Amin Mahmudi, Penderita Gagal Ginjal Yang Nekat Berangkat Haji
Tiap Lima Jam Cuci Darah, Bawa 369 Kg Cairan
Penyakit gagal ginjal tak menyurutkan niat Amin Mahmudi, 61, untuk menunaikan ibadah haji. Meski tiap 5-6 jam harus menjalani cuci darah, dia tetap berangkat ke Tanah Suci kemarin. Bagaimana dia akan menjalaninya?
JUNEKA SUBAIHUL MUFID (Jawa Pos)
Sebuah kantong plastik putih diambil Siti Masruroh dari dalam tas. Kantong tersebut berisi dua kantong lagi. Satu kantong berisi cairan untuk cuci darah melalui perut (continuous ambulatory peritoneal dialysis/CAPD) dan satunya kosong. Wanita 50 tahun itu kemudian meletakkan kantong dengan berat kira-kira 2 kg tersebut di samping suaminya, Amin Mahmudi.
Untuk apa cairan tersebut? Masruroh menjelaskan, cairan itulah yang membantu suaminya bertahan hidup sampai sekarang. Cairan CAPD itu digunakan untuk mencuci darah Amin yang sejak enam tahun lalu menderita gagal ginjal.
Sebelum mengidap gagal ginjal, Amin terkena hipertensi atau tekanan darah tinggi dan asam urat. Dua penyakit tersebut, kata Amin, menyebabkan ginjalnya tak berfungsi dengan baik. ”Saya kurang tau rusak keduanya atau cuma satu. Kata dokter, ginjal saya mengecil. Itu saja,” tutur Amin menceritakan penyakit yang dideritanya kemarin (6/11).
Dua bulan pertama dinyatakan gagal ginjal, Amin diharuskan rutin datang ke rumah sakit untuk hemodialisis atau mencuci darah melalui mesin. Dengan cara itu, darah dikeluarkan dari tubuh dan masuk ke "ginjal buatan" (mesin) kemudian dibersihkan dengan cairan pembersih (dialisat).
Selama dua bulan itu, dokter meminta Amin tidak makan makanan yang mengandung lemak. Dalam kurun waktu dua bulan itu pula, dia cuci darah sampai 20 kali. ”Rasanya nggak enak. Nggak bebas. Makan diatur-atur,” tambahnya.
Dua bulan berlalu, dia mengaku tidak kerasan dengan terapi hemodialisis. Lantas, dia memilih cuci darah dengan terapi CAPD atau cuci darah melalui perut. Sebuah slang untuk mengalirkan cairan itu menyembul pada perut bagian kiri. ”Kalau di sebelah sini enak. Saya tidurkan miring ke kanan. Ya, terkadang dikasih bantal untuk penyangga,” ucapnya.
Terapi dengan CAPD dapat dia lakukan sendiri. Dalam sehari, Amin harus melakukan terapi tiga sampai empat kali. Masruroh pun menjelaskan cara terapi dengan CAPD yang biasa dilakukan sang suami. Dia pun mengambil satu tas ransel berisi peralatan yang biasa digunakan untuk terapi tersebut.
”Ini ada tisu untuk membersihkan. Ada alkohol juga,” jelas Masruroh sambil mengeluarkan tisu dan botol alkohol dari tas. Selain itu, dia menunjukkan sebuah alat berbentuk segitiga yang punya beberapa cabang untuk pemasangan slang. ”Saya nggak tahu namanya. Biasanya saya sebut cenggeh,” kata Masruroh lantas terkekeh. Selain itu, alat yang digunakan adalah lakban untuk menutup saluran slang pada waktu mandi. ”Ini ada timbangan juga,” tambahnya.
”Caranya begini,” ujar Masruroh. Dia lantas membuka sedikit kantong yang berisi kantong cairan CAPD dan satu kantong kosong. Kantong kosong digunakan untuk menampung cairan CAPD yang mengalir dari dalam perut. Cara kerjanya, pertama, cairan yang ada di perut dikeluarkan. Lantas cairan itu ditimbang untuk mengetahui beratnya. ”Cairan yang masuk kan 2.000 ml. Bisa keluar sampai 2.200 ml,” jelas Masruroh.
Setelah itu, dia memasukkan cairan CAPD baru ke dalam perut melalui slang. ”Cukup diputer aja knopnya. Terus masuk sendiri,” ucapnya.
Kira-kira cuma butuh waktu 15 menit untuk memasukkan CAPD 2.000 ml tersebut. Setelah semua cairan masuk, slang ditutup dengan disinfection cap. ”Biasanya ayah melakukannya sendiri. Gak merepotkan kok,” tutur Masruroh. Amin pun mengangguk. Kata Amin, dia biasa melakukannya dengan nonton televisi atau saat duduk santai.
Amin sangat hafal dengan jadwal terapi CAPD-nya. Jika sehari dilakukan dalam empat kali, dia harus memasukkan cairan itu pada pukul 05.30, 10.00, 16.00, dan 21.00. Jika hanya tiga kali, terapi dilakukan pada pukul 06.00, pukul 13.30, pukul 21.00. Jika dirata-rata, dia harus terapi dalam jarak 5–6 jam. Kalau telat lebih dari sejam dari waktu tersebut, kata Amin, kakinya membengkak. ”Tapi, nggak terlalu gede,” tambahnya.
Ada dua jenis CAPD yang dipakai Amin. Yakni, yang berkadar 1,5 persen dan 2,3 persen. ”Kalau empat kali terapi, menggunakan 1,5 persen sekali pada pagi dan tiga terapi sisanya pakai 2,3 persen,” ujar Masruroh.
Perbedaannya, CAPD 1,5 persen berisi 2.000 ml cairan itu saat dikeluarkan bisa sampai 2.200 ml. Sedangkan CAPD 2,3 persen bisa keluar sampai 2.500 ml. Kelebihan 200 ml dan 500 ml itu merupakan sisa makanan atau nutrisi yang berada dalam tubuh.
Warna cairan yang keluar sama dengan cairan CAPD baru. Kalau warnanya lebih keruh, ujar Masruroh, berarti ada yang tidak beres. ”Maka harus segera ke dokter. Begitu pula jika yang keluar kurang dari 2.000 ml,” tambahnya.
Dalam sehari Amin bisa menghabiskan empat kantong CAPD. Satu kantong CAPD, kata Amin, seharga Rp 40 ribu. Jadi, tiap hari harus keluar uang Rp 160 ribu atau Rp 4,8 juta sebulan. Namun, dia tak keluar uang sepeser pun. ”Ayah kan pensiunan pegawai negeri sipil, jadi dapat gratisan dari Askes,” tuturnya.
Masruroh mengatakan, pada minggu pertama tiap bulan, ada orang yang mengantarkan paket CAPD ke rumahnya di Jalan Dahlia, Tumpang, Malang. ”Biasanya tiap tanggal tujuh dikirim,” tambah Amin yang kini jadi petani tebu.
Untuk biaya berangkat haji, Amin mengumpulkan dari gaji dan keuntungan hasil penjualan tebu. Putri pertama mereka, Ika Rahmawati, 28, sudah menikah. Anak kedua, Muhammad Ziaul Haq, 25, sudah bekerja di PT PLN. Dan si bungsu, Ilham Aya Putri Pratiwi, masih berusia 16 tahun dan duduk di bangku SMA. ”Alhamdulillah, ada rezeki untuk berangkat haji. Anak-anak sudah besar semua,” kata Masruroh.
Dia punya rencana sejak lama untuk bisa berhaji. ”Baru 2008 terealisasi. Lantas menunggu untuk berangkat tahun ini,” ucap Amin.
Amin menyadari bahwa haji merupakan ibadah yang membutuhkan kekuatan fisik. Hal itu tentu menjadi kendala tersendiri baginya. Sebab, seorang yang terkena gagal ginjal tidak diperkenankan terlalu capai. ”Insya Allah saya kuat,” jawab Amin.
Dia berkata bahwa pada saat nanti melakukan rangkaian ibadah haji dan tubuhnya itu capai, Amin akan berhenti sejenak. Misalnya saat tawaf, mengelililingi Kakbah atau saat sai, berlari kecil dari Shafa dan Marwa. ”Saya sudah punya bayangan akan seperti apa di sana. Ya dijalanin saja,” tuturnya.
Sebagai persediaan cairan CAPD selama di Tanah Suci, Amin membawa CAPD 1,5 persen 40 pak, CPAD 2,3 persen 120 pak, dan disinfektan cap 160 pak. Semua obat tersebut dikemas dalam 41 kardus. Saat ditimbang oleh petugas, berat rata-rata tiap kardus 9 kg. Jadi berat seluruhnya 369 kg.
Bagaimana dia bisa lolos tes kesehatan? Menurut Amin, dirinya dinyatakan lolos karena bisa melakukan semuanya sendiri. Dia bisa mengganti cairan sendiri tanpa bantuan dokter.
Jarum jam di dinding asrama haji menunjukkan pukul 09.30. Muhtar, 47, teman sekamar Amin, telah berangkat menuju gedung Mina untuk pemberangkatan kloter 77. Amin pun bangkit dari duduknya. Dia menuju kamar kecil. ”Kalau kencing itu sedikit. Paling dua tetes,” ujar Masruroh.
Amin segera mengenakan pakaian ihram dibantu sang istri. Slang yang ada di perutnya dia tata sedemikian rupa sehingga mudah mengenakan pakaian yang tanpa jahitan itu. Selanjutnya, mereka menuju gedung Mina untuk bersiap menuju Bandara Juanda. Amin hanya membawa tas berisi paspor yang dikalungkan pada leher. Istrinya membawa dua tas tenteng. Dua tas lainnya dibawa oleh dua orang yang mengunjungi Amin pagi itu. ”Terima kasih ya nak, kami doakan bisa berangkat haji juga,” kata Masruroh kepada Nur Yasin Shirotol Mustaqim, petugas bagian Humas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Embarkasi Surabaya.
Beberapa lama dia menunggu untuk dipanggil oleh petugas bagian pemberangkatan. Setelah dipanggil dan diberi perlengkapan berupa paspor dan uang saku 1.500 real, Amin dan Masruroh menuju bus. Sebelumnya, tas mereka diperiksa. Saat melewati X-ray, ditemukan gunting kecil di tas milik Masruroh. ”Guntingnya ditinggal saja, Bu,” ujar petugas keamanan. ”Ini untuk menggunting lakban. Untuk pengobatan suami saya,” jawab Masruroh. ”Nanti minta sama petugas kesehatan saja. Ada kok,” kata petugas.
Masruroh pun mengalah dan memberikan gunting kecil itu kepada petugas. Kedua pasutri CJH itu kemudian masuk bus, bergabung dengan rombongan. ”Terima kasih ya, Nak, nanti saya doakan juga,” ujar Masruroh setelah difoto. (c2/nw)
Terharu melihat mereka brangkat haji semoga saya bisa jg krn saya penderita ggk dgn hd
BalasHapus