Selasa, 30 November 2010

UII (Universitas Islam Indonesia) - Jogyakarta

Dominasi UII di Lembaga Penegakan Hukum

Oleh: Tomy C. Gutomo

SECARA kebetulan atau tidak, para petinggi lembaga penegakan hukum di Indonesia banyak berasal dari almamater yang sama. Yakni, Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqqodas yang baru saja terpilih Kamis lalu (25/11) adalah alumnus sekaligus dosen Fakultas Hukum (FH) UII. Dia juga pernah menjabat dekan di FH UII. Kemudian, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud M.D. berasal dari perguruan tinggi tertua di Indonesia itu. Mahfud juga pernah menjadi pembantu rektor I UII dan kini menjabat ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UII.

Di Kejaksaan Agung, Wakil Jaksa Agung (mantan Plt Jaksa Agung) Darmono juga alumnus perguruan tinggi yang berdiri pada 8 Juli 1945 itu. Begitu juga di Mahkamah Agung (MA), ada satu hakim agung yang dikenal sangat tegas, yakni Artidjo Alkostar, yang juga alumnus dan dosen UII. Hakim agung perempuan, Sri Murwahyuni, pun belajar hukum di UII. Kemudian, di Komisi Yudisial (KY), ada dua calon komisioner yang merupakan keluarga UII, berpeluang menjadi ketua KY pengganti Busyro. Mereka adalah Jawahir Thontowi dan Suparman Marzuki. Jawahir adalah dosen FH UII dan bahkan pernah menjabat ketua IKA UII. Sementara Suparman adalah direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) UII dan mantan direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) UII.

Di luar lembaga-lembaga di atas ada dua lembaga nasional lain yang terkait dengan penegakan hukum. Yakni, Komnas HAM serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dua lembaga itu dipimpin alumnus UII juga. Komnas HAM dipimpin Ifdhal Kasim, mantan aktivis mahasiswa UII. Sedangkan LPSK dipimpin Abdul Haris Semendawai, yang juga alumnus UII yang dulu aktif di lembaga pers mahasiswa (LPM) Himmah.

Belum lagi sejumlah pengacara top di Jakarta juga dari UII. Para pengacara itu, antara lain, Henry Yosodiningrat, Ari Yusuf Amir, dan Maqdir Ismail. Henry juga dikenal sebagai ketua Granat (Gerakan Nasional Antinarkoba dan Psikotropika). Saat ini dia menjadi pembela mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji. Sedangkan Ari Yusuf Amir dan Maqdir Ismail dikenal sebagai pengacara mantan Ketua KPK Antasari Azhar.

Mengapa UII? Pertama bisa jadi karena faktor pengalaman. UII adalah perguruan tinggi tertua di Indonesia yang berdiri pada 8 Juli 1945. UGM yang merupakan PTN tertua di Indonesia baru berdiri pada 19 Desember 1949. Kampus UII didirikan oleh proklamator Mohammad Hatta bersama para tokoh Masyumi, antara lain M. Natsir dan Kahar Muzakar. Doktrin para tokoh itu hingga saat ini masih dipelihara dan terus ditanamkan kepada mahasiswa. Doktrin itu sangat terkenal, yakni berilmu amaliyah dan beramal ilmiah. Tidak heran kalau para pendiri UII begitu menginspirasi para tokoh yang kini memegang jabatan strategis di lembaga penegakan hukum.

Tentu banyak yang curiga ada setting dari ”gank” UII untuk mendudukkan alumnusnya di lembaga-lembaga tersebut. Apalagi, alumnus IKA UII dipimpin Mahfud M.D. dan sering melakukan pertemuan dengan para alumnus seperti Busyro Muqqodas, Ifdhal Kasim, Abdul Haris Semendawi, Jawahir Thontowi, Suparman Marzuki, Artidjo Alkostar, Sri Murwahyuni, dan sebagainya. Wajar bila ada kecurigaan, jangan-jangan keputusan hukum yang keluar dari lembaga-lembaga hukum itu digodok terlebih dahulu di IKA UII. Namun, sejauh ini belum pernah ada dan tak pernah terbukti adanya UII connection di balik keputusan hukum. 

Sejauh ini integritas para alumnus yang memegang posisi strategis di lembaga penegakan hukum masih terjaga. Bahkan, karena satu almamater, mereka bisa mengontrol satu sama lain. Kalau ada yang mulai kendur, yang lain bisa menyemangati. Kalau mulai ada yang melenceng, yang lain bisa mengingatkan.

Di era Orde Baru, menteri kabinet juga dikuasai kampus tertentu. Tak jauh dari ITB, UI, IPB, dan UGM. Bahkan, di awal pemerintahan Soeharto ada istilah mafia Berkeley. Itu adalah julukan bagi sekolompok menteri bidang ekonomi dan keuangan, yang menentukan kebijakan ekonomi di zaman Soeharto. Sebagian besar menteri adalah lulusan doktor atau master dari University of California di Berkeley pada 1960-an, atas bantuan Ford Foundation. Para menteri tersebut sekembalinya dari Amerika Serikat mengajar di Universitas Indonesia.

Pemimpin tidak resmi mereka adalah Widjojo Nitisastro. Para anggotanya, antara lain, Emil Salim, Ali Wardhana, dan J.B. Soemarlin. Dorodjatun Koentjoro-Jakti yang lulus belakangan dari Berkeley kadang-kadang juga dimasukkan sebagai anggota kelompok ini. Dengan teknik-teknik makroekonomi yang didapat  dari Berkeley, mereka menetapkan berbagai kebijakan makroekonomi dan deregulasi yang memacu kegiatan ekonomi Indonesia yang macet pada masa pemerintahan Soekarno (Wikipedia). Belakangan mafia berkeley dituding sebagai biang kehancuran perekonomian Indonesia karena terlalu membebek sistem perekonomian di AS.

Bagi para civitas academica UII, kehadiran orang-orang UII di pucuk lembaga penegakan hukum menjadi kebanggaan sekaligus beban. Tidak ada kampus yang tidak bangga ketika alumnusnya menggapai keberhasilan. Menjadi beban karena bila para tokoh itu gagal menjalankan amanah yang diembannya, citra UII juga akan ikut jatuh. Justru saat ini adalah pertaruhan terbesar UII di kancah penegakan hukum. Bila para alumnus UII di lembaga penegakan hukum berhasil, UII akan ikut mendapat citra yang baik.

Sebaliknya, bila salah satu pemimpin lembaga penegakan hukum dari UII itu melakukan korupsi atau menerima suap, institusi UII juga ikut tercemar. Karena itu, mahasiswa, alumnus, dosen, dan institusi UII harus ikut mengontrol para pejabat di lembaga penegakan hukum yang berasal dari UII. Bila tidak dikontrol, bukan tidak mungkin suatu saat nanti para alumnus itu mendapat julukan mafia hukum.

*) Tomy C. Gutomo, Wartawan Jawa Pos, alumnus UII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar