Selasa, 30 November 2010
DPR, Kunjungan Kerja main main...
Kunker ke Luar Negeri, Yang ”Soro” dan ”Tidak Soro”
Oleh Djoko Susilo
Banyak sudah sorotan publik terhadap kunjungan kerja (kunker) ke luar negeri oleh kalangan eksekutif maupun legislatif. Namun, tidak banyak yang mengungkapkan kerepotan persiapan dan pelaksanaan di pihak penerima, terutamanya KBRI (kedutaan besar RI). Berikut catatan Djoko Susilo, mantan wartawan Jawa Pos yang sekarang tinggal di Swiss.
------------
Belum lama ini, sebuah surat dari pimpinan DPRD di salah satu provinsi di luar Jawa membuat saya jengkel dan kesal bukan main. Surat itu menyatakan bahwa sebuah rombongan DPRD dari provinsi tersebut akan melakukan kunker resmi selama seminggu di Swiss. Namun, mereka menyatakan hanya punya waktu untuk kegiatan resmi pada hari pertama, mulai pukul 13.30 waktu setempat sampai malam.
”Kami mohon bisa diatur acara dengan pihak Swiss pada jam tersebut, terserah pukul berapa saja, sampai malam,” ujar seorang petugas penghubung provinsi itu kepada staf saya.
Dalam keterangan petugas tersebut, sebut saja namanya Lidya, rombongan itu sudah merencanakan hal tersebut secara matang dan sesuai dengan ”arahan” pimpinan dewan. Hari kedua direncanakan untuk pergi ke Jungfrau, sebuah tempat wisata terkenal di Swiss. Hari ketiga dan keempat, rencananya, mereka berada di Paris. Lalu, hari kelima dan keenam, mereka berada di Belanda. Di Paris maupun Belanda, acaranya hanya ngelencer.
Taufiq Rodhy, staf KBRI Bern yang bertugas mengoordinasikan kegiatan kunjungan, minta pertimbangan saya untuk menghadapi kemauan rombongan DPRD tersebut. Saya langsung dengan tegas mengatakan menolak rencana DPRD yang mau bikin kunjungan secara ngawur itu. Saya katakan, kalau rombongan DPRD mau tamasya ke Swis, silakan. Tetapi, tidak ada urusannya dengan KBRI. Dengan kata lain, KBRI tidak akan menstempel SPPD (surat pertanggungjawaban perjalanan dinas) yang mengesahkan dikeluarkannya dana negara untuk kegiatan tersebut.
”Minimal, mereka harus 50 persen atau syukur-syukur bisa 75 persen melakukan kegiatan resmi. Kalau tidak, biar mereka mengurus sendiri,” tegas saya.
Memang benar, rata-rata kunker ke luar negeri, khususnya oleh kalangan legislatif, selama ini kurang berjalan maksimal. Umumnya, sasaran kunjungan juga kawasan yang enak-enak. Misalnya, Eropa, Amerika, Australia, Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, dan lain-lain. Hampir tidak ada atau bisa dikatakan sangat jarang kunjungan ke negara yang dianggap sengsara. Meskipun, dari segi diplomatik dan politik, hal itu sangat perlu bagi kepentingan nasional. Misalnya saja, kunjungan ke Afrika atau Asia Tengah.
Itu semua bisa tecermin dari data KBRI. Misalnya, KBRI Den Haag dalam setahun bisa mengurus 4.500 kunjungan dari berbagai instansi. ”Itu saja yang resmi mengirim kawat berita. Yang tidak resmi lebih banyak,” ujar Dubes RI di Belanda J.E. Habibie kepada saya beberapa waktu lalu. Sebaliknya, pada 2008 saya pernah ke Abuja dan diberi tahu bahwa KBRI di ibu kota Nigeria tersebut dalam setahun hanya meng-handle beberapa rombongan. Saya dan Ibu Nursyahbani waktu itu menjadi orang pertama DPR tahun itu yang pergi ke Nigeria. Padahal, saya berkunjung saat sudah Oktober. Sangat jarang anggota DPR, apalagi DPRD, mengadakan kunker ke Nigeria.
Kunker ke luar negeri, baik oleh kalangan legislatif maupun eksekutif, umumnya bisa digolongkan ke tiga kelompok. Pertama, misi diplomatik dan kebudayaan. Pemerintah maupun DPR bisa melakukannya. Itu bukan hanya domain Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Saya pernah ikut rombongan tersebut ke Malaysia pada 2009 dalam rangka masalah Ambalat. Kedua, konferensi. Untuk urusan tersebut, DPR punya agenda tetap tahunan yang cukup banyak, antara lain IPU (International Parliamentary Union), AIPA (ASEAN Inter Parliamentary Assembly), APP (Parlemen Asia Pasifik), dan PUIC (Parlemen OKI). Ketiga, kunjungan yang bersifat muhibah. Kunjungan terakhir itulah yang biasanya bermasalah dan sering disebut ngelencer saja. Dalam kategori ketiga tersebut, tidak ada seleksi ketat. Hanya bagi-bagi jatah di antara anggota yang sesuai dengan komposisi fraksi.
Dalam kategori misi diplomatik, kemampuan dan keberanian anggota harus sudah teruji. Saya ingat, ketika komisi I mengutus tim ke Malaysia –di antaranya saya, Yusron, Happy Bone, Andre Pereira, dan Sidki Wahab–, tiap-tiap personel sudah dikenal sebagai pengkritik Malaysia soal Ambalat. Tidak hanya mampu berdiplomasi, kami juga harus berani secara tegas menghadapi petinggi Malaysia. Dalam misi tersebut, kami bertemu dengan panglima tentara Diraja Malaysia, menteri pertahanan, dan sejumlah petinggi lain. Meski friendly, kami tetap harus tegas.
Untuk misi diplomatik maupun konferensi, stok DPR agak terbatas. Pertama, kemampuan bahasa. Kedua, pengetahuan internasional. Hampir dipastikan mayoritas orang yang ikut dalam misi tersebut sejak dulu jarang diganti. Biasanya, yang ikut adalah eks anggota komisi I atau BKSAP (Badan Kerja Sama Antarparlemen). Pada masa saya di DPR, yang langganan untuk misi semacam itu, saya ingat, di antaranya Sabam Sirait, Iris Indira Murti, Tutik Lukman Sutrisno, dan Abdillah Thoha. Penugasan untuk misi diplomatik tersebut termasuk kurang ”laku”. Sebab, jadwal kegiatan sudah jelas dan padat serta dianggap berat.
Karena itu, banyak di antara anggota DPR yang memilih kunker muhibah. Kunker tersebut terdiri atas tiga bagian. Pertama, kunker komisi. Artinya, seorang anggota bisa pergi ke luar negeri sebagai anggota komisi. Kedua, kunker sebagai anggota pansus sebuah undang-undang atau tim penyelidikan. Ketiga, kunker sebagai anggota GKSB atau Grup Kerja Sama Bilateral. Setiap anggota DPR biasanya dialokasikan menjadi anggota grup GKSB. Misalnya, saya pernah menjadi anggota tim kunker GKSB ke Rumania. Kunker GKSB itu baru dimulai sekitar 2007. Jadi, rata-rata seorang anggota DPR dalam setahun bisa pergi ke luar negeri dengan ongkos dinas 3–4 kali.
Perjalanan ke luar negeri juga bisa terjadi karena mereka diundang LSM atau pemerintah negara sahabat. Misalnya saja, antara 2005–2009 saya menjabat wakil ketua ASEAN Inter Parliamentary on Myanmar Caucus dan presiden IPF-SSG (Intern Parliamentary Forum on Security Sector Governance). Hal itu membuat saya sering diundang ke beberapa negara ASEAN tiap tahun, juga Eropa dan Amerika. Tapi, kunjungan ke luar negeri seperti itu tidak laku di DPR. Sebab, selain sering harus bikin makalah dan berbicara dalam forum internasional, saya hanya dapat fasilitas hotel dan tiket ekonomi. Tidak ada uang saku dan lain-lain.
Memang kalau mengikuti kunker ke luar negeri yang bisa dikategorikan ngelencer itu, fasilitasnya luar biasa dan pekerjaannya enteng banget. Ambil contoh, sebuah tim pansus beberapa waktu lalu resmi ke Swiss dengan anggaran untuk satu minggu. Acara resmi hanya sehari, ketemu saya sebagai Dubes dan satu-dua official meeting. Besoknya, sebagian anggota sudah kabur ke Milan, Italia. Ada yang pergi ke Paris, Jerman, dan lain-lain. Sebenarnya, saya sudah minta mereka menunda kepergian itu sekitar dua minggu lagi agar persiapan lebih matang. Tapi, jawabannya, karena ada anggota rombongan yang telanjur jalan ke Kanada, diteruskan ke Swiss, jadwal tidak bisa ditunda. Rupanya, dia ikut kunker komisi ke Kanada, terus ke Swiss sebagai kunker pansus.
Mengapa kunker ngelencer paling populer di kalangan anggota dewan? Pertama, kerjanya enteng dan memang mayoritas benar-benar hendak ngelencer. Kedua, uang sakunya lumayan banyak. Untuk pergi ke Swiss atau Eropa, pada umumnya jatah satu hari mereka USD 400–450 dolar AS dengan indeks pesawat bisnis sekitar USD 6.500. Jika naik kelas ekonomi, dibutuhkan sekitar USD 1.500 untuk perjalanan Zurich–Jakarta pp (pergi-pulang). Bila naik kelas bisnis, dibutuhkan USD 3.500. Dari harga tiket saja, sudah ada selisih USD 5.000 atau USD 3.000. Sementara itu, tarif hotel di Swiss rata-rata USD 200. Itu sudah memadai. Jadi, bisa dipastikan dana yang ada sudah lebih dari cukup. Pertanggungjawabannya juga gampang. Sebab, anggota DPR terima lump sum sehingga tidak harus melaporkan kuitansi hotel, boarding pass, dan lain-lain.
Ke depan, sebaiknya yang ikut kunker diseleksi, yakni yang memiliki kemampuan diplomasi dan bahasa. Itu semua dilakukan agar perjalanan ke luar negeri efektif. Sebaiknya juga, pimpinan DPR mewajibkan jadwal kunker dibagikan kepada media secara bebas. Dengan begitu, publik bisa melihat apa saja kegiatan anggota dewan selama berada di luar negeri.
Sayang, sampai sekarang masih banyak yang kucing-kucingan, tidak mau transparan soal program yang akan dilakukan. (c11/kum)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar