Oleh Mushab Syuhada
„Fathimah“ seru ibuku perlahan. Matanya berkaca-kaca. „Ibu telah membicarakan hal ini dengan Ayahmu“ lanjutnya.
Aku menoleh ke arah Ayah yang duduk di sudut ruangan itu.
„Ada apa bu?“ tanyaku
„Seorang pemuda telah melamarmu. Ia hendak memperistrikanmu“ jawabnya. Ku lihat dua tetes air mata pecah mengalir.
„Lalu mengapa ibu bersedih?” tanyaku. “Fathimah siap menikah sekarang. Dengan siapa Fathimah hendak dinikahkan bu?“ sahutku kembali.
Tangis ibuku makin meledak. Ia memelukku erat sekali seolah tak ingin membiarkan aku pergi jauh darinya. Ayahku pun datang menghampiri kami dan merangkul kami yang sedang larut dalam air mata.
***
Haritsah – Pemuda yang akan meminangku nanti. Ternyata ia adalah adik dari suaminya Mujaadillah – teman baikku yang sedang mengandung delapan bulan. Mujaadillah sangat kaget dan juga senang ketika mengetahui bahwa aku akan menikah dengan Haritsah. „Kita akan menjadi sebuah keluarga besar, ukhti!“ katanya sambil tersenyum senang.
Tapi jujur aku belum pernah bertemu ataupun melihat pemuda yang sejak kecil telah yatim piatu itu. Dari namanya aku teringat akan sahabat Nabi yang dijanjikan masuk surga firdaus – Haritsah bin Suraqah ra. Aku membayangkan kesholehannya seperti sahabat Nabi itu. Kata Mujaadillah, jika aku ingin dapat melihat wajahnya, aku harus datang ke sebuah masjid kecil yang terletak di ujung utara desa kami pada waktu antara Ashar dan Maghrib. Biasanya pada waktu itu ia sedang berada di dalam masjid sambil melantunkan ayat-ayat Allah dari mushaf kecilnya.
Sore ini, dengan ditemani Mujaadillah, kami berangkat ke masjid kecil itu. Setelah selesai shalat Ashar berjama’ah, beberapa orang pergi meninggalkan masjid. Di balik hijab masjid kami duduk, dan tiba-tiba terdengar suara merdu dari bagian masjid untuk ikhwan. Suara seseorang yang melantunkan ayat Al-Qur’an. Begitu syahdu begitu hikmat. Inilah pemuda yang akan menjadi suamiku nanti. Aku hanya mendengarkan suaranya di balik hijab sambil meresapi ayat-ayat yang dibacanya.
Ia sedang membaca surah Ad-Dukhaan dan sampai pada ayat empat puluh tiga. Seketika bulu kudukku merinding. Ayat yang sedang dibacanya adalah ayat tentang sifat-sifat neraka. Mujaadillah telah menangis terisak-isak disampingku. Air matanya menetes ke perutnya yang sudah membesar. Aku pun menangis. Menangis karena aku teringat akan dosa-dosaku namun aku tak sanggup berada di dalam neraka seperti yang digambarkan pada ayat-ayat itu. Ku dengar lantunan merdu itu berhenti. Yang ada kini hanya isak-isak kecil kami. Mungkin ia menyadari ada orang lain yang sedang mendengarkan ayat-ayat suci yang dibacanya.
***
Minggu depan hari pernikahanku. Aku bertemu Mujaadillah di rumahnya. Keadaannya memburuk. Sejak tiga hari yang lalu ia jatuh sakit. Suaminya telah membawa dia ke dokter ternama di kota. „Tidak apa-apa kok, paling hanya gejala mau melahirkan“ katanya. Aku melihat tubuhnya yang sudah sedikit mengurus. Aku berbisik kepadanya „Ayo Mujaadillah, kamu harus kuat. Kamu harus sembuh, sebentar lagi kamu akan melahirkan. Kondisi badanmu harus fit“
Ia menjawab „Sungguh aku merasa senang sekali. Senang karena aku akan segera melahirkan. Kamu tahu Fathimah, aku ingin sekali membahagiakan suamiku. Jika kamu sudah menikah nanti, kamu juga harus mengabdi kepada suamimu. Harus. Itulah ladang jihadmu, Fathimah“. Wajahnya mencerah. Ia tak sabar menyongsong kelahiran putra pertamanya.
„Dan kamu tahu Fathimah, aku juga senang karena aku melihat sahabatku akan menggenapkan dien-nya. Insya Allah aku akan sembuh dan datang ke walimah nikahmu“ lanjutnya.
Aku menangis haru. Cahaya kedua bola mata Mujaadillah mengatakan kalau ia yakin akan sembuh. „Aku tunggu kamu di walimah nikahku. Cepat sembuh yah ukhti“ bisikku di telinganya yang ditutupi jilbab hijau kesukaannya. Cahaya matahari sore merambas masuk kedalam ruangan ini, memantul sedikit di atas wajah pucat Mujaadillah dengan seulas senyumnya yang khas.
***
Tiga hari lagi aku akan melaksanakan walimah nikah. Sampai sekarang aku belum pernah bertatap muka langsung dengan Haritsah. Aku sudah melihat fotonya yang diberikan oleh ayahku, namun tidak begitu jelas.
„Ini foto ketika Haritsah lulus dari sekolahnya anakku“
„Yang mana Haritsah, ayah? Ada sekitar empat puluh wajah di foto ini“
„Itu, yang berada di pojok kanan, yang sebagian wajahnya tertutup oleh kepala temannya“
Walau tidak terlalu jelas, namun ia tetap terlihat tampan. Aku berulang-ulang memanjatkan syukur kepada Allah atas jodoh yang kelak akan diberikan kepadaku.
„Ibu, bagaimana dengan masjid yang akan digunakan untuk ijab qabulku?“ tanyaku pada ibu.
„Itu semua sudah diurus oleh ayahmu. Kamu tahu masjid kecil di utara desa kita? Di situ kelak akan diberlangsungkan acara ijab-qabul“ jawab ibuku. Masya Allah, masjid kecil itu, masjid tempat Haritsah menghabiskan waktu Asharnya dengan bertilawah.
„Ibu, perasaanku sekarang sedang bercampur baur menjadi satu“
„Tenang anakku. Itu biasa bagi seorang gadis yang akan melangsungkan sebuah pernikahan. Waktu dulu ibu juga seperti kamu“
Tak lama Aisyah – salah satu temanku datang kepadaku.
„Fathimah, ada kabar yang kurang enak untuk kamu ketahui“ sahut Aisyah dengan nafas yang tersengal-sengal di hadapanku. Ia menatapku dan orang tuaku cemas.
„Ada apakah Aisyah? Ada musibahkah?“ tanyaku penuh rasa waswas. Ibu dan ayah juga terlihat cemas melihat kedatangan Aisyah yang secara tiba-tiba dengan disertai kabar yang katanya kurang enak.
“Mujaadillah akan segera melahirkan” jawabnya.
Seperti ada hembusan angin yang membuatku membuang nafas lega. “lho, bukankah itu berita bagus, Aisyah?”
Aisyah pun melanjutkan, “Namun dokter baru saja memberitahukan, kalau Mujadillah menderita tekanan darah rendah yang hebat. Kondisinya semakin lama semakin melemah, sementara ia harus segera melahirkan”
Buliran air mata tak terasa sudah berjalan di atas pipiku. Segera aku dan Aisyah pamit kepada ibu dan ayah untuk menemui Mujaadillah di rumah sakit di kota. Selama perjalanan kami ke kota, aku selalu memikirkan keadaan Mujaadillah sambil tak henti-hentinya berdoa kepada Allah untuk kesembuhan dan kekuatan Mujaadillah.
“Kamu tahu Fathimah, aku ingin sekali membahagiakan suamiku. Jika kamu sudah menikah nanti, kamu juga harus mengabdi kepada suamimu. Harus. Itulah ladang jihadmu, Fathimah“.
Seketika kalimat-kalimat yang pernah dilontarkan Mujaadillah berbunyi lagi di telingaku. Air mataku semakin tak dapat kutahan dan kubiarkan menderas. Aisyah memelukku mencoba menyabarkan aku dan tak henti-hentinya menyuruhku untuk menyerahkan semuanya kepada Allah.
***
Sesampainya di rumah sakit langkah-langkah kaki kami segera menuju ke ruangan persalinan tempat Mujaadillah kemungkinan berada. Terdengar suara isak tangis bayi di malam itu. Isak tangis seorang bayi yang baru saja dilahirkan. Seorang perawat terlihat sedang menggendong bayi mungil yang tangisannya memecahkan kesunyian di koridor tunggu rumah sakit itu. Seorang pria berdiri di sebelah perawat itu, dengan wajah yang tertutup bayangan lampu gantung dari atap koridor.
Pria itu adalah suaminya Mujaadillah. Mujaadillah telah melahirkan!
“Ya Mustafa apakah bayi mungil ini anakmu?” tanyaku dengan suara parau dan wajah yang basah oleh air mata. Mustafa – suami Mujaadillah menoleh kearah kami yang menanti jawaban darinya.
“Ya, dia anakku dan Mujaadillah. Alhamdulillah dia terlahir sehat dan sempurna” jawabnya.
“Alhamdulillah... lalu bagaimana kabar Mujaadillah, ya Mustafa?” lanjut pertanyaanku lagi. Jantungku memberikan degupan yang luar biasa atas harapan terhadap keadaan Mujaadillah – sahabatku.
“Kondisinya sangat lemah ketika melahirkan” jawabnya. Raut wajahnya segera berubah. “Mujaadillah telah menjemput syahidnya”
“Innalillahi wa inna illahi rooji’uun...” sahut kami sebelum larut pada tangisan karena kepergiannya. Mujaadillah telah pergi. Pergi dengan membawa bukti cintanya. Cinta kepada Rabb-nya serta cinta kepada suaminya.
Mustafa lalu memberikan aku secarik kertas yang ditulis oleh Mujaadillah sesaat sebelum ia dibawa ke ruangan persalinan. “Aku tidak tahu apa isinya. Mujaadillah mengamanahkanku surat ini untukmu. Bacalah” sahutnya.
“Fathimah, sahabatku yang kusayangi. Sungguh, jika aku menjemput syahidku pada persalinan ini, maafkan aku karena tidak dapat mendampingimu pada hari bahagiamu. Menikahlah Fathimah. Doaku bersamamu. – Mujaadillah”.
Wangi surga merembas di koridor tunggu rumah sakit pada malam kepergian Mujaadillah.
***
Suasana duka menyelimuti keluargaku dan juga keluarga Haritsah di dua hari menjelang pernikahanku. Setelah Mujaadillah dikebumikan, kami harus kembali mempersiapkan acara ijab qabul dan walimah nikahku yang kami adakan sesederhana mungkin. Keluarga Haritsah sibuk memilih mas kawin apa yang akan diberikan kepadaku.
Hari itu hari Ahad. Matahari bersinar dengan cerahnya. Keluarga kami telah sampai sejak dua jam yang lalu di masjid kecil tempat ijab qabul akan diucapkan. Hari ini – jika Allah menghendaki – aku akan menggenapkan dien-ku.
Terdengar kembali bunyi letusan dari arah kota setelah hampir dua minggu tidak terdengar letusan. Seorang tamu yang datang mengatakan bahwa tentara Zionis Israel berusaha kembali merebut jalur Gaza dan menguasai kota itu – kota Jerusalem beserta Al-Quds.
Hari pernikahanku diwarnai dengan letusan senjata-senjata sang Zionis.
Dua jam kami menunggu. Keluarga Haritsah pun sudah sampai di tempat. Beberapa tamu telah hadir. Namun kami belum melihat keberadaan Haritsah di masjid itu. Kami menginginkan pelaksanaan ijab qabul yang sesingkat mungkin mengingat keadaan yang tidak lagi memungkinkan.
„Sebelum kami pergi, Haritsah minta izin ke rumah temannya yang tidak dapat hadir ke acara ini untuk meminta doa restu pernikahannya“ sahut Mustafa yang hari itu bertindak sebagai wali Haritsah menggantikan ayahnya yang telah meninggal.
„Baik, kita tunggu saja kedatangannya dengan sabar“ sahut ayahku.
Perasaanku bergejolak kembali. Persis seperti ketika aku berangkat ke kota untuk menemui Mujaadillah yang akan bersalin. „Ya Allah... saya serahkan semuanya kepada-Mu“ gumamku dalam hati.
Seorang pemuda berbaju gamis terlihat datang ke masjid ini. „Assalamu’alaikum saudara-saudaraku, saya datang ke sini membawakan kabar dari kota. Tentara Zionis berusaha merebut kembali Al-Quds pagi tadi. Panggilan jihad telah berkumandang ke seluruh pelosok Palestina. Tadi saya bertemu dengan Haritsah, ia hendak memenuhi panggilan itu. Saya pun juga akan ingin memenuhi panggilan itu. Namun ia berkata pada saya, bahwa ia akan melangsungkan pernikahannya di hari ini dan di sini. Oleh karena itu ia meminta saya untuk datang ke sini serta mengabarkan bahwa Haritsah menangguhkan pernikahannya karena ia ingin berjihad di kota“
Semua yang hadir di sini diam tak bergeming.
„Ibu, ayah, kita tunda saja pernikahanku. Ada yang lebih penting dari pada pernikahanku“ sahutku ke orangtuaku.
***
Jerusalem di siang hari itu mengantarkan Haritsah sebagai syuhada yang kelak akan menghuni surga Firdaus. Aku jadi teringat sebuah kisah di jaman Rasulullah SAW dulu. Ada seorang pemuda yang bernama Abdullah bin Sulaim hendak menikah dengan puteri dari Abdurrahman bin Auf. Namun sebelum ia melangsungkan pernikahan, ada panggilan jihad yang segera ia turuti. Ia pun syahid di panggilan jihad itu, tanpa sempat menikah dengan puteri dari Abdurrahman bin Auf. Masya Allah, mirip sekali kisah itu dengan aku dan Haritsah kini. Ya Allah, tempatkanlah Haritsah di sisi-Mu. Ia telah membuktikan cintanya kepada-Mu. Ya Allah, sungguh cinta sejati hanyalah untukMu. Tidak ada lagi yang patut dicinta melebihi cinta kepadaMu. Niat Haritsah untuk menikahiku pun karena cintanya ia kepadaMu. Ya Allah, matikanlah juga aku dalam keadaan syahid suatu saat nanti, seperti Kau syahidkan Mujaadillah dan Haritsah. Ingin sekali aku bertemu dengan Mujaadillah dan Haritsah di bawah naungan surgaMu.
Sebulir airmataku jatuh lagi.
***
Epilog:
Pemakaman Haritsah. Ratusan orang hadir dalam upacara pemakaman, teriakan Allahu Akbar menggema di langit Palestina pagi itu. Aku teringat dengan bait nasyid kesukaanku: Khaibar khaibar ya Yahud! Jaizu Muhammad Saufaya’ud!
Berlin, 21 Juni 2005
Pukul 21:06, sesaat sebelum pergi shalat maghrib
Mushab Syuhada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar