Selasa, 01 Februari 2011

Handry Satriago, Memimpin Perusahaan Kelas Dunia dari Kursi Roda



Bos Termuda yang Suka Mengaku Tak Pernah Sakit

Menggantungkan aktivitas pada kursi roda tak menghentikan langkah Handry Satriago mengukir karir hingga ke puncak. Dalam keterbatasan, dia kini menjadi pemimpin utama perusahaan multinasional kelas dunia. 

IGNA ARDIANI, Jakarta

Sejak September 2010, jabatan presiden General Electric (GE) Indonesia berpindah tangan. Dari David Utama, tampuk pimpinan itu kini berada dalam genggaman Handry Satriago. Pria kelahiran Pekanbaru itu bukan orang baru di lingkup perusahaan multinasional kelas dunia tersebut.
Sebelumnya, Handry menangani Divisi GE Lighting. Terakhir, sebelum jabatan presiden diembannya, Handry merupakan direktur Power Generation GE Energy untuk kawasan Indonesia, Vietnam, Filipina, dan Kamboja.  

Bergabung dengan GE Indonesia sejak 1997, karier pria 41 tahun itu boleh dibilang melesat. Hanya dalam tempo 13 tahun dia sudah menempati kantor presiden GE Indonesia. Handry tidak hanya menjadi pemimpin GE Indonesia termuda yang berasal dari dalam negeri, tetapi juga pimpinan pertama yang menggunakan kursi roda.

Sudah 18 tahun mobilitas Handry dibantu kursi roda. Jika ditanya penyebabnya, panjang cerita. Banyak orang yang mengidentikkan itu dengan penyakit. Tetapi, Handry bilang tidak. Dia sehat, hanya tidak bisa berjalan. Karena itu, sebenarnya dia cukup sebal jika harus bepergian dan ditanya-tanya.

’’Misalnya, saat di airport, saya ditanya oleh petugas, Bapak sakit apa? Saya bilang nggak sakit. Kok di kursi roda? Ya saya jawab karena nggak bisa jalan. Tapi, karena tetap harus menuliskan sakit, akhirnya saya bilang saja saya sakit saraf,’’ ujar Handry, kemudian tertawa.

Sebenarnya Handry menggunakan kursi roda bukan karena kakinya sudah tak mampu lagi berdiri maupun berjalan. Pria keturunan perantau Minang itu masih bisa melakukan keduanya. Hanya memang kualitas kakinya menurun sehingga dia hanya mampu berjalan pelan.

’’Saat kuliah dulu, empat tahun saya pakai kruk,’’ katanya. Persolannya, dia bukan tipikal orang yang senang berjalan santai. ’’Saya benci pelan. Nggak efektif saja hari-hari saya. Mending pakai kursi roda, cepat,’’ tegasnya.

Ihwal berkurangnya kemampuan kaki, kata Handry, itu terjadi karena kanker getah bening yang menyerang dirinya saat bangku kelas 2 (XI) SMA. Semula dia merasakan nyeri di sekitar tulang punggung. Rasa sakit yang menyiksa itu kemudian diikuti dengan penurunan kekuatan kaki yang makin lama terasa lemas.

Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan, terdapat kista di sumsum tulang belakang. Boleh jadi karena pada 1987 teknologi kedokteran belum semaju sekarang, pemeriksaan patologi anatomi tidak dilakukan dengan benar. Begitu kista diangkat, dia langsung dinyatakan sehat. Nyatanya, tiga bulan sesudah pengangkatan kista itu rasa nyeri muncul lagi, di lokasi yang sama.

Setelah dicek kembali, dokter mengatakan tak ada yang aneh. Mungkin rasa nyeri itu terjadi karena rematik. Namun, jika rematik, rasa sakit yang dia rasakan terlalu awet, tak mau hilang. ’’Tidur jadi susah. Telentang nggak enak, miring nggak enak. Akhirnya saya tidur dengan posisi duduk,’’ ujar suami Dinar Putri Sriardani Sambodja tersebut.  

Handry frustrasi, enggan ke dokter karena, menurut dia, tak membawa hasil. Dia lantas mulai mencoba macam-macam pengobatan alternatif. ’’You name it, mulai yang masuk akal hingga yang tidak masuk akal pernah saya coba,’’ kenangnya. Salah satu yang diingatnya, dia diminta telungkup, sementara punggung ditaburi beras, lantas ayam dilepas untuk mematuki beras itu.
Setelah itu, ayam disembelih, kemudian diperlihatkan bagian punggung si ayam yang menghitam. ’’Katanya, penyakit saya sudah ditransfer ke ayam,’’ katanya, lantas tertawa lebar. Lantaran tak mendapatkan pengobatan yang benar, kondisi kakinya kian lemah. Handry pun kembali ke rumah sakit.

Hingga akhirnya, dia bertemu dengan seorang ahli onkologi dan hematologi yang menyarankan untuk menjajal teknologi CT scan. ’’Saya termasuk pengguna mesin CT scan pertama waktu itu,’’ ujar alumnus Institut Pertanian Bogor tersebut.

Dari hasil pemindaian diketahui adanya kanker di tulang belakang. Kanker itu menekan sumsum tulang belakang dan telah mengenai saraf. Melalui operasi, kanker itu dibuang. Tetapi, karena telanjur merusak saraf, kemampuan kakinya tidak bisa kembali seperti semula.

Dokter memang tidak mengatakan stadium kanker yang diidap Handry. Yang jelas, kanker itu tergolong kanker getah bening yang sangat ganas dan juga amat mungkin kambuh kembali. Itu memang terjadi. Pada 1994, di bawah lapisan perut kiri Handry tumbuh benjolan besar.

’’Saya sedang skripsi waktu itu. Dokter menyarankan saya untuk menuntaskan skripsi sebelum operasi. Sebab, setelah operasi, saya harus menjalani kemoterapi,’’ ujar mahasiswa teladan nasional 1993 itu. Setelah 8 bulan kemoterapi, hingga sekarang kanker tak mengunjungi dia lagi.

Sebenarnya Handry tidak terlalu suka diulik-ulik soal penyakitnya. Namun, begitu menuntaskan promosi doktor dalam bidang ilmu manajemen stratejik di Universitas Indonesia dan waktu bersamaan naik jabatan menjadi presiden GE Indonesia, mau tidak mau, dia harus siap diekspos media. Pertanyaan seputar kursi roda pasti akan muncul juga.

Jauh dari perkiraannya, kisah hidupnya itu banyak mendapat feedback positif. Tak sedikit pembaca yang mengaku terinspirasi. Pemikirannya mulai berubah. ’’Mungkin ini adalah bagian dari usaha yang harus saya lakukan agar menjadi berguna,’’ ungkap putra tunggal pasangan Djahar Indra danYumalis Indra itu.

Dulu Handry berkeyakinan kuat kemampuan kakinya akan kembali lagi. Dia pun rajin menjalani sesi fisioterapi. Kenyataannya, kemampuan kakinya sudah maksimal, hanya mampu berjalan pelan. Lama-lama dia pasrah. Penyandang dua cum laude itu tak merasa menyesal.
Sebab, cobaan tersebut dirasa sudah memberikan lebih banyak daripada yang diambil darinya. ’’Saya bisa lebih termotivasi, bisa bertemu dengan banyak orang. Jika saya normal, mungkin saja sekarang saya tinggal di hutan,’’ ungkap Handry, lantas tertawa.

Meski dalam keterbatasan, penghobi baca itu cukup mandiri. Handry tak menyewa asisten khusus untuk membantu mobilitasnya. Dia lebih suka melakukan sendiri. Dia percaya bahwa pada dasarnya semua orang baik dan pasti mau membantu. ’’Jika ada yang perlu dibantu, ya dibantu. Jika tidak, ya saya melakukan sendiri,’’ katanya.   

Berbicara mengenai jabatan barunya sebagai pimpinan tertinggi di GE Indonesia, Handry tak menganggap itu sebagai puncak karir. Masih ada banyak hal yang ingin dilakukan.’’Saya ingin menjadi guru,’’ katanya. Karena alasan itu juga, Handry kembali ke bangku kuliah dan menempuh pendidikan doktor. ’’I feel alive ketika saya berada di kelas,’’ tegasnya. 

Harapannya, setelah menuntaskan tugasnya di GE, Handry bertekad akan memenuhi panggilan hatinya. ’’Sebenarnya semakin bisa ngajarin yang lebih basic semakin senang. Cuma, saya belum mempunyai  kesempatan untuk mengajar di SD, SMP, atau SMA,’’ ujar Handry. (*/c4/iro)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar