Minggu, 05 Desember 2010

Ayatullah Khomeini . . . .

... MENGENANG AYATULLAH KHOMEINI ....
Sebuah kisah keteladanan...


Ayatullah Khomeini, terlahir pada 24 September 1902.
Orang mengenangnya sebagai pemimpin sebuah revolusi di Iran paling
spektakuler di abad 20 ini,
yang hidup sehagai 'zahid' sejati.
Orang-orang dekatnya mengenal sang Ayatullah sebagai seseorang yang hidup
amat sederhana.

Bahkan di akhir hidupnya, tercatat bahwa harta peninggalan almarhum
hanyalah berupa
buku-buku, dan tak punya pemilikan pribadi. Uang kas jumlahnya nol.
Beberapa alat kecil untuk keperluan hidup sehari-hari yang ada di rumahnya
adalah milik istrinya.

Dua karpet bekas yang ada bukanlah milik pribadinya dan harus disedekahkan
kepada
orang miskin sepeninggalnya. Maka jadilah harta-benda yang tersisa ---
dari seseorang yang meninggal dalam usia 90 tahun sebagai pemimpin
tertinggi suatu negara
kaya minyak --- hanya terdiri dari kacamata, alat pemotong kuku, tasbih,
mushaf Al Quran,
sajadah, surban, jubah ulama dan beberapa buku.

Mungkin tak ada salahnya, kita menengok kehidupan Ayatullah Khomeini
berdasarkan
kesan-kesan orang terdekatnya....
lalu menjadikannya sebagai bahan perenungan bagi diri kita sendiri!

1. Kunjungan ke Rumah Ayatullah Khomeini

Ketika Iran menjadi tuan rumah konferensi tentang "Perempuan dan Revolusi
Islam",
para peserta diberi kesempatan untuk mengunjungi rumah Ayatullah Khomeini.
Dibawah ini adalah kesan-kesan dan reportase Khadijah, salah seorang
peserta kunjungan ini.
Inilah mimpi yang menjadi kenyataan.
Suatu keistimewaan yang langka untuk bisa berada di kediaman Imam.
Setelah lewat permohonan berkali-kali, akhirnya suatu malam kami diberitahu
bahwa besok pagi kunjungan ke rumah Imam telah diatur.
Karena perasaan penuh harap, tampaknya tak ada yang bisa tidur malam itu.

Esok paginya, salju turun. Di depan rumah Imam, sudah menunggu dalam dingin
yang menusuk,
kerumunan besar orang yang juga ingin menemui pemimpin mereka.
Ada juga para wartawan asing dan dalam negri di sana.
Penglihatan mereka terpaku pada pintu gedung pertemuan Jamaran,
yang disebelahnya terletak rumah kecil Imam,
yang darinya Imam akan keluar.

Tiba-tiba, dan benar, Imam muncul disitu! Orang-orang pun menjerit dalam
tangisan,
sambil melaungkan "Allahu Akbar" berkali-kali. Maka Imam pun duduk diam.
Disebelahnya duduk juga Ahmad, putranya.
Saya dan Imam hanya dipisahkan oleh jarak kira-kira 1 meter saja
sehingga saya bisa menatapya dengan jelas.
Seluruh raut wajahnya menunjukkan ketenangan dan kedamaian batin yang
sempurna.
Melihat air mukanya yang bening, saya merasa seperti berada di dunia lain.
Hanya matanya mengungkapkan kenyataan bahwa dia benar- benar hadir di
tengah kami.

Memasuki rumah Imam adalah kejutan yang lain buat kami. Pintu depannya
adalah pintu besi sederhana.
Di dalamnya terhampar halaman kira-kira sepanjang 6 meter.
Rumah itu memiliki 3 ruangan. Didalamnya ada kasur dan sandaran duduk,
serta sofa sederhana tempat Imam duduk dan tidur.
Dapurnya memanfaatkan ruangan dibawah tangga.

Para wartawan asing yang ada disana tampak tak dapat menyembunyikan
ketercengangan
mereka melihat kesederhanaan rumah Imam.
Lebih tercengang lagi mereka ketika melihat makanan sang Imam hanya terdiri
dari
kentang rebus, sebutir jeruk, dan sekerat roti.
Mereka bertanya kepada Istri Imam," Dimana kalian tidur?"
Istri Imam menjawab polos, "Persis di tempat kami duduk."

Kemudian istri Imam mengisahkan kehidupan sehari-hari suaminya,
" Sejak awal pernikahan kami, dia tak pernah menyuruhku mengambilkan sesuatu.
Jika dia membutuhkan sesuatu, dia menyampaikannya secara tidak langsung.
Misalnya, jika dia membutuhkan gamis, dia akan bilang 'Adakah gamis di
rumah ini?'.
Dengan begitu aku paham bahwa dia butuh gamis, dan aku pun mengambilkannya
untuknya.
Dia 'memaksa' untuk mempersiapkan sendiri segala sesuatu yang dibutuhkannya:
mempersiapkan makanannya, minumannya, dan mencuci sendiri gelas-gelas
dan mengembalikan ke tempatnya.
Jika ada sesuatu yang tidak beres, dia membetulkannya sendiri."

Sang istri pun tak ingat bahwa suaminya pernah memarahinya. Sebaliknya, dia
selalu lemah lembut,
sejak malam pengantin hingga wafatnya.
"Suatu kali dia berada dalam suatu pertemuan dengan para pejabat negara.
Tiba-tiba dia menyadari bahwa lampu di ruangan sebelah masih menyala.
Dia pun bangkit menuju ruangan itu, mematikan lampu, dan kembali ke tempat
pertemuan.
Orang-orang tercengang dengan perbuatan Imam.
Di kali lain orang melihat dia berupaya memisahkan selembar tissue yang
terdiri dari 2 lapisan.
Ketika salah seorang yang hadir memintanya untuk menggunakan kedua- duanya
dia menjawab,
'Saya hanya butuh selapis'."

"Dia menyukai makanan yang paling sederhana, dan tak makan dari beberapa
makanan sekaligus.
Dia makan hanya untuk bertahan hidup. Amat teratur hidupnya. Imam amat
menghargai perempuan.
Contohnya, ketika para cucunya mengunjunginya, dia tak lupa untuk menyuruh
mereka
pertama kali menemui neneknya dan mencium tangannya."

"Tak ada pembantu rumah tangga di rumah Imam. Para tamu biasanya dilayani
oleh keluarga Imam,
biasanya kedua anak perempuannya, yang tak mengizinkan ibunya untuk
melakukan apa-apa,
hanya demi ingin membuat hidup si ibu senyaman mungkin."

Khadijah melanjutkan kesannya tentang keluarga Ayatullah Khomeini ,
"Di rumah Imam, kami benar-benar merasa seperti di rumah sendiri,
seolah-olah kami
berada di tengah keluarga sendiri.
Kami merasa aman dan tenteram. Maka kami pun merasa amat sedih ketika
harus meninggalkan Imam dan keluarganya.
Keluarga ini telah membuat kami merasa bahwa mereka adalah
cerminan hidup ajaran-ajaran Al Quran."

2. Kenangan Zahra, putri Ayatullah Khomeini;

Imam adalah seorang ayah yang baik hati. Tidak hanya untuk bangsanya,
tetapi juga untuk putra-putrinya. Setelah selesai mengajar,
atau setelah menyelesaikan berbagai urusan kenegaraan, dia selalu
menyempatkan bermain- main
dengan putra-putrinya. Dia biasa bercengkrama bersama mereka dengan
berbagai permainan.

Zahra Musthawafi, putrinya, pernah berkisah:

"Meskipun terdapat perbedaan usia sebesar 40 tahun antara usia ayah dan
usia kami,
kebaikan hatinya membuat kami seolah tak merasakan perbedaan itu.
Seolah-olah dia tampak sebaya dengan kami saja. Dia biasa mengatur waktunya
sedemikian
sehingga selalu bisa membagi waktunya untuk bermain-main dengan kami.
Contohnya, sebagian kelas yang diajarinya diselenggarakan di rumah kami.
Biasanya kelas- kelas itu berakhir pada pukul 11.
Setelah itu, dia biasa bermain dengan kita hingga sebelum shalat dhuhur.
Kadang-kadang dia bermain petak umpet dengan kami semua."
"Begitulah kira-kira acara kami sehari-hari. Kami sungguh amat
menikmatinya..."
Zahra pun menambahkan, "Saya terus ingat kenangan- kenangan manis itu demi
menawarkan kepedihan yang kami rasakan sepeninggalnya."

Imam percaya bahwa anak-anak harus bebas bermain, bahkan pun untuk bersikap
nakal.
Kalau seorang anak tidak begitu, mungkin ia malah sedang sakit.
Menurut Imam, jika seorang anak memecahkan sesuatu dan melukai dirinya
sendiri,
orangtuanya perlu dihukum. Karena seharusnya mereka bertanggungjawab untuk
menyisihkan
bahaya dari anak-anaknya.

Anak-anak Imam mengenang ayahnya sebagai orangtua yang baik hati, tetapi
tak pernah
mengabaikan pendidikan dan latihan bagi anak-anaknya.
Dia selalu adil dalam mendidik mereka. Pernah terjadi, dia melarang anak-
anaknya
untuk bermain-main (terlalu banyak) di rumah tetangganya.
Suatu kali, 3 anak perempuannya melanggar perintahnya itu. Untuk menghukum
mereka,
sang ayah mengambil sepotong rotan dan, untuk menakut-nakuti mereka,
memukul-mukulkan
rotan itu ke tembok sambil berkata,
"Ayah kan sudah bilang, jangan main ke rumah tetangga.....".

Tanpa diduga, setelah memukul-mukulkan ke tembok 2-3 kali, rotan itu patah
dan tak sengaja
melukai kaki salah seorang putrinya.
Mengenang hal ini, Zahra mengatakan,"Kaki perempuan tertua saya, yang
berusia 11 tahun
pada waktu itu, luka tergores dan saya yang berumur 7 tahun, serta kakak
saya satunya lagi
yang berusia 9 tahun tidak terluka sama sekali. Ayah amat menyesal waktu itu.
Setelah memeriksa dan mengobati kaki kakak saya, dia pun segera mempersiapkan
pembayaran diyat (denda keagamaan) yang sebanding dengan luka kaki kakak
saya itu dan
memberikannya kepada kakak saya itu --- betapa pun sebenarnya semuanya itu
terjadi tanpa sengaja.
Pada waktu itu saya berharap bahwa yang luka tergores itu kaki saya."

3. Kenangan Putri Termuda Ayatullah Khomeini terhadap ayahnya

Suatu kali putri termuda Imam hamil ketika ia berumur 18 tahun.
Ketika kehamilannya mencapai usia 7 bulan, suatu kelainan menimpa
kandungannya sehingga ---
menurut para dokter ahli --- hidup putri Imam dan anak yang dikandungnya
itu terancam.
Suatu tindakan perlu segera dilakukan untuk menyelamatkan salah seorang
dari keduanya.
Menantu Imam dan para dokter berpikir untuk menyelamatkan sang ibu.
Untuk keperluan ini, mereka minta izin Imam.
Dengan menangis sesenggukan, menantu Imam itu memohon persetujuan mertuanya
agar membiarkan dokter mengoperasi si ibu --- dengan akibat terkorbankannya
anak yang dalam kandungan itu.
Imam, dengan keyakinan kuat seorang ayah mengatakan,
"Saya tak bisa menyetujui agar nyawa seorang anak dikorbankan demi nyawa
ibunya.
Keduanya adalah makhluk hidup."

Bayangkan, ketika berkata begini, Imam tentu sadar betul bahwa dia beresiko
untuk
kehilangan putri kesayangannya.
Dia pun melanjutkan, "Saya tak dapat mengizinkan pembunuhan makhluk hidup
karena
kecintaanku kepada putriku. Saya tak bisa memberikan izin itu."

Para dokter ahli itu pun berupaya sebisanya untuk meyakinkan Imam bahwa ---
kalau dibiarkan ---
toh (sedikitnya) salah satu harus meninggal juga....
Menyadari itu semua, Imam pun segera minta ditinggalkan sendirian untuk shalat,
memohon pertolongan Allah Swt. Para dokter ahli itu pun melanjutkan upaya
mereka, sebisanya.
Beberapa menit kemudian, Imam diberi tahu bahwa sang bayi dan ibunya sudah
bisa
diselamatkan dari bahaya yang tadinya mengancam mereka berdua.
Sang Imam, dalam keadaan bahagia dan plong, melakukan shalat lagi.
Kali ini untuk bersyukur kepada Allah.

4. Kenangan Sayyid Ahmad atas ayahandanya

Suatu hari, salah seorang putri Imam dan Sayyid Ahmad berada di kamar ayahnya.
Imam, dengan kelembutan seorang ayah, meminta putranya agar mengambilkan
kopi buku Kasyf Al-Asrar, karangannya, dari perpustakaan.
Perpustakaan itu adalah milik Biro Imam.
Putra Imam itu pun menjawab, "Menurut peraturan perpustakaan, siapa pun
yang ingin
membaca buku yang ada disana harus datang sendiri.
Akan tetapi, kali ini saya akan meminta seseorang mengambilkannya untuk Ayah
jika Ayah menginginkannya...."
Segera Imam menjawab, "Jangan. Saya tak mau bertindak melawan aturan
perpustakaan."
Setelah itu, Imam meminta putrinya untuk mencari kopi yang lain dari buku
itu ---
yang mereka miliki sendiri --- dan membawanya kepadanya.

Imam adalah seseorang yang selalu taat pada peraturan.
Dia tak ingin dirinya dibeda-bedakan dari yang lain.
Padahal, sebenarnya, untuk seseorang yang berada pada kedudukan seperti itu
--- bukan hal
yang luar biasa jika memperoleh sekedar keringanan peraturan.
Apalagi, perpustakaan itu sesungguhnya miliknya sendiri --- yang aksesnya
dibuka untuk umum.
Menurut orang-orang yang mengenalnya, sifat seperti ini selalu mewarnai
kehidupan Ayatullah Khomeini.
Dia selalu menghormati hak-hak orang lain. Dia merasa wajib mengikuti aturan,
termasuk aturan-aturan di dalam rumahnya sendiri.

Demikianlah sekilas kenangan terhadap Ayatullah Khomeini.
Ketegasan yang dikombinasikan dengan kelemah lembutan memang selalu
merupakan kesan
yang ditangkap oleh siapa saja yang pernah bertemu dengan tokoh ini.

***

Apakah definisi orang 'besar'?
Orang 'besar' adalah orang yang mampu mengatasi ruangan jiwanya sendiri
yang hendak dihimpit benda-benda,
karena ia menghendaki suatu kebebasan yang lebih punya arti.

Orang 'besar' adalah orang yang bekerja untuk akhirat seperti ia akan mati
besok;
dan bekerja untuk dunia seperti ia akan hidup selama-lamanya ---
tetapi bukan dengan keserakahan untuk dirinya sendiri.
Manusia biasa, yang tidak berukuran 'besar', tak mampu untuk puasa panjang
sekeras itu.
Mereka tak mampu menanggung beban derita sebuah ide. Mereka mungkin ingin
mengubah dunia,
tapi sejauh mana dan sepanjang kapan?
Bagi manusia biasa, ikhtiar perubahan dunia pada suatu saat perlu jeda.
Bagi orang 'besar' seperti Khomeini, ikhtiar merubah dunia itu adalah usaha
yang tak pernah selesai.....

(Goenawan Mohammad)

***
16 Nasihat Ayatullah Khomeini untuk Pembinaan Pribadi Muslim:

1. Sedapat-dapatnya berpuasalah setiap hari Senin dan Kamis
2. Shalatlah 5 waktu tepat pada waktunya dan berusahalah shalat tahajud
3. Kurangilah waktu tidur dan perbanyaklah membaca Al Quran
4. Perhatikanlah dan tepatilah sungguh-sungguh janjimu.
5. Berinfaklah kepada fakir miskin.
6. Hindarilah tempat-tempat maksiat
7. Hindarilah tempat-tempat pesta pora dan janganlah mengadakannya
8. Janganlah banyak bicara dan seringlah berdoa
9. Berpakaianlah secara sederhana
10. Berolahragalah.
11. Banyak-banyaklah menelaah berbagai buku (agama, sosial, politik, sains,
filsafat, sejarah, sastra dll)
12. Pelajarilah ilmu-ilmu teknik yang dibutuhkan negara Islam.
13. Pelajarilah ilmu tajwid dan bahasa Arab, serta perdalamlah
14. Lupakanlah pekerjaan-pekerjaan baikmu dan ingatlah dosa-dosamu yang lalu.
15. Pandanglah fakir miskin dari segi material, dan ulama dari segi spiritual.
16. Ikuti perkembangan umat Islam.

disarikan dari buku "Wasiat Sufi Ayatullah Khomeini"
oleh Yamani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar