar yang akan menjadi sumber PLTA (pembangkit listrik tenaga air) Peusangan sebesar 80 MW. Hanya dari ketinggian gunung inilah danau Takengon bisa terlihat jelas berada di bawah sana. Terutama bagian di mana air dari danau itu mengalir ke sungai yang akan dijadikan proyek. Dari sini pula pemandangan terindah bisa dinikmati. Danau Laut Tawar itu terhampar damai di bawah sana, di pangkuan Pegunungan Gayo yang mistis. Dari ketinggian ini terlihat juga Kota Takengon yang terhampar di salah satu sisi danau itu.

Janji pergi ke Takengon memang tidak bisa saya abaikan. Sayalah yang mengundang pimpinan puncak Nippon Koei untuk datang ke Takengon saat saya menemuinya di Tokyo dua bulan lalu. Saya berjanji kalau bos besar Nippon Koei itu mau datang ke Takengon, saya sendiri yang akan mengantarkannya. Ini saya maksudkan agar proyek yang sudah tertunda 12 tahun lebih itu bisa segera dimulai kembali. Proyek ini penting agar Aceh segera mandiri di bidang energi listrik. Tidak lagi selalu bergantung kepada Sumut (karena Sumut sendiri juga memerlukan listrik lebih besar).

Sambil menahan gigil saya dengarkan paparan desain PLTA Peusangan di udara terbuka di ketinggian Pegunungan Gayo. Sesekali konsultan dari Nippon Koei (Koei dalam bahasa Jepang berarti engineering) menunjuk ke gambar proyek, sesekali pula menudingkan tangannya ke arah danau di bawah sana. Beberapa pertanyaan saya ajukan ke konsultan itu sambil gigi saya menahan gemeretak.
Nippon Koei setuju memulai kembali proyek ini. Dua bulan lagi (Februari 2011) PLTA Peusangan mulai dikerjakan. Rasanya proyek ini akan menjadi megaproyek pertama di Aceh sejak terjadinya perdamaian di sana. Seminggu kemudian, ketika saya bertemu Gubernur Aceh Irwandi Yusuf ketika sama-sama rapat dengan Wapres, saya laporkan soal ini. Gubernur bukan hanya gembira. Bahkan, dia sekalian minta PLN bangun saja semua listrik panas bumi di sana.

Ketika paparan selesai, saya minta langsung diantar ke hotel. Tidak ikut kunjungan lanjutan menelusuri Sungai Peusangan.

Tiba di hotel saya langsung menjatuhkan diri di tempat tidur. Menarik selimut tebal dan menggigilkan badan segigil-gigilnya. Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang melihat. Saya memang minta agar semua rombongan meneruskan agenda. Sedangkan beberapa teman Aceh yang mengantarkan saya, saya minta menunggu di luar kamar saja.

Suhu badan saya rasanya tinggi sekali. Panas. Sambil menggigil saya berpikir penyebab-penyebab yang mungkin melatarbelakangi demam itu. Yang paling saya waspadai tentu demam berdarah. Ini bisa mematikan. Terutama kalau telat menanganinya. Tapi, saya merasa bukan demam berdarah. Tidak ada gejala kembung di perut. Tenggorokan memang agak gatal, tapi untuk menelan ludah tidak sakit. Saya coba minum air sedikit juga tidak terasa sakit. Bahkan, selera makan saya tidak berubah. Saya paksakan makan kue yang saya bawa dari kantor PLN Bireuen juga terasa enak –kue yang disiapkan ibu-ibu persatuan istri PLN Bireuen ini memang enak. Ini berarti bukan demam berdarah. Maka, saya putuskan: cukup beristirahat total di tempat tidur. Juga tidak ikut makan malam dengan dua bupati setempat.

Selama dua kali ke Aceh saya mendapat kesan bahwa program-program PLN berjalan lancar di sana. Program mengatasi krisis listrik yang amat berat itu sudah lama selesai. Di Bireuen, Bener Meriah (ini nama kabupaten baru) sampai Takengon tidak banyak lagi listrik padam. Gangguan penyulang tinggal 2-3 sebulan. Memang masih ada loses (kebocoran listrik di perjalanan karena "menguap") yang tinggi, tapi sudah ketahuan penyebabnya: jaringan listrik 20 KV di sana terlewat panjang (140 km dari Bireuen ke Bener Meriah tanpa ada gardu induk di tengahnya). Program mengatasinya sudah siap dilaksanakan. Penyulang panjang itu akan dipotong. Listrik untuk Bener Meriah tidak akan dikirim lagi dari Bireuen, tapi diikutkan Takengon. Jaraknya hanya 40 km.

Pimpinan PLN Aceh, Pak Zulkifli, juga berhasil menggerakkan para manajer untuk memerangi tagihan macet. Aceh, sejak terjadi gejolak politik dan bencana alam, memang menderita "demam tagihan" yang akut: rakyat ogah membayar listrik. Satu per satu penyakit ini berhasil disembuhkan. Kini tinggal satu kampung yang masih sulit.

Dua hari setelah pulang dari Aceh saya ke Pangkalan Bun, Kalteng. Saya ingin bertemu teman-teman PLN Pangkalan Bun dan melihat PLTU skala kecil yang hampir selesai dibangun di sana. Di Pangkalan Bun juga terdapat penyulang yang terlewat panjang. Yakni, penyulang 240 km ke arah Sampit yang sering mengalami gangguan. Di seluruh Indonesia terlalu banyak jenis penyulang seperti ini.

Menurut teori, satu jaringan penyulang sebaiknya paling panjang hanya 30 km. Tapi, tak terhitung banyaknya penyulang yang panjangnya melebihi 100 km! Inilah salah satu penyebab seringnya mati listrik. Juga penyebab turun-naiknya tegangan yang sangat merugikan konsumen. Gerakan memerangi penyulang panjang, betapapun mahal dan sulitnya, sedang dilakukan di seluruh Indonesia.

Kegelisahan teman-teman PLN yang wilayahnya memiliki penyulang yang terlampau panjang kini sudah menjadi virus yang mendemamkan Indonesia. Kegelisahan itu, di Bengkulu bertambah-tambah. Kota sebesar Bengkulu ternyata hanya dilayani satu GI (gardu induk). Kalau ada masalah dengan GI ini, bisa dibayangkan akibatnya: seluruh ibu kota provinsi itu akan gelap-gulita. Maka, selama kunjungan saya ke Bengkulu masalah ini dibahas.

Tidak mungkin Bengkulu menunggu GI dengan cara normal. Harus ada langkah khusus secara cepat. Maka, saya tantang kepala PLN Bengkulu untuk membangun GI sendiri. Materialnya bisa didapat dari gudang-gudang proyek PLN dari seluruh Indonesia. Saya hubungi teman-teman di proyek untuk mengetahui apakah material untuk membangun sebuah GI cukup tersedia di gudang-gudang itu.
Begitu banyak proyek GI di Indonesia ini, tentu banyak barang tersisa. Ternyata benar. Banyak material GI yang bisa dihimpun dari berbagai gudang itu. Kalaupun harus membeli beberapa bagian, tidak akan banyak lagi. Apalagi, Gubernur Bengkulu Agusrin M. Najamuddin bersedia menyediakan tanahnya secara gratis. Sedangkan kepala PLN Bengkulu pernah menangani proyek GI. Maka, GI made in Bengkulu ini harus jadi dalam waktu singkat.

Gubernur Bengkulu juga ikut gelisah. Saat saya turun dari pesawat, saya sudah melihat sang gubernur ada di antara penjemput. Dia yang siang itu ikut bersepatu kets mendekat ke tangga pesawat. Dia siap mengantarkan saya ke mana saja, termasuk meninjau PLTA Musi, kira-kira 2 jam perjalanan dengan mobil dinasnya.

Mula-mula saya menawarkan diri untuk menjadi sopirnya. Tapi, sang gubernur justru mengambil alih kendali. Maka, kami berangkat dengan gubernur sebagai sopir. Baliknya, apa boleh buat, saya yang mengemudi.

Jalan menuju PLTA ini sangat istimewa. Menanjak, berbelok dan menukik. Sungguh baru dalam perjalanan ini saya tahu asal-usul istilah "mabuk kepahyang". Kepahyang ternyata nama daerah/kampung yang kami lewati. Di kawasan Kepahyang inilah jalannya begitu unik: tukikannya, kelokannya, dan tanjakannya serbaekstrem. Di masa lalu tidak ada orang yang lewat kawasan ini yang tidak mabuk. Bahkan, mabuknya bisa gila-gilaan. Istilah "mabuk kepahyang" ternyata bermula dari sini.

Tentu saya tidak mabuk. Jalan di Kepahyang sekarang sudah lebih lebar.
Sewaktu ke Jambi, sebenarnya saya juga dijemput sendiri oleh Gubernur Jambi Hasan Basri Agus. Hanya, sempat agak salah paham. Ketika gubernur mendekat ke tangga pesawat, saya menyelinap ke sela-sela penumpang untuk menjauhi kerumunan penjemput itu. Saya pikir sang gubernur pasti menjemput orang penting yang satu pesawat dengan saya. Karena itu, lebih baik saya menyelinap dan menjauh. Ternyata, sang gubernur mengejar saya karena memang tujuannya ke bandara untuk menjemput saya.

Ketika saya beri tahu bahwa Jambi sudah bebas krisis listrik, sang gubernur yang baru dua bulan dilantik senang sekali. ”Berarti janji saya dalam kampanye sudah terpenuhi hanya dalam waktu dua bulan,” katanya. (*)