Selasa, 21 Desember 2010

Hari Ibu . . . . . . . ( 1 )

Andi Asni Patoppoi, Ibunda Trio Mallarangeng
(DR Andi Mallarangeng,  DR Rizal Mallarangeng , DR Choel Mallarangeng, dr Nina Mallarangeng )

Pingsan karena Gagal Jodohkan Andi

Membesarkan lima anak pada usia yang tergolong muda bisa jadi merupakan pekerjaan sulit. Namun, Andi Asni Patoppoi mampu membesarkan lima bersaudara Mallarangeng hingga dewasa dan sukses. Spirit sang ibu agar anak-anaknya menggapai bintang di langit menjadi salah satu motivasi bagi lima bersaudara Mallarangeng untuk terus berkembang.

’’Boleh dibilang, saya sebenarnya juga beruntung karena tidak ada anak-anak yang kepeleset (berbuat hal negatif, Red),’’ ujar Asni saat ditemui Jawa Pos di kediamannya di kawasan Jakarta Timur dua pekan lalu.

Lima anak Asni adalah Andi, Rizal, Choel, Nina, dan Zulfikar Mallarangeng. Kini, Andi Mallarangeng menjadi menteri pemuda dan olahraga (Menpora) Kabinet Indonesia Bersatu II. Sebelumnya, Andi merupakan juru bicara Presiden SBY.

Sementara itu, Rizal Mallarangeng saat ini aktif sebagai salah seorang ketua DPP Partai Golkar dan pendiri Reform Institute. Choel Mallarangeng tercatat sebagai pendiri dan CEO Fox Indonesia, lembaga konsultan politik dan strategi yang menjadi tim sukses pencalonan pemilu maupun pilkada.
Nina Mallarangeng berprofesi sebagai dokter. Dia menekuni profesinya tersebut bersama sang suami di Pekanbaru. Sementara itu, nasib Zulfikar berbeda dari empat kakaknya. Saat duduk di bangku SMA di Semarang, Jawa Tengah, dia dipanggil Sangkuasa karena penyakit leukemia yang diderita.
Dalam usianya kini yang memasuki 74 tahun, Asni masih tampak sehat. Gaya bicaranya masih lancar dan tegas. Asni menyatakan belum lama ini keluar dari rumah sakit. Itu terjadi setelah dirinya shock mengetahui kabar bahwa anak sulungnya, Andi, cedera lengan kanan. ’’Saya sangat kepikiran waktu itu sampai ikut-ikutan sakit,’’ tuturnya.

Sejak berumur 34 tahun, Asni membesarkan lima anaknya sebagai orang tua tunggal (single parent). Sang suami, Andi Mallarangeng (namanya sama dengan si anak sulung, Red), meninggal saat menjabat wali kota Parepare pada usia 36 tahun. ’’Suami saat itu terkena serangan jantung,’’ cerita Asni.

Sebagai ibu muda, Asni mengaku sempat merasa galau. Kepergian suami dirasakannya begitu cepat. Itulah yang membuat dirinya sangat khawatir terhadap masa depan lima anaknya. Saat itu, Anto, sapaan akrab Andi Mallarangeng, sebagai anak tertua, baru berusia sembilan tahun dan si bungsu Zulfikar baru berumur tiga bulan. ’’Dunia gelap sekali rasanya waktu itu,’’ kenang Asni.

Dengan statusnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) saat itu, dia merasa tanggung jawab untuk membesarkan dan membahagiakan lima anaknya begitu berat. Namun, Asni tetap sabar menjalani.
Ayahnya, Andi Patoppoi, kemudian menawari Asni memboyong lima anaknya tersebut ke Ujungpandang (Makassar, Red). Sang ayah bersedia membantu mengasuh cucu-cucunya. ’’Saya tunggu Andi sampai naik kelas dulu, baru kemudian kami semua pindah,’’ ujarnya.

Ketika itu, Andi Patoppoi adalah orang terpandang di Ujungpandang. Dia menjadi bupati Grobogan, Jawa Tengah, pada era Presiden Soekarno. Andi juga pernah menjabat anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Selanjutnya, lima bersaudara Mallarangeng mendapat perhatian penuh dari kakeknya. Andi yang memiliki latar belakang pendidikan di Belanda itu menanamkan sikap disiplin kepada mereka. Setiap waktu harus dimanfaatkan. ’’Kalau waktunya belajar, ya harus belajar. Sebaliknya, jika waktunya bermain, ya harus bermain,’’ tutur Asni soal disiplin yang diterapkan ayahnya.
Kedisiplinan dan pendidikan yang diajarkan sang kakek itulah yang membentuk lima bersaudara Mallarangeng menjadi anak-anak mandiri. Menurut Asni, Andi dan Celi –sapaan akrab Rizal– sudah menunjukkan minatnya di bidang yang ditekuni saat itu. Di ruang belajar hingga tempat bermain, mereka selalu memperdebatkan setiap masalah yang ada. ’’Kalau tidak dilerai, mereka bisa tidak tidur,’’ ujarnya bangga.

Sebagai kakak tertua, kata Asni, Andi memang bisa menjadi contoh bagi empat adiknya. Namun, untuk urusan berkelahi, Celi-lah yang paling jagoan. Asni menceritakan, Andi acapkali diganggu teman-temannya di sekolah atau di lingkungan bermain. ’’Kalau sudah seperti itu, Celi yang maju. Badannya sejak kecil paling besar,’’ ungkapnya lantas tertawa.

Selain menanamkan disiplin, Asni menumbuhkan sikap jujur pada lima anaknya melalui olahraga. Hobi olahraga tenis yang dijalani Asni ditularkan kepada anak-anaknya. Andi, Rizal, maupun Choel ternyata tertarik menggeluti hobi sang ibu. ’’Pertama, saya ajak mereka jadi pengambil bola dulu. Lama-kelamaan, mereka senang main tenis sendiri,’’ ujarnya.

Mengapa menanamkan sikap jujur lewat olahraga? Asni menilai, olahraga memotivasi orang untuk selalu jujur. Jika bola masuk, tentu mendapat poin. Sebaliknya, jika bola keluar, setiap orang harus menerima bahwa mereka gagal mendapat poin. ’’Di olahraga, orang itu kan harus to the point. Fighting (terus berjuang, Red) supaya menang. Itu penting agar belajar jujur dalam kehidupan,’’ tegasnya.
Hobi olahraga tenis itu ternyata ditekuni serius oleh Celi. Setelah lulus SD, dia kemudian direkrut SMP Ragunan, Jakarta, untuk mendalami tenis sambil belajar di sana. Sementara itu, setelah lulus SMP, Andi minta disekolahkan di SMA Jogja. ’’Anto waktu itu ingin mengikuti jejak ayahnya di UGM (Universitas Gadjah Mada),’’ jelas Asni.

Setelah lulus dari Ragunan, Celi aktif di berbagai turnamen tenis. Menurut Asni, Celi ikut turnamen beberapa kali dan menjadi juara. Namun, lama-kelamaan motivasi Celi untuk belajar menurun. Dia tak kunjung melanjutkan kuliah setelah lulus SMA. ’’Waktu itu si Anto yang protes. Ya, sudah. Saya lalu ke Jakarta nyusul Celi,’’ ceritanya. Celi kemudian menuruti ibunya untuk ikut melanjutkan kuliah ke UGM.

Selama masa remaja, lanjut Asni, anak-anaknya tidak pernah bercerita soal pacar mereka. Itulah yang memunculkan cerita saat Andi sudah menginjak dewasa. Setelah Andi lulus dari UGM, Asni berniat menjodohkannya dengan perempuan yang notabene masih kerabat. ’’Anto, waktu saya telepon, mau-mau saja. Ya sudah, kami jodohkan saja,’’ kata Asni.

Ternyata, Andi sebetulnya sudah memiliki pacar. Begitu tiba di Makassar, Andi justru mengungkapkan bahwa sebenarnya dirinya ingin menikah dengan Vitri Cahyaningsih, gadis Jawa yang kini menjadi istrinya. Asni yang ketika itu sudah mempersiapkan seluruh proses pernikahan mengaku kaget. ’’Saya langsung pingsan setelah Anto bilang (sudah punya pacar dan ingin menikahinya, Red),’’ ujarnya.
Asni sempat tidak rela. Namun, ayahnya kemudian menyarankan supaya Asni merelakan Andi menikah dengan gadis pilihannya. Persiapan pernikahan pun akhirnya dipindah ke Jogjakarta, tempat tinggal calon istri Andi. ’’Ternyata pilihannya tepat,’’ tutur Asni bangga.

Kini, sebagai ibu sekaligus nenek sepuluh cucu, Asni sudah merasakan kenyamanan. Anak-anaknya melarang sang ibu bekerja. Lantas, mereka membelikan rumah di sebuah kawasan di Jakarta Timur. Setiap minggu Asni bergiliran mengunjungi anak-anaknya di rumah atau tempat kerja mereka. ’’Anto paling suka coto (makanan tradisional coto makassar), Celi suka bakso. Saya pasti bawakan jika mereka minta,’’ ungkapnya.

Karena kesibukan mereka, waktu berkumpul pun menjadi jarang. Jika tidak saat hari raya Idul Fitri, keluarga besar Mallarangeng baru bisa berkumpul ketika Asni merayakan ulang tahun setiap 31 Mei. Karena itulah, Asni berinisiatif untuk mengunjungi anak-anaknya secara bergiliran. Bagi dia, orang tua harus lebih aktif. Sebab, pada masa tua, dirinya justru memiliki waktu lebih banyak. ’’Anak-anak kita kan sibuk. Jadi, kita yang harus aktif,’’ tegasnya. (bay/c5/dwi)

keterangan foto :
Andi Asni Patoppoi Mallarangeng di kediamanya, Pulo Mas, Jakarta Utara (10/12).
fotografer : Agus Wahyudi (jawa pos)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar