Selasa, 21 Desember 2010

Pohon 80 ton berusia 700 tahun pindah ke UI Jakarta

Rumitnya Memindah Pohon Langka Baobab dari Subang ke Kampus UI

Perlu Dua Hari untuk Pindahkan Dua Pohon

Komitmen Universitas Indonesia (UI) menjadi kampus terhijau di Indonesia tidak main-main. Salah satunya dilakukan dengan menanam 10 pohon Africanbaobab. Padahal pohon-pohon langka yang rata-rata berbobot 80 ton itu harus dipindahkan dari Subang ke kampus UI Depok sejauh 150 km.

ZULHAM MUBARAK, Depok

DAHI Rektor UI Prof Dr der Soz Gumilar Rusliwa Somantri mengernyit. Matanya tajam menatap sebuah maket dan foto berukuran kartu pos yang tergeletak di meja kerjanya pada pekan pertama Agustus silam. Sejurus kemudian, dia menulis secarik catatan dan menyerahkannya kepada tim yang beranggota sejumlah pakar tanaman.

Hari itu, rencana yang disebut mission impossible itu pun harus dapat terwujud: memindahkan 10 pohon Africanbaobab yang berdiameter rata-rata 3–5 meter dari pedalaman Subang, Jawa Barat, ke kampus UI Depok.

’’Waktu itu, saya sedikit pesimistis. Tapi, alhamdulillah berkat bantuan banyak pihak pohon itu kini melengkapi koleksi ragam tanaman di kampus UI,’’ ujar Gumilar ketika ditemui di kantornya, Jumat (17/12).

Pemindahan pohon berukuran 16 pelukan orang dewasa tersebut belum tuntas benar. Di antara 10 pohon yang direncanakan, tim baru bisa memindahkan tujuh pohon. Kini, pohon bernama latin Adansoia digitata itu telah tertanam di halaman gedung rektorat UI.
Pohon-pohon tersebut diperkirakan sudah berusia lebih dari seabad (100 tahun). Rata-rata bertinggi 20 meter. Selama ini, pohon-pohon itu hidup di lahan kantor Regional 1 PT Sang Hyang Seri Sukamandi, Ciasem, Subang, dan di kebun tebu PT PG Rajawali II di Desa Manyingsal, Cipunagara, Subang.
Tentu saja pemindahannya tidak bisa dibilang mudah. Sebab, pohon-pohon itu semula berada di tengah perkebunan, kemudian dibawa melintasi jalan-jalan sempit, perumahan penduduk, hingga jalan tol sebelum sampai di UI.

Gumilar mengungkapkan, yang dilakukan tim UI itu sepadan dengan kegunaan dan fungsi pohon yang disebut superfruit atau buah super tersebut. Inisiatif awalnya bermula dari perjalanan Gumilar dua tahun lalu ke Eropa. Ketika di Jerman, dia membaca sebuah artikel di media yang menyebutkan keistimewaan pohon Africanbaobab atau Adansonia digitata.

Berdasar penelitian ilmiah, pohon tersebut sangat bermanfaat. Daunnya lezat menyerupai daun kemangi, bisa dimakan mentah. Buahnya juga enak menyerupai cempedak. Kandungan vitamin C-nya enam kali lebih banyak dari jeruk. Kandungan potasiumnya enam kali lebih banyak dari pisang. Kalsiumnya dua kali lebih tinggi dari susu. Begitu pula, zat besi, antioksidan, dan magnesiumnya sangat tinggi.

Setelah kembali ke tanah air, Gumilar mendapat informasi tentang keberadaan pohon asli Afrika itu di Subang. Warga menyebut pohon tersebut dengan sebutan Ki Tamblek karena identik dengan sesuatu yang mistis serta menyeramkan. Ditengarai, pohon itu ada di Subang karena dibawa penjajah Belanda. Yang luar biasa, di antara 10 pohon langka tersebut, ada yang sudah berusia 700 tahun.
’’Karena itu, kami ingin pohon itu menjadi magnet baru bagi peneliti UI dan dikonservasi di sini,’’ ungkap Gumilar.

Menurut Harun A. Gunawan, ketua tim pemindahan pohon baobab UI, teknis pemindahan dalam sekali perjalanan membutuhkan waktu satu sampai dua minggu. Tujuh pohon itu diangkut dalam empat kali perjalanan. Dalam tiga perjalanan pertama, tim berhasil memindahkan masing-masing dua batang pohon. Pada pengangkutan keempat, tim hanya mampu memindahkan satu pohon. ’’Yang keempat itu yang paling sulit karena paling besar,’’ ujar Harun.

Sebelum memindahkan pohon, UI memberangkatkan tim advance yang terdiri atas konsultan ahli tanaman dan tim teknis yang membidangi operasi alat berat. Tugas tim advance tidak hanya menyurvei di lapangan, tapi juga membuka akses bagi alat berat yang akan menuju lokasi pemindahan. Jika jalur menuju lokasi terlalu sempit, tim akan melebarkannya.
Tim juga mengukur semua panjang tikungan dalam jalur pemindahan. Termasuk, mengukur lebar serta tinggi gate (pintu) jalan tol yang akan dilalui trailer pengangkut pohon raksasa itu. Tim pun perlu waktu seminggu untuk ’’membersihkan’’ jalur.

UI mendapat bantuan dari PT Waskita Karya yang menyediakan alat berat sebagai bagian dari program corporate social responsibility (CSR). PT Waskita menyediakan trailer dan dua crane serta backhoe untuk tiap proyek pemindahan.

Harun menuturkan, setidaknya dibutuhkan 40 orang yang bekerja selama 10 jam secara bergantian untuk bisa mencabut pohon raksasa tersebut dari akarnya. Prosesnya dilakukan super hati-hati untuk menghindarkan pohon tidak sampai terluka yang bisa berakibat fatal.

Setelah akar berhasil dicabut, pekerjaan mereka semakin rumit. Menurut Harun, menaikkan pohon seberat 80 ton dengan posisi tidur ke atas trailer merupakan salah satu bagian terumit dari proses pemindahan pohon Baobab. Pohon dengan diameter rata-rata 5 meter dan tinggi 20 meter itu hampir tidak mungkin diletakkan secara pas di bak trailer. Apalagi, bentuk batangnya tidak sepenuhnya bundar, melainkan agak lonjong. Tim harus mencoba berkali-kali sebelum menemukan letak yang paling pas sehingga trailer sepanjang 20 meter itu bisa melewati jalan dan gate tol dengan mulus.
’’Proses menaikkannya saja perlu waktu sekitar 14 jam. Harus super hati-hati agar pohon tidak sampai terluka dan bergeser ketika di jalan,’’ katanya.

Setiap Pohon Perlu 800 Karung Pasir

Untuk penyangga, tim menaruh sekitar 100 karung tanah, pupuk, dan sekam. Tim memilih memindahkan pohon saat malam untuk menghindari kemacetan dan cuaca yang bisa membuat pohon layu. Perjalanan dari Subang ke kampus UI yang biasanya bisa ditempuh selama empat jam (termasuk kena macet), saat mengangkut pohon Baobab, menjadi 11–12 jam.

’’Pemindahan dari lokasi setidaknya butuh dua hari, termasuk penggalian dan lama transportasi,’’ kata Harun.
Sesampai di kampus UI, pekerjaan yang cukup menyita tenaga kembali dilakukan. Yakni, penanaman kembali pohon raksasa itu. Untuk menjaga agar pohon tetap bisa hidup, tim mendatangkan pasir dari Malang, Jawa Timur, sebanyak 800 karung untuk setiap pohon. Pasir itu digunakan untuk menjaga agar pohon tetap lembap dan bisa tetap berposisi tegak. Tim juga menambahkan hormon pertumbuhan, pupuk kandang, serta memastikan posisinya berhadapan dengan arah matahari. Penanaman ulang itu membutuhkan 14 jam untuk setiap batang pohon.

Tenaga tim ikut terkuras habis. Harun, misalnya, kini sedang mengalami flu berat dan kondisinya drop karena mengawal evakuasi yang semua dilakukan semalam suntuk.
Kini, daun-daun baru mulai tumbuh di sebagian pohon itu. Harun berharap kerumitan dan kesulitan proses pemindahan akan terbayar dengan hasil penelitian para mahasiswa UI tentang khasiat serta manfaat baru pohon langka tersebut. ’’Semoga semua ini berguna bagi kemanusiaan,’’ ujarnya. (*/c5/ari)






keterangan foto karya zulham mubarak (jawa pos) : proses evakuasi pohon Baobab di Subang . tampak Rektor UI Prof. Gumilar berpose di depan pohon Baobab yang sudah tertanam di halaman rektorat UI Depok.  dan Harun A. Gunawan  (kemeja biru, bertopi)

Hari Ibu . . . . . . . ( 3 )

Nafisah Ahmad Shahab

Sepuluh Anak Jadi Dokter, Bercucu 32 Orang

Tugas Nafisah Ahmad Shahab sebagai ibu boleh dibilang sudah rampung. Sebanyak 12 anak yang dia lahirkan sudah mentas semua. Pun, hampir semuanya sudah berkeluarga. Tinggal si bungsu yang dalam waktu dekat segera menikah. ”Saya merasa, tugas saya sudah rampung,” ujar perempuan 64 tahun itu kemarin (21/12).

Nafisah adalah salah seorang ibu yang luar biasa. Sepuluh di antara 12 anak yang dia lahirkan berprofesi sebagai dokter. Lima di antaranya bahkan menjadi dokter spesialis. Mereka adalah si sulung Dr dr Idrus Alwi SpPD KKV FECS FACC yang memiliki spesialisasi di bidang kardiovaskular; dr Muhammad Syafiq SpPD, spesialis penyakit dalam; dr Suraiyah SpA, spesialis anak; dr Nouval Shahab SpU, spesialis urologi yang saat ini menempuh pendidikan untuk gelar PhD di Jepang; dan dr Isa An Nagib SpOT yang mengambil bidang spesialisasi ortopedi.

Selanjutnya, ada drg Farida Alwi dan dr Shahabiyah MMR yang saat ini menjadi Dirut RS Islam Harapan Anda di Tegal.

Sedangkan tiga anak Nafisah yang lain masih bergelar dokter umum. Mereka adalah dr Fatinah yang menjabat wakil direktur RS Ibu dan Anak Permata Hati Balikpapan; dr Zen Firhan, dokter umum di Balai Pengobatan Depok Medical Service dan Sawangan Medical Center; serta dr Nur Dalilah, dokter umum di RS Permata Cibubur.

Padahal, Nafisah juga mengalami masa-masa sulit saat membesarkan mereka. Sejak 1996, dia harus jatuh bangun menyekolahkan mereka seorang diri lantaran sang suami, Alwi Idrus Shahab, sudah meninggal.

Atas prestasi mengagumkan itu, Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) memberi keluarga dari Palembang, Sumatera Selatan, tersebut gelar Profesi Dokter Terbanyak dalam Satu Keluarga pada awal 2010. ”Semuanya tak lepas dari pendidikan yang saya dan bapak (mendiang Alwi, Red) lakukan saat mereka masih anak-anak,” imbuh Nafisah.

Kendati merasa bahwa tugas yang diemban sebagai ibu sudah tuntas, Nafisah masih bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Namun, tanggung jawab tersebut sekarang berbeda dengan yang diembannya saat buah hatinya masih anak-anak. Kini dia cenderung hanya mengamati anak-anak dan cucu-cucunya. Apalagi, perempuan berjilbab itu tinggal dengan anak-anaknya, yang sebagian besar berkediaman di Cibubur, Depok.

Kalaupun ada persoalan dalam keluarga, anak-anak itu biasanya mendatangi Nafisah untuk curhat. Yang bertempat tinggal dekat langsung datang, sedangkan yang jauh menyempatkan diri untuk menelepon. Nafisah dengan telaten akan mendengarkan keluh kesah mereka. Tapi, perempuan murah senyum itu enggan mendikte anak-anaknya. ”Mereka kan sudah dewasa,” katanya, lantas tersenyum.
Kini Nafisah melewati hari-hari dengan mengasuh cucu-cucunya. Saat dikunjungi Jawa Pos awal tahun lalu, dia memiliki 30 cucu. Sekarang cucu Nafisah sudah 32 anak. ”Saya ingat semua nama lengkapnya,” ujarnya.

Kebahagiaan terbesar Nafisah tidak hanya disebabkan mereka telah menjadi dokter, tapi juga anak-anaknya menikmati profesi itu. Dia juga sayang kepada dua anaknya yang tidak menjadi dokter. ”Jadi dokter atau tidak, mereka anak saya. Yang penting mereka bahagia, saya sudah senang,” tuturnya dengan kalem. (aga/c11/kum)

keterangan foto :
Nafisah Ahmad Zen Shahab, fotografer :  Agung Iskandar (jawa pos)

Hari Ibu . . . . . . . ( 2 )

Atit Tresnawati, Superwoman Keluarga Rohali

Ajarkan Disiplin, Biasakan Bangun Subuh

Mungkin, tidak banyak orang yang mengenal Atit Tresnawati, sosok ibu kelahiran Tasikmalaya, 2 Februari 1946. Orang mungkin lebih familier dengan anak-anaknya seperti Yuanita Rohali, 43, maupun Alya Rohali, 34.

Yuanita memiliki karir moncer di dunia bisnis. Jabatan chief financial officer (CFO) atau direktur keuangan di PT Bakrie & Brothers Tbk empat tahun disandangnya. Saat ini, dia menduduki kursi CFO di PT Bumi Resources Minerals, perusahaan lain yang juga berada di bawah naungan Grup Bakrie.
Begitu pula Alya Rohali. Karirnya moncer di dunia hiburan tanah air. Sukses menyabet gelar Putri Indonesia pada 1996, Alya kemudian tampil dalam beberapa sinetron. Belakangan, dia eksis sebagai salah seorang pembawa acara atau presenter top di tanah air.

Nah, Atit Tresnawati adalah ibu sekaligus sosok penting di balik sukses yang diraih dua putrinya itu. ’’Sebagai ibu, impian terbesar saya adalah melihat anak-anak sukses dan bahagia. Alhamdulillah,’’ tuturnya saat ditemui Jawa Pos di rumah putrinya, Yuanita Rohali, di kawasan Kemanggisan, Jakarta Barat, Minggu lalu (12/12).

Yuanita merupakan anak sulung di antara lima bersaudara, sedangkan Alya adalah putri keempat. Namun, bukan hanya Yuanita dan Alya yang sukses dalam karir mereka. Anak kedua Atit, Ruliantina Rohali, berkarir sebagai psikolog di Jakarta.

Anak ketiga, Dina Andini, saat ini menjabat corporate secretary PT Benakat Petroleum Tbk, perusahaan di bidang minyak dan gas. Si bungsu, Mohammad Kemal, berkarir di Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMigas).
Apa resep khusus untuk mendidik anak-anak hingga meraih sukses? Mendengar pertanyaan itu, Atit hanya tersenyum. ’’Tidak ada rahasia atau resep khusus. Biasa saja. Mungkin satu hal yang dulu selalu saya bersama almarhum suami (Rohali Sani) tekankan pada anak-anak saat mereka masih kecil, yakni soal akhlak. Kami ajarkan kepada mereka tentang kejujuran, empati kepada sesama, saling menolong, dan disiplin waktu,’’ tuturnya.

Saat kecil, kata Atit, Yuanita dan empat adiknya memang mendapat pendidikan agama cukup intens. Mereka diwajibkan mengikuti pengajian di Madrasah Al Azhar tiga kali seminggu. Tak hanya itu, setiap Minggu malam, Atit mendatangkan guru ngaji ke rumah untuk mendidik anak-anak mereka.
Selain itu, Yuanita dan adik-adiknya diajari disiplin. Atit menyebutkan, bangun saat subuh dan salat berjamaah sudah menjadi kebiasaan keluarga mereka. Dengan bangun pagi, tutur dia, anak-anak punya waktu luang untuk mempersiapkan kegiatan mereka.

Menurut dia, disiplin juga menjadi faktor penting untuk memupuk kemandirian anak-anak. ’’Kami tidak berasal dari keluarga kaya. Suami saya dulu PNS di Ditjen Migas Departemen ESDM (kini Kementerian ESDM). Kami ajari anak-anak agar tidak bermanja-manja, harus mandiri,’’ tegasnya.
Atit mengakui, dalam hati kecilnya terkadang juga tebersit rasa kasihan kepada anak-anaknya. Sebab, saat masih kecil, mereka harus menjalani seabrek kegiatan. Tak jarang anak-anaknya ogah-ogahan.
’’Biasa lah, anak-anak kadang bandel, kadang mogok (ngaji). Tapi, saya tidak pernah mengancam atau memukul. Sebab, begitu kita pukul, pertama, anak mungkin akan takut. (Dipukul) kedua, mereka akan angkat kepala. (Dipukul) ketiga, mereka akan melawan,’’ paparnya.

’’Karena itu, kalau boleh saya berpesan kepada semua orang tua, terutama ibu, jangan suka memukul anak. Jangan mengajarkan kekerasan. Didik mereka pelan-pelan, sentuh kesadaran mereka. Memang butuh waktu, tapi itu akan jauh lebih baik,’’ sambungnya.

Ajaran tentang nilai-nilai kesabaran di keluarga Rohali tersebut diuji saat Alya Rohali maju dalam kontes kecantikan sejagat Miss Universe pada 1996. Peristiwa itu memicu kontroversi luas di tanah air. Atit masih ingat betul suasana saat itu. ’’Saya tahu, sejak kecil Alya memang tertarik pada dunia entertainment. Kami mendukungnya. Pesan kami, ya harus jaga diri. Juga, jangan sampai meninggalkan pendidikan,’’ ujarnya.

Ketelatenan dan kesabaran Atit benar-benar membekas dalam ingatan anak-anaknya. ’’Dulu, waktu SD, SMP, dan SMA, saya menjadi pelajar teladan DKI. Sejak kecil, saya juga bisa pidato, mengaji, menari, main piano. Itu semua berkat ibu,’’ cerita perempuan 64 tahun tersebut.
Alya mungkin termasuk sedikit di antara artis yang peduli terhadap pendidikan. Selain gelar sarjana hukum dari Universitas Trisakti, Jakarta, dia melanjutkan pendidikan di program S-2 Manajemen Komunikasi FISIP Universitas Indonesia. Saat ini, dia menempuh studi kenotariatan di Universitas Indonesia. ’’Beliau adalah sosok ibu yang komplet, superwoman lah,’’ komentar Alya tentang sang ibu.

Meski kini tidak didampingi suami, Atit patut berbangga mampu membesarkan lima anaknya dan mengantar mereka sukses meraih karir. Sang suami, Rohali Sani, menghadap Yang Mahakuasa pada 11 Oktober 2009. Atit pun bisa menikmati masa tuanya dengan bahagia. Putra-putrinya memberinya 12 cucu yang lucu-lucu. (owi/c5/dwi)

keterangan foto : Yuanita Rohali saat ditemui di Kediamannya di Jl. H. Taisir No.90, Kemanggisan, Jakarta, Minggu (12/12). fotografer : fredrik tarigan (jawa pos)



Hari Ibu . . . . . . . ( 1 )

Andi Asni Patoppoi, Ibunda Trio Mallarangeng
(DR Andi Mallarangeng,  DR Rizal Mallarangeng , DR Choel Mallarangeng, dr Nina Mallarangeng )

Pingsan karena Gagal Jodohkan Andi

Membesarkan lima anak pada usia yang tergolong muda bisa jadi merupakan pekerjaan sulit. Namun, Andi Asni Patoppoi mampu membesarkan lima bersaudara Mallarangeng hingga dewasa dan sukses. Spirit sang ibu agar anak-anaknya menggapai bintang di langit menjadi salah satu motivasi bagi lima bersaudara Mallarangeng untuk terus berkembang.

’’Boleh dibilang, saya sebenarnya juga beruntung karena tidak ada anak-anak yang kepeleset (berbuat hal negatif, Red),’’ ujar Asni saat ditemui Jawa Pos di kediamannya di kawasan Jakarta Timur dua pekan lalu.

Lima anak Asni adalah Andi, Rizal, Choel, Nina, dan Zulfikar Mallarangeng. Kini, Andi Mallarangeng menjadi menteri pemuda dan olahraga (Menpora) Kabinet Indonesia Bersatu II. Sebelumnya, Andi merupakan juru bicara Presiden SBY.

Sementara itu, Rizal Mallarangeng saat ini aktif sebagai salah seorang ketua DPP Partai Golkar dan pendiri Reform Institute. Choel Mallarangeng tercatat sebagai pendiri dan CEO Fox Indonesia, lembaga konsultan politik dan strategi yang menjadi tim sukses pencalonan pemilu maupun pilkada.
Nina Mallarangeng berprofesi sebagai dokter. Dia menekuni profesinya tersebut bersama sang suami di Pekanbaru. Sementara itu, nasib Zulfikar berbeda dari empat kakaknya. Saat duduk di bangku SMA di Semarang, Jawa Tengah, dia dipanggil Sangkuasa karena penyakit leukemia yang diderita.
Dalam usianya kini yang memasuki 74 tahun, Asni masih tampak sehat. Gaya bicaranya masih lancar dan tegas. Asni menyatakan belum lama ini keluar dari rumah sakit. Itu terjadi setelah dirinya shock mengetahui kabar bahwa anak sulungnya, Andi, cedera lengan kanan. ’’Saya sangat kepikiran waktu itu sampai ikut-ikutan sakit,’’ tuturnya.

Sejak berumur 34 tahun, Asni membesarkan lima anaknya sebagai orang tua tunggal (single parent). Sang suami, Andi Mallarangeng (namanya sama dengan si anak sulung, Red), meninggal saat menjabat wali kota Parepare pada usia 36 tahun. ’’Suami saat itu terkena serangan jantung,’’ cerita Asni.

Sebagai ibu muda, Asni mengaku sempat merasa galau. Kepergian suami dirasakannya begitu cepat. Itulah yang membuat dirinya sangat khawatir terhadap masa depan lima anaknya. Saat itu, Anto, sapaan akrab Andi Mallarangeng, sebagai anak tertua, baru berusia sembilan tahun dan si bungsu Zulfikar baru berumur tiga bulan. ’’Dunia gelap sekali rasanya waktu itu,’’ kenang Asni.

Dengan statusnya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) saat itu, dia merasa tanggung jawab untuk membesarkan dan membahagiakan lima anaknya begitu berat. Namun, Asni tetap sabar menjalani.
Ayahnya, Andi Patoppoi, kemudian menawari Asni memboyong lima anaknya tersebut ke Ujungpandang (Makassar, Red). Sang ayah bersedia membantu mengasuh cucu-cucunya. ’’Saya tunggu Andi sampai naik kelas dulu, baru kemudian kami semua pindah,’’ ujarnya.

Ketika itu, Andi Patoppoi adalah orang terpandang di Ujungpandang. Dia menjadi bupati Grobogan, Jawa Tengah, pada era Presiden Soekarno. Andi juga pernah menjabat anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Selanjutnya, lima bersaudara Mallarangeng mendapat perhatian penuh dari kakeknya. Andi yang memiliki latar belakang pendidikan di Belanda itu menanamkan sikap disiplin kepada mereka. Setiap waktu harus dimanfaatkan. ’’Kalau waktunya belajar, ya harus belajar. Sebaliknya, jika waktunya bermain, ya harus bermain,’’ tutur Asni soal disiplin yang diterapkan ayahnya.
Kedisiplinan dan pendidikan yang diajarkan sang kakek itulah yang membentuk lima bersaudara Mallarangeng menjadi anak-anak mandiri. Menurut Asni, Andi dan Celi –sapaan akrab Rizal– sudah menunjukkan minatnya di bidang yang ditekuni saat itu. Di ruang belajar hingga tempat bermain, mereka selalu memperdebatkan setiap masalah yang ada. ’’Kalau tidak dilerai, mereka bisa tidak tidur,’’ ujarnya bangga.

Sebagai kakak tertua, kata Asni, Andi memang bisa menjadi contoh bagi empat adiknya. Namun, untuk urusan berkelahi, Celi-lah yang paling jagoan. Asni menceritakan, Andi acapkali diganggu teman-temannya di sekolah atau di lingkungan bermain. ’’Kalau sudah seperti itu, Celi yang maju. Badannya sejak kecil paling besar,’’ ungkapnya lantas tertawa.

Selain menanamkan disiplin, Asni menumbuhkan sikap jujur pada lima anaknya melalui olahraga. Hobi olahraga tenis yang dijalani Asni ditularkan kepada anak-anaknya. Andi, Rizal, maupun Choel ternyata tertarik menggeluti hobi sang ibu. ’’Pertama, saya ajak mereka jadi pengambil bola dulu. Lama-kelamaan, mereka senang main tenis sendiri,’’ ujarnya.

Mengapa menanamkan sikap jujur lewat olahraga? Asni menilai, olahraga memotivasi orang untuk selalu jujur. Jika bola masuk, tentu mendapat poin. Sebaliknya, jika bola keluar, setiap orang harus menerima bahwa mereka gagal mendapat poin. ’’Di olahraga, orang itu kan harus to the point. Fighting (terus berjuang, Red) supaya menang. Itu penting agar belajar jujur dalam kehidupan,’’ tegasnya.
Hobi olahraga tenis itu ternyata ditekuni serius oleh Celi. Setelah lulus SD, dia kemudian direkrut SMP Ragunan, Jakarta, untuk mendalami tenis sambil belajar di sana. Sementara itu, setelah lulus SMP, Andi minta disekolahkan di SMA Jogja. ’’Anto waktu itu ingin mengikuti jejak ayahnya di UGM (Universitas Gadjah Mada),’’ jelas Asni.

Setelah lulus dari Ragunan, Celi aktif di berbagai turnamen tenis. Menurut Asni, Celi ikut turnamen beberapa kali dan menjadi juara. Namun, lama-kelamaan motivasi Celi untuk belajar menurun. Dia tak kunjung melanjutkan kuliah setelah lulus SMA. ’’Waktu itu si Anto yang protes. Ya, sudah. Saya lalu ke Jakarta nyusul Celi,’’ ceritanya. Celi kemudian menuruti ibunya untuk ikut melanjutkan kuliah ke UGM.

Selama masa remaja, lanjut Asni, anak-anaknya tidak pernah bercerita soal pacar mereka. Itulah yang memunculkan cerita saat Andi sudah menginjak dewasa. Setelah Andi lulus dari UGM, Asni berniat menjodohkannya dengan perempuan yang notabene masih kerabat. ’’Anto, waktu saya telepon, mau-mau saja. Ya sudah, kami jodohkan saja,’’ kata Asni.

Ternyata, Andi sebetulnya sudah memiliki pacar. Begitu tiba di Makassar, Andi justru mengungkapkan bahwa sebenarnya dirinya ingin menikah dengan Vitri Cahyaningsih, gadis Jawa yang kini menjadi istrinya. Asni yang ketika itu sudah mempersiapkan seluruh proses pernikahan mengaku kaget. ’’Saya langsung pingsan setelah Anto bilang (sudah punya pacar dan ingin menikahinya, Red),’’ ujarnya.
Asni sempat tidak rela. Namun, ayahnya kemudian menyarankan supaya Asni merelakan Andi menikah dengan gadis pilihannya. Persiapan pernikahan pun akhirnya dipindah ke Jogjakarta, tempat tinggal calon istri Andi. ’’Ternyata pilihannya tepat,’’ tutur Asni bangga.

Kini, sebagai ibu sekaligus nenek sepuluh cucu, Asni sudah merasakan kenyamanan. Anak-anaknya melarang sang ibu bekerja. Lantas, mereka membelikan rumah di sebuah kawasan di Jakarta Timur. Setiap minggu Asni bergiliran mengunjungi anak-anaknya di rumah atau tempat kerja mereka. ’’Anto paling suka coto (makanan tradisional coto makassar), Celi suka bakso. Saya pasti bawakan jika mereka minta,’’ ungkapnya.

Karena kesibukan mereka, waktu berkumpul pun menjadi jarang. Jika tidak saat hari raya Idul Fitri, keluarga besar Mallarangeng baru bisa berkumpul ketika Asni merayakan ulang tahun setiap 31 Mei. Karena itulah, Asni berinisiatif untuk mengunjungi anak-anaknya secara bergiliran. Bagi dia, orang tua harus lebih aktif. Sebab, pada masa tua, dirinya justru memiliki waktu lebih banyak. ’’Anak-anak kita kan sibuk. Jadi, kita yang harus aktif,’’ tegasnya. (bay/c5/dwi)

keterangan foto :
Andi Asni Patoppoi Mallarangeng di kediamanya, Pulo Mas, Jakarta Utara (10/12).
fotografer : Agus Wahyudi (jawa pos)


Prof. DR. Mahfud MD : aduhhhhhh . . .

Ketua MK Mahfud MD saat jumpa pers di Kantornya, jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (21/12/2010). Mahfud MD menyetujui pembentukan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) untuk mengungkap dugaan suap terhadap hakim MK, Akil Mochtar. Pembentukan MKH ini sama sekali bukan karena laporan tim investigasi. ( fotografer : raka denny / jawapos )

Kamis, 16 Desember 2010

Kisah Para Mantan TKI yang Memanen Sukses di Tanah Air





keterangan foto : nurhayati, imam (songkok haji), anton
fotografer :  zulham mubarak (jawa pos)

Dari Babysitter, Nuryati Jadi Dosen, Imam Dirikan Pasar

Menjadi buruh migran tak membuat 12 eks tenaga kerja Indonesia (TKI) ini patah semangat untuk terus berkarya. Inilah kisah sukses mereka setelah kembali ke tanah air.

ZULHAM MUBARAK, Jakarta

’’Saya hidup dalam mimpi,’’ kata Nuryati Solapari, 31, mantan TKI asal Subang.
Tangan mantan babysitter di Arab Saudi itu bergetar. Matanya berlinang ketika didaulat berpidato singkat di Kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra), Jalan Medan Merdeka, Jakarta, kemarin (16/12).

Nuryati merupakan seorang di antara 12 finalis Indonesia Migrant Worker Award 2010, ajang penghargaan bagi mantan TKI yang dinilai sukses setelah pulang ke tanah air. Kemenko Kesra dan UKM Center Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia akan memilih tiga eks TKI yang paling berprestasi dalam tiga kategori.

Tiga kategori itu adalah penghargaan Purna-TKI Wirausaha untuk TKI yang beralih menjadi pengusaha, Remitansi Produktif untuk keluarga TKI yang berhasil memanfaatkan uang kiriman sebagai kegiatan produktif, serta Purna-TKI Motivator untuk mereka yang patut menjadi teladan bagi para buruh migran.

Selain Nuryati yang kini berprofesi sebagai dosen, finalis lainnya adalah Imam Nahrowi (membangun pasar TKI), Mahfud (guru bahasa Korea dan petani), Nanang Dwi Saputro (instruktur pelatihan dan produsen sol sepatu), Septiana (pengusaha bengkel motor dan ruko), dan Anton (pengusaha kerajinan tangan).

Kemudian, Henny Yusiati (pengusaha alat tulis kantor), Siti Maryam (pengusaha video shooting, salon, dan warung), Siti Masrofah (pemilik jasa pengiriman tenaga kerja), Wahyudin (eksporter mebel), Fatimah Sirajudin (usaha pertanian, peternakan, dan jasa persewaan TV kabel), serta Zaharuddin Ahmad (pengusaha mebel dan pertanian).

Di antara 12 finalis tersebut, kisah Nuryati terbilang paling unik dan dramatis. Wanita berjilbab yang kini menjadi dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang, Banten, itu semula merupakan TKW (tenaga kerja wanita) di Arab Saudi. Selama tiga tahun (1998–2001) dia rela menjadi babysitter.

Dia mengaku tak pernah membayangkan akhirnya menjadi pembantu rumah tangga di tanah rantau setelah lulus SMA. Sebab, perempuan kelahiran 2 Juni 1979 itu adalah lulusan terbaik SMA Prisma, Serang, Banten. Bahkan, sejak kelas satu dia langganan juara dan mendapat beasiswa.
Namun, kenyataan berkata lain. Orang tuanya tak punya biaya untuk menguliahkan dia. Apalagi lima adik Nuryati juga harus bersekolah. Penghasilan ayahnya yang merupakan pegawai rendahan tak mampu untuk membiayai kuliah Nuryati.
’’Setelah mempertimbangkan masak-masak, akhirnya saya bulatkan tekad untuk berangkat menjadi TKI di Arab Saudi,’’ terang istri Agus Setiawan itu.

Tapi, Nuryati tidak berangkat dengan kepala kosong. Dia memendam impian untuk bisa berkuliah setelah pulang dari mengumpulkan uang dari pekerjaannya di Arab. Karena itu, hampir separo isi koper yang dibawa ke Arab adalah buku-buku pelajaran SMA serta buku pengetahuan umum. Dia ingin tetap bisa terus belajar meski tidak di bangku formal.

’’Untuk memuluskan proses pekerjaan di Arab, saya dipaksa mengaku sebagai lulusan SD,’’ tuturnya.
Beruntung, Nuryati akhirnya diterima bekerja di keluarga dokter. Bahkan, karena dinilai well educated, dia kerap diminta mendampingi putri sang majikan saat belajar dan mengerjakan tugas sekolah. Dia juga mendapat izin tidur siang dan meluangkan waktu untuk membaca buku.

Selama bekerja di Arab, Nuryati berusaha berdisiplin dalam berbagai hal. Termasuk dalam pembukuan gaji yang dia terima. Bahkan, dia selalu meminta kuitansi pembayaran gaji yang ditandatangani sang majikan. Dengan cara begitu, dia bisa tahu berapa gaji sebenarnya yang diterima setiap bulan.
Selain itu, untuk keselamatan pribadi, nomor-nomor telepon penting, seperti nomor konsulat dan kedutaan dicatatnya dengan sulaman berkode khusus di kerudung yang selalu dipakainya ke mana-mana. Angka nol, misalnya, ditulis dengan kode matahari. Angka 1 dengan kode pohon kelapa, dan seterusnya. ’’Alhamdulilah, hal yang saya khawatirkan selama bekerja di sana tidak menimpa saya,’’ terangnya.

Setelah dua tahun dan 8 bulan bekerja, Nuryati secara tidak sengaja menyaksikan acara wisuda di Universitas Al Azhar di televisi lokal. Hasrat untuk pulang pun menggebu-gebu. Ibu Bintang Hafizh Setiawan, 4, dan Bunga Qarira Lituhayu, 1, itu pun berpamitan kepada majikan untuk pulang ke Indonesia.

Hanya tiga hari setelah mendarat kembali di tanah air, Nuryati langsung mengikuti tes masuk Fakultas Hukum Universitas Tirtayasa. Dia pun dinyatakan lulus.
Perjuangan dia belum selesai sampai di situ. Sambil kuliah, dia bekerja di Pizza Hut Cilegon dan menjajakan makanan katering. Dia pun harus belajar secara sembunyi-sembunyi di toilet Pizza Hut. ’’Setiap kali saya sedang belajar, saya taruh tanda ’toilet dalam perbaikan’ agar tidak mendapat teguran atasan,’’ kenangnya lantas tersenyum.

Kecerdasan dan ketekunan yang dijaganya membuat Nuryati mampu lulus dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,7 dan meraih predikat cum laude. Dia lulus dalam waktu tiga tahun. ’’Saya kemudian menjadi satu-satunya sarjana di kampung. Hidup saya pun berubah drastis dan menyenangkan,’’ terangnya.

Empat tahun kemudian, Nuryati menyabet gelar master bidang hukum dari Universitas Jayabaya, Jakarta. Nuryati berhasil meraih sertifikat advokat dari Persatuan Advokat Indonesia, namun kemudian memutuskan untuk mengabdi di almamaternya, Untirta, sebagai dosen.

Berkat kisah perjuangannya yang berliku, Nuryati kerap mendapat undangan menjadi pembicara dalam seminar-seminar tentang ketenagakerjaan. ’’Sekarang saya menempuh studi doktoral di Universitas Padjajaran Bandung,’’ kata Nuryati yang kini juga aktif dalam gerakan advokasi hak-hak TKI.
Cerita Imam Nahrowi lain lagi. Mantan TKI Korea Selatan itu kini menjadi pengusaha sukses di kampung halamannya, Way Jepara, Lampung Timur. Imam memiliki toko bahan bangunan, ruko, dan aset lain senilai total Rp 2,1 miliar. Namun, yang membuatnya tersohor adalah suksesnya mendirikan pasar TKI di Labuhan Ratu, Lampung Timur. Dia mendirikan pasar dengan 70 toko yang semua penjualnya adalah mantan TKI.

’’Pasar itu untuk memotivasi mereka agar tidak lagi menjadi TKI dan sukses berwirausaha,’’ katanya.
Sukses pria yang orang tuanya berasal dari Blitar itu bisa menjadi contoh dan pelecut para TKI yang ingin sukses di kampung halaman. Pada 2000, Imam bekerja pada perusahaan tekstik di Korsel. Pria yang kini menjabat ketua umum Gerakan Pemuda Anshor Cabang Lampung Timur itu dikontrak dua tahun hingga 2002.

Selama bekerja di Korea, Imam mendapatkan gaji Rp 5 juta per bulan. Sebagian gaji tersebut dia tabung, sebagian dia kirimkan untuk modal usaha di kampung.
Pada akhir 2002 Imam menyelesaikan kontrak kerjanya dan memilih pulang ke Lampung. Dengan tabungan Rp 50 juta, Imam mendirikan toko alat bangunan. Keuletannya dalam bekerja membuat keuntungan berlipat dan kepercayaan konsumen naik tajam. Selain masyarakat umum, sebagian besar pelanggan toko Imam adalah mantan TKI dan keluarga TKI. Kini, tokonya beromzet Rp 140 juta per tiga bulan.

Tak berhenti sampai di situ, Imam pun terpanggil untuk mendorong TKI lain menggapai sukses seperti dirinya. Karena itu, dia mendirikan pasar TKI. Pasar itu didirikan khusus untuk TKI dan harus dicicil dengan uang kiriman TKI dari luar negeri. Tujuannya, ’’memaksa’’ para TKI tidak menghabiskan uang hasil jerih payahnya untuk bahan konsumsi semata, tapi juga untuk berwirausaha setelah pulang nanti.
Imam prihatin dengan sikap sebagian besar TKI. Menurut dia, ketika masih bekerja di luar negeri mereka membangun rumah besar dan mentereng di kampung. Namun, beberapa tahun setelahnya mereka mulai menjual hartanya karena terlilit utang. ’’Karena itu, saya dirikan pasar TKI. Ini saya dedikasikan untuk memotivasi para TKI agar ingat masa depannya setelah pulang nanti,’’ tandasnya. (*/c2/ari)

Rabu, 15 Desember 2010

Doktor Honoris Causa pertama dari ITS Surabaya






keterangan foto :
Hermawan bersama Rektor UI dan Rektor ITS.
fotografer : Bayu Putra (Jawa Pos)


Hermawan Raih Doktor
Honoris Causa dari ITS

SURABAYA – Wajah guru marketing Hermawan Kartajaya tampak semringah saat Rektor ITS Prof Ir Priyo Suprobo MS PhD mengalungkan medali dan  memberikan piagam kepada dia kemarin (15/12). Tokoh kelahiran Surabaya, 18 November 1947, itu kemarin menerima doktor kehormatan atau doktor honoris causa (Dr HC) di bidang marketing atau pemasaran dalam pengukuhan di Graha Sepuluh Nopember, Surabaya.

Menurut Probo, panggilan akrab Priyo Suprobo, penganugerahan gelar itu bukannya tanpa alasan. Gelar tersebut diusulkan oleh Jurusan Magister Manajemen Teknik (MMT) ITS. Selain karena menjadi salah seorang pengajar di MMT, penganugerahan tersebut didasarkan pada kualitas Hermawan yang mendunia.

’’Ini gelar pertama (doktor honoris causa) yang diberikan ITS sejak berdiri,’’ ujar Probo. Pemberian gelar itu juga masuk rangkaian dari Dies Natalis Ke-50 ITS. Meski perguruan tinggi di Surabaya tersebut berdiri pada 1957, dies natalis (ulang tahun) pertama ditetapkan 10 November 1960.
Hermawan juga pernah menimba ilmu di Jurusan Teknik Elektro ITS, tetapi keluar sebelum lulus. Dia lantas meraih sarjana dari Universitas Udayana, Denpasar, dan master dari University of Strathclyde Graduate School of Business, Skotlandia, pada 1995.

CEO dan pendiri MarkPlus Inc. itu lalu dinobatkan sebagai salah seorang di antara 50 Gurus Who Have Shaped the Future of Marketing oleh The Chartered Institute of Marketing, Inggris (CIM-UK). Hermawan menjadi salah seorang di antara dua tokoh Asia yang masuk daftar tersebut. Tokoh lain adalah Kenichi Ohmae dari Jepang.

Sebelum acara penganugerahan gelar, Hermawan memberikan orasi ilmiah yang berjudul Evolusi Pemasaran di Tengah Perubahan Lanskap di Era New Wave. Dalam orasinya, Hermawan menekankan kepada konsep marketing 3.0 yang disusunnya. Yakni, konsep marketing dengan human spirit (semangat kemanusiaan) yang menggabungkan IQ, EQ, dan SQ. Dalam konsep itu, terdapat tiga unsur inti. Yakni, simplification, redefinition, dan futurization.

Simplifikasi menekankan bahwa marketing tidak boleh menghamburkan sumber daya untuk sesuatu yang bukan menjadi target pasar. Ada empat unsur dalam konsep tersebut, yakni company (perusahaan), customer (pelanggan), change (perubahan), dan competitor (pesaing).

Untuk masa depan, kata Hermawan, marketing berpatokan kepada kejujuran. ’’Saya dapat inspirasi dari Nabi Muhammad. Beliau adalah nabi yang (sangat menguasai) marketing,’’ tuturnya. Alasannya, Nabi Muhammad sukses dalam berdagang karena sangat jujur. ’’Kejujuran sangat penting dalam marketing saat ini. Di masa depan, marketer yang tidak jujur akan cepat mati,’’ tambahnya.
Hermawan lalu bercerita, pada 1965 dia kuliah di Jurusan Teknik Elektro ITS dalam keadaan melarat. Karena itu, dia nyambi mengajar di SMA-nya, yakni SMAK St. Louis I Surabaya. Namun, pada tahun kelima, dia memutuskan berhenti kuliah karena kesibukan mengajar. ’’Setelah 45 tahun, baru sekarang saya diwisuda,’’ ujarnya, lantas disambut tawa hadirin.

Hermawan sempat menunjukkan di layar petikan testimoni pakar pemasaran Philip Kotler atas gelar Dr HC yang diterimanya. ’’Intinya, (menurut Kotler) ITS lebih hebat daripada Harvard (perguruan tinggi di AS, Harvard University). Harvard tidak berani memberikan gelar (doktor honoris causa) kepada Bill Gates (chairman Microsoft Corp., Red),’’ ujarnya. Padahal, Bill Gates protolan Harvard dan kemudian mendirikan Microsoft. Pernyataan Hermawan itu pun disambut tepuk tangan para undangan.

Direktur Nanyang Technopreneurship Center NTU (Nanyang Technological University), Singapura, Hooi Den Huan yang kemarin juga hadir dalam acara itu membenarkan. Menurut dia, ITS jelas lebih berani daripada Harvard karena memberikan gelar kepada orang yang pernah tidak selesai kuliah di sana. Hooi menambahkan, di lingkungan akademis, kebenaran tidak pernah membedakan agama, etnis, dan status seseorang.

Acara penganugerahan gelar itu dihadiri sekitar 700 undangan. Di antaranya, terlihat pengusaha dan bos Grup Maspion Alim Markus, pengusaha Martha Tilaar, dan Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri. Musikus grup band Padi, Satriyo Yudi Wahono alias Piyu, juga hadir. Ketika memberikan sambutan, Gumilar memuji Hermawan karena mampu menyampaikan teori dan praktik marketing secara simpel.

Selesai acara penganugerahan gelar, Hermawan menandatangani sampul hari pertama yang dibuat PT Pos Indonesia. Menurut Kepala Divisi Regional VII PT Pos Indonesia Junaidi, sampul hari pertama itu adalah bentuk penghargaan perusahaannya kepada orang-orang tertentu yang dianggap berjasa. ’’Selain itu, kami sudah menjalin kerja sama dengan MarkPlus,’’ ujarnya.

Saat jumpa pers setelah pengukuhan, Hermawan mengatakan bahwa dirinya akan membuka museum marketing pertama di dunia. Museum seluas 300 meter persegi tersebut berlokasi di Ubud, Bali. ’’Itu sumbangan dari keluarga kerajaan Ubud,’’ terangnya.

Museum itu dilengkapi banyak komputer yang berisikan profil dan cerita mengenai perusahaan-perusahaan yang menerapkan konsep marketing 3.0. Rencananya, museum tersebut diresmikan pada 27 Mei 2011. Hermawan berharap, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa meresmikan museum itu. (byu/c4/dwi)

Senin, 13 Desember 2010

Cak Karomul yang Saya Kenal ( alumni ITS )



Kamis, 11 November 2010 16:18

Taicing: Cak Karomul, kendati mengidap kanker pankreas yang semestinya mengharuskan dia banyak beristirahat, masih sempat beberapa kali memimpin rapat di Sekretariat IKA ITS.

Kutipan: “Aku mbeber kloso bareng. Njemput khotib goncengan ambek Pak Nuh.”

Siapakah yang memberi nama acara IKA ITS Business Summit 2010? Tak lain adalah Cak Karomul Wachid. Begini ceritanya. Cak Sugiarto, pengurus pusat IKA ITS yang membidangi urusan bisnis alumni, berencana mengadakan sebuah  pertemuan antaralumni yang bisa menguatkan jejaring bisnis  alumni. Dia pun lantas berdiskusi dengan Cak Karomul selaku Wakil Ketua Pengurus Pusat IKA ITS. Sepakatlah diadakan rapat untuk mematangkan ide Cak Sugiarto tersebut.

Nah, dalam rapat yang berlangsung pada tahun 2009 itulah Cak Karomul mengusulkan nama acara tersebut dengan nama IKA ITS Business Summit. Cak Karomul, kendati mengidap kanker pankreas yang semestinya mengharuskan dia banyak beristirahat, sempat beberapa kali memimpin rapat. Saat itu, Cak Karomul sudah harus menjalani kemoterapi seminggu sekali.

Kalau harus datang ke Sekretariat IKA ITS di Tebet, istrinya dengan setia mendampingi. Istrinya pula yang mengingatkan Cak Karomul untuk segera pulang jika hari sudah mulai larut, karena khawatir kondisinya drop.

Banyak peserta rapat yang baru tahu kalau Cak Karomul sakit kanker, kaget ketika tahu bobotnya menyusut drastis. Berat badan Cak Karomul sebelum sakit di atas 100 kilogram. Setelah terkena kanker, bobotnya menyut hanya berkisar di 60 kilogram. Soal bobotnya ini, Cak Karomul masih sempat berkelakar. “Untung abotku ga sak Thowi. Nek sak Thowi, karek balung thok awakku.”

Jauh sebelum terlibat dalam rapat persiapan IKA ITS Bussiness Summit, Cak Karomul masih sempat pula mengurus ICT Outlook 2009. ICT Outlook adalah kegiatan rutin tiap tahun yang diselenggarakan atas kerja sama Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan TENOV, sebuah lembaga kajian kebijakan teknologi dan industri, yang pendiriannya difasilitasi oleh IKA ITS.

ICT Outlook digelar sejak 2008. Motor utamanya memang Cak Karomul. Sebelum sakit, untuk mengurus acara ini, Cak Karomul sempat diminta rapat pada pukul 12 malam di rumah dinas Cak Nuh. Kebetulan saya diminta menemani Cak Karomul bersama Hartono (alumni Kimia FMIPA).  Hartono memang yang punya gagasan awal untuk mengadakan ICT Outlook.

Pada ICT Outlook 2009, yang diselenggarakan pada 19 Februari 2009, dengan tubuh yang telah mengurus Cak Karomul masih kuat memberikan sambutan selaku Ketua Panitia, di depan peserta seminar yang dibuka oleh Muhammad Nuh, Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu.

Cak Karomul juga masih sempat hadir dalam rapat-rapat persiapan pendirian Koperasi Syariah Tenov Bhakti Nusantara. Ada kejadian lumayan lucu. Untuk keperluan pendirian, para pendiri harus mengumpulkan KTP. Nah, dari KTP inilah banyak yang baru tahu bahwa nama lengkap Cak Karomul cukup unik yakni Karomul Wachid Suro Djogja. Cak Karomul sering hanya menyingkat namanya menjadi Karomul Wachid SD.

Ketika kesehatannya kian memburuk, otomatis Cak Karomul tak bisa banyak  terlibat dalam rapat-rapat IKA ITS, termasuk dalam mempersiapkan IKA ITS Business Summit 2010.  Semua pengurus maklum dengan kondisinya. Cak Karomul juga sempat berobat ke Guangzhou,China. Saya sempat chatting menanyakan kabarnya selama di China. Di atas pembaringan dengan selang infus yang menancap di tangannya, seperti yang saya lihat dalam webcam, Cak Karomul mengobrol melalui sarana yahoo messenger. “Dungakno yo,” tulisnya dalam messenger.

Sepulang dari China kesehatannya sempat membaik. Namun, sekitar awal Februari 2010 Cak Karomul sempat SMS ke sejumlah teman-temannya, yang mengabarkan hasil kemoterapinya yang tidak terlalu menggembirakan. Dia meminta teman-temannya untuk mendoakan kesembuhannya.

Pada 12 Februari sore, saya sempat menjenguk Cak Karomul di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Kelapa Gading. Ada istri dan ibu mertua Cak Karomul yang menjaga. Sang Ibu tengah memandang televisi dengan tatapan kosong.

Sedangkan istrinya sibuk melayani Cak Karomul yang memprotes seorang perawat yang tengah memasang infus untuknya. Cak Karomul sebenarnya tak mau diinfus, karena cairan akan lebih menekan empedunya. Sedangkan, perawat diperintahkan dokter untuk menginfus karena Cak Karomul kekurangan cairan. “Nanti kalau ada apa-apa sampeyan yang tanggung jawab ya,” tutur Cak Karomul dengan nafas agak tersengal.

Kebetulan pada jam bezuk itu, saya bersama Pak Harjanto (alumni Elektro, mantan Direktur PT INTI), tak banyak mengobrol dengan Cak Karomul. Kami lebih banyak melihat saja. Ketika kami pamit, Cak Karomul berujar,”Sepurane nek ono salah. Tulung didungakno ae yo. Iki usaha wis ga kurang-kurang, wis sampek berobat nang Chino barang,” katanya.

Sesampai di rumah, pada malam harinya, saya mendapat SMS dari istri Cak Karomul yang diteruskan oleh Cak Soni Sontani (Alumni Teknik Fisika). Isinya: "AWW. Mhn doa dari teman-teman, Mas Karom sdg kritis dirawat di imc RS
Mitra Keluarga Kelapa Gading 22:27:30". Malam itu juga saya mendapat kabar, Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh, malam itu juga, di tengah kesibukannya, datang ke rumah sakit.

Cak Nuh memang akrab dengan Cak Karomul sejak mahasiswa. “Kalau kemana-mana saya sering dibonceng Vespa oleh Cak Karomul,” kata Cak Nuh bercerita, saat acara buka puasa di rumah dinasnya, menjelang Lebaran lalu. Cak Nuh juga mengungkapkan bahwa Cak Karomul adalah putra kiai besar, Prof. KH Syaffii Karim. Ayah Cak Karomul adalah mantan Rektor IAIN Sunan Ampel.

Cak Karomul pernah bercerita, pada masa mahasiswa, dia dan Cak Nuh sering ikut mengurus pelaksanaan salat Jumat. “Aku mbeber kloso bareng. Njemput khotib goncengan ambek Pak Nuh.”

Pada 13 Februari, bersama teman-teman dari Bandung (Cak Feri, Cak Iwan, dan Cak Januari), saya berencana bezuk Cak Karomul lagi. Ketika teman-teman dari Bandung masih di tol Cipularang, datanglah SMS yang mengabarkan bahwa Cak Karomul telah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Cak Agus Lengky langsung mengabarkannya di milis alumni ITS. Isinya: “Berat banget nulis posting ini.
Kawan, konco, sahabat, aktivis mbuh opo maneh julukane..., Cak Karomul Wachid, siang ini, telah meninggalkan kita selamanya. Kembali ke haribaan sang kuasa. Ya Allah, terimalah segala amal kebaikannya, terimalah di sisimu, ampunilah segala khilafnya, angkatlah derajatnya. Tabahkanlah yang ditinggalkannya. Amin yaa robbal aalamiin.”

Setelah mengabari sejumlah teman, termasuk rombongan dari Bandung, saya bersiap meluncur ke rumah duka di kawasan Depok. Alhamdulillah, banyak handai taulan dan teman-teman alumni yang ikut menyalati almarhum.

Teman-teman alumni yang karena waktu dan jarak, ada yang memilih langsung ke taman pemakaman umum Jeruk Purut, menunggu pemakaman. Akhirnya pemakaman berlangsung menjelang petang.

Saya mengenal dekat Cak Karomul barulah pada 2004, tepatnya ketika mulai menjadi pengurus IKA ITS di bawah kepemimpinan Cak Kristiono. Pada periode ini Cak Karomul menjadi Sekteraris Jenderal.

Mantan Direktur Utama PT Wahana Bhakti Insani (WBI), perusahaan yang difasilitasi pendiriannya oleh IKA ITS ini, pernah bercerita awal mula aktif di IKA ITS. “Saya aktif gara-gara Cak Djawahir,” tuturnya.

Kok bisa?. Begini ceritanya. Pada masa menjelang reformasi, 1997, Cak Karomul ingin melihat-lihat suasana di gedung DPR/MPR yang tengah diduduki mahasiswa. Di depan pagar gedung tersebut, ada spanduk solidaritas alumni ITS. Ada sosok berambut gondrong di bawah spanduk. “Iki alumni ITS yo...saya ikut gabung ya,” kata Cak Karomul sambil bersalaman dengan pria berambut gondrong, yang belakangan dikenalnya dengan nama Cak Jawahir. Sejak itulah Cak Karomul menjadi salah satu motor utama IKA ITS.

Ning Karina (alumni Teknik Sipil) mencatat: ....Dan juga beberapa Cak dan Ning alumni yang dulu (kira-kira era th 97 -awal 2000an) sama-sama berjuang membuat IKA ITS berdiri dan tetap beraktivitas - meskipun tanpa ada tunjangan/sponsor dan lain-lain,  dengan mengedepankan kepentingan bersama, antara lain Cak Djoko Eko, Cak Bambang Sebul, alm Cak Karomul, alm Cak Kuncoro, Cak Pudjo, Cak Rudy, Cak Sony, Cak Sentot, Cak Zoher, Cak Boy, Cak Evo, Cak Jogyo, Cak Helmi, Cak Imron, Cak Rasdi, dan lain-lain.

Tempat meeting berpindah-pindah dari kantor yang satu ke kantor yang lain, paling favorit kantor Cak Djoko Eko dan alm. Cak Karomul dengan menu tetap kopi, teh, pisang goreng, ubi goreng dan kacang goreng. Sekali-kali nasi goreng.”

Dedikasi Cak Karomul untuk ITS dan IKA ITS memang tak diragukan. Hebatnya, dia masih bisa aktif di organisasi sosial lainnya. Cak Karomul adalah Presiden Kicau Mania dan Presiden Koi Owners of Indonesia Society.  “Sebenarnya pelihara binatang memang hobi saya sejak sekolah dasar. Saat itu saya memelihara burung, ikan, dan kucing. Karena keterbatasan dana, yang dipelihara adalah burung murah semacam kutilang dan gelatik. Adapun ikan, saya pelihara ikan-ikan kecil di akuarium. Kucing pun jenis kucing kampung biasa. Keluarga tak melarang hobi saya ini. Memang hanya saya di keluarga kami yang punya hobi ini,” kata Cak Karomul dalam wawancaranya dengan Jurnal Nasional edisi 14 Juli 2007.

Cak Karomul juga aktif dalam paguyuban alumni sekolah bisnis Prasetya Mulya. Sebelum meninggal dia sempat mengurus pembuatan buku alumni Prasetya Mulya.

Dengan luasnya pergaulannya itu, tak heran jika banyak yang merasa kehilangan Cak Karomul. Tentu saja yang paling kehilangan dan selalu merindukannya adalah istri dan dua anak Cak Karomul, yang salah satunya masih kuliah di Jurusan Desain Produk ITS.

Kerinduan itu tergambang pada postingan Sang istri, Nana Sapto Putri, di wall facebook Cak Karomul. Bu Nana menulis pada 6 Oktober 2010 : ”Honey maafin aku ya ... tadi siang pulang dari servis mobil ada kiriman majalah Alumi Prasetiya Mulya covernya ada gambar kamu & aku baca di dalam majalah aku jadi inget kamu & tak terasa air mata keluar membasahi pipi. Ya Allah Ampunilah dosa suamiku ya Allah terimalah Amal Ibadah & lapangkanlah alam kuburnya. Hanya doa yang bisa melepas rindu ku pada mu honey. Amin”

Selamat jalan Cak Karomul. Jasa-jasamu untuk ITS dan IKA ITS akan selalu kami kenang.

Thonthowi Dj (alumni Kimia FMIPA - wartawan koran TEMPO)

Biodata
Nama :Karomul Wachid SD, MM.
Tempat/Tanggal Lahir :Jogjakarta, February 23, 1962
Riwayat Pekerjaan
1. PT Wahana Bhakti Insani : 2007 - 2008
2. Asia Netcom (Asia Global Crossing) 2002 - 2006: Country Manager
3. PT Tigatra Telematindo 2001 - 2002: Operation Director
4. Global One Communications, Inc 1998 - 2001: Sales Director
5. AT&T Asia/Pacific, Inc 1996 - 1998: Director, 1994 - 1996: Senior Account Manager, 1992 - 1994: Sales & Service Manager,
6. PT Kirana Yudha Teknik 1990 - 1992: Project Manager
7. PT Radio Frequency Communications 1988 - 1990: Sales Engineer, 1986 - 1988: Engineer
Riwayat Pendidikan
1995 - 1996: Lulusan Magister Manajemen Prasetya Mulya
1981 - 1986: Lulusan Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya

Kamis, 09 Desember 2010

Dunia Sementara Akhirat Selamanya . . .

Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al Qur’an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit.

Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa’at, ternyata Allah memberi izin dia untuk memberi syafa’at sejumlah qobilah Robi’ah dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan karenanya. Dia adalah “Uwais al-Qarni”. Ia tak dikenal banyak orang dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai macam umpatan dan penghinaan lainnya.

Seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya, memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik, karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya seraya berkata : “Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari mencuri”.  

Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya. Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya. 

Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang  terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam.  

Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya.

Di ceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau SAW, sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat ? 

Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata : “Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.

Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli  penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya. Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatanganNabi SAW dari medan perang. 

Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas pulang”. Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan haru.

Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rosulullah SAW, sayyidatina ‘Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi sayyidatina ‘Aisyah r.a., memang benar ada yang mencari Nabi SAW dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Rosulullah SAW bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau SAW, memandang kepada  sayyidina Ali k.w. dan sayyidina Umar r.a. dan bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi”.

Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi SAW wafat, hingga kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi SAW. tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali k.w. untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka. Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka.

Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. 

Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qorni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil  bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW. Memang benar ! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais. Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?” Uwais kemudian berkata: “Nama saya Uwais al-Qorni”. Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. 

Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali k.w. memohon agar Uwais berkenan mendo’akan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: “Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”. Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan istighfar dari anda”. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi”. 
 
Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya. Tapi ada seorang lelaki pernah bertemu dan di tolong oleh Uwais , waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus dengan kencang. Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat. Pada saat itu, kami melihat seorang laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami memanggilnya. Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan sholat di atas air. 

 Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu. “Wahai waliyullah,” Tolonglah kami !” tetapi lelaki itu tidak menoleh. Lalu kami berseru lagi,” Demi Zat yang telah memberimu kekuatan beribadah, tolonglah kami!”Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata: “Apa yang terjadi ?” “Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan dihantam ombak ?”tanya kami. “Dekatkanlah diri kalian pada Allah ! “katanya. “Kami telah melakukannya.” “Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca bismillahirrohmaanirrohiim!” Kami pun keluar dari kapal satu persatu dan berkumpul di dekat itu. Pada saat itu jumlah kami lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami berikut isinya tenggelam ke dasar laut. Lalu orang itu berkata pada kami ,”Tak apalah harta kalian menjadi korban asalkan kalian semua selamat”. “Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah nama Tuan ? “Tanya kami. “Uwais al-Qorni”. Jawabnya dengan singkat. Kemudian kami berkata lagi kepadanya, “Sesungguhnya harta yang ada di kapal tersebut adalah milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim oleh orang Mesir.” “Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian akan membagi-bagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?” tanyanya.”Ya,”jawab kami. Orang itu pun melaksanakan sholat dua rakaat di atas air, lalu berdo’a. Setelah Uwais al-Qorni mengucap salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menumpanginya dan meneruskan perjalanan. Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal.

Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya. Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, “ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa pemerintahan sayyidina Umar r.a.) 

Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya : “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qorni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qorni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi terkenal di langit.

diambil dari content sebuah blog milik seorang muslimah

Minggu, 05 Desember 2010

Ayatullah Khomeini . . . .

... MENGENANG AYATULLAH KHOMEINI ....
Sebuah kisah keteladanan...


Ayatullah Khomeini, terlahir pada 24 September 1902.
Orang mengenangnya sebagai pemimpin sebuah revolusi di Iran paling
spektakuler di abad 20 ini,
yang hidup sehagai 'zahid' sejati.
Orang-orang dekatnya mengenal sang Ayatullah sebagai seseorang yang hidup
amat sederhana.

Bahkan di akhir hidupnya, tercatat bahwa harta peninggalan almarhum
hanyalah berupa
buku-buku, dan tak punya pemilikan pribadi. Uang kas jumlahnya nol.
Beberapa alat kecil untuk keperluan hidup sehari-hari yang ada di rumahnya
adalah milik istrinya.

Dua karpet bekas yang ada bukanlah milik pribadinya dan harus disedekahkan
kepada
orang miskin sepeninggalnya. Maka jadilah harta-benda yang tersisa ---
dari seseorang yang meninggal dalam usia 90 tahun sebagai pemimpin
tertinggi suatu negara
kaya minyak --- hanya terdiri dari kacamata, alat pemotong kuku, tasbih,
mushaf Al Quran,
sajadah, surban, jubah ulama dan beberapa buku.

Mungkin tak ada salahnya, kita menengok kehidupan Ayatullah Khomeini
berdasarkan
kesan-kesan orang terdekatnya....
lalu menjadikannya sebagai bahan perenungan bagi diri kita sendiri!

1. Kunjungan ke Rumah Ayatullah Khomeini

Ketika Iran menjadi tuan rumah konferensi tentang "Perempuan dan Revolusi
Islam",
para peserta diberi kesempatan untuk mengunjungi rumah Ayatullah Khomeini.
Dibawah ini adalah kesan-kesan dan reportase Khadijah, salah seorang
peserta kunjungan ini.
Inilah mimpi yang menjadi kenyataan.
Suatu keistimewaan yang langka untuk bisa berada di kediaman Imam.
Setelah lewat permohonan berkali-kali, akhirnya suatu malam kami diberitahu
bahwa besok pagi kunjungan ke rumah Imam telah diatur.
Karena perasaan penuh harap, tampaknya tak ada yang bisa tidur malam itu.

Esok paginya, salju turun. Di depan rumah Imam, sudah menunggu dalam dingin
yang menusuk,
kerumunan besar orang yang juga ingin menemui pemimpin mereka.
Ada juga para wartawan asing dan dalam negri di sana.
Penglihatan mereka terpaku pada pintu gedung pertemuan Jamaran,
yang disebelahnya terletak rumah kecil Imam,
yang darinya Imam akan keluar.

Tiba-tiba, dan benar, Imam muncul disitu! Orang-orang pun menjerit dalam
tangisan,
sambil melaungkan "Allahu Akbar" berkali-kali. Maka Imam pun duduk diam.
Disebelahnya duduk juga Ahmad, putranya.
Saya dan Imam hanya dipisahkan oleh jarak kira-kira 1 meter saja
sehingga saya bisa menatapya dengan jelas.
Seluruh raut wajahnya menunjukkan ketenangan dan kedamaian batin yang
sempurna.
Melihat air mukanya yang bening, saya merasa seperti berada di dunia lain.
Hanya matanya mengungkapkan kenyataan bahwa dia benar- benar hadir di
tengah kami.

Memasuki rumah Imam adalah kejutan yang lain buat kami. Pintu depannya
adalah pintu besi sederhana.
Di dalamnya terhampar halaman kira-kira sepanjang 6 meter.
Rumah itu memiliki 3 ruangan. Didalamnya ada kasur dan sandaran duduk,
serta sofa sederhana tempat Imam duduk dan tidur.
Dapurnya memanfaatkan ruangan dibawah tangga.

Para wartawan asing yang ada disana tampak tak dapat menyembunyikan
ketercengangan
mereka melihat kesederhanaan rumah Imam.
Lebih tercengang lagi mereka ketika melihat makanan sang Imam hanya terdiri
dari
kentang rebus, sebutir jeruk, dan sekerat roti.
Mereka bertanya kepada Istri Imam," Dimana kalian tidur?"
Istri Imam menjawab polos, "Persis di tempat kami duduk."

Kemudian istri Imam mengisahkan kehidupan sehari-hari suaminya,
" Sejak awal pernikahan kami, dia tak pernah menyuruhku mengambilkan sesuatu.
Jika dia membutuhkan sesuatu, dia menyampaikannya secara tidak langsung.
Misalnya, jika dia membutuhkan gamis, dia akan bilang 'Adakah gamis di
rumah ini?'.
Dengan begitu aku paham bahwa dia butuh gamis, dan aku pun mengambilkannya
untuknya.
Dia 'memaksa' untuk mempersiapkan sendiri segala sesuatu yang dibutuhkannya:
mempersiapkan makanannya, minumannya, dan mencuci sendiri gelas-gelas
dan mengembalikan ke tempatnya.
Jika ada sesuatu yang tidak beres, dia membetulkannya sendiri."

Sang istri pun tak ingat bahwa suaminya pernah memarahinya. Sebaliknya, dia
selalu lemah lembut,
sejak malam pengantin hingga wafatnya.
"Suatu kali dia berada dalam suatu pertemuan dengan para pejabat negara.
Tiba-tiba dia menyadari bahwa lampu di ruangan sebelah masih menyala.
Dia pun bangkit menuju ruangan itu, mematikan lampu, dan kembali ke tempat
pertemuan.
Orang-orang tercengang dengan perbuatan Imam.
Di kali lain orang melihat dia berupaya memisahkan selembar tissue yang
terdiri dari 2 lapisan.
Ketika salah seorang yang hadir memintanya untuk menggunakan kedua- duanya
dia menjawab,
'Saya hanya butuh selapis'."

"Dia menyukai makanan yang paling sederhana, dan tak makan dari beberapa
makanan sekaligus.
Dia makan hanya untuk bertahan hidup. Amat teratur hidupnya. Imam amat
menghargai perempuan.
Contohnya, ketika para cucunya mengunjunginya, dia tak lupa untuk menyuruh
mereka
pertama kali menemui neneknya dan mencium tangannya."

"Tak ada pembantu rumah tangga di rumah Imam. Para tamu biasanya dilayani
oleh keluarga Imam,
biasanya kedua anak perempuannya, yang tak mengizinkan ibunya untuk
melakukan apa-apa,
hanya demi ingin membuat hidup si ibu senyaman mungkin."

Khadijah melanjutkan kesannya tentang keluarga Ayatullah Khomeini ,
"Di rumah Imam, kami benar-benar merasa seperti di rumah sendiri,
seolah-olah kami
berada di tengah keluarga sendiri.
Kami merasa aman dan tenteram. Maka kami pun merasa amat sedih ketika
harus meninggalkan Imam dan keluarganya.
Keluarga ini telah membuat kami merasa bahwa mereka adalah
cerminan hidup ajaran-ajaran Al Quran."

2. Kenangan Zahra, putri Ayatullah Khomeini;

Imam adalah seorang ayah yang baik hati. Tidak hanya untuk bangsanya,
tetapi juga untuk putra-putrinya. Setelah selesai mengajar,
atau setelah menyelesaikan berbagai urusan kenegaraan, dia selalu
menyempatkan bermain- main
dengan putra-putrinya. Dia biasa bercengkrama bersama mereka dengan
berbagai permainan.

Zahra Musthawafi, putrinya, pernah berkisah:

"Meskipun terdapat perbedaan usia sebesar 40 tahun antara usia ayah dan
usia kami,
kebaikan hatinya membuat kami seolah tak merasakan perbedaan itu.
Seolah-olah dia tampak sebaya dengan kami saja. Dia biasa mengatur waktunya
sedemikian
sehingga selalu bisa membagi waktunya untuk bermain-main dengan kami.
Contohnya, sebagian kelas yang diajarinya diselenggarakan di rumah kami.
Biasanya kelas- kelas itu berakhir pada pukul 11.
Setelah itu, dia biasa bermain dengan kita hingga sebelum shalat dhuhur.
Kadang-kadang dia bermain petak umpet dengan kami semua."
"Begitulah kira-kira acara kami sehari-hari. Kami sungguh amat
menikmatinya..."
Zahra pun menambahkan, "Saya terus ingat kenangan- kenangan manis itu demi
menawarkan kepedihan yang kami rasakan sepeninggalnya."

Imam percaya bahwa anak-anak harus bebas bermain, bahkan pun untuk bersikap
nakal.
Kalau seorang anak tidak begitu, mungkin ia malah sedang sakit.
Menurut Imam, jika seorang anak memecahkan sesuatu dan melukai dirinya
sendiri,
orangtuanya perlu dihukum. Karena seharusnya mereka bertanggungjawab untuk
menyisihkan
bahaya dari anak-anaknya.

Anak-anak Imam mengenang ayahnya sebagai orangtua yang baik hati, tetapi
tak pernah
mengabaikan pendidikan dan latihan bagi anak-anaknya.
Dia selalu adil dalam mendidik mereka. Pernah terjadi, dia melarang anak-
anaknya
untuk bermain-main (terlalu banyak) di rumah tetangganya.
Suatu kali, 3 anak perempuannya melanggar perintahnya itu. Untuk menghukum
mereka,
sang ayah mengambil sepotong rotan dan, untuk menakut-nakuti mereka,
memukul-mukulkan
rotan itu ke tembok sambil berkata,
"Ayah kan sudah bilang, jangan main ke rumah tetangga.....".

Tanpa diduga, setelah memukul-mukulkan ke tembok 2-3 kali, rotan itu patah
dan tak sengaja
melukai kaki salah seorang putrinya.
Mengenang hal ini, Zahra mengatakan,"Kaki perempuan tertua saya, yang
berusia 11 tahun
pada waktu itu, luka tergores dan saya yang berumur 7 tahun, serta kakak
saya satunya lagi
yang berusia 9 tahun tidak terluka sama sekali. Ayah amat menyesal waktu itu.
Setelah memeriksa dan mengobati kaki kakak saya, dia pun segera mempersiapkan
pembayaran diyat (denda keagamaan) yang sebanding dengan luka kaki kakak
saya itu dan
memberikannya kepada kakak saya itu --- betapa pun sebenarnya semuanya itu
terjadi tanpa sengaja.
Pada waktu itu saya berharap bahwa yang luka tergores itu kaki saya."

3. Kenangan Putri Termuda Ayatullah Khomeini terhadap ayahnya

Suatu kali putri termuda Imam hamil ketika ia berumur 18 tahun.
Ketika kehamilannya mencapai usia 7 bulan, suatu kelainan menimpa
kandungannya sehingga ---
menurut para dokter ahli --- hidup putri Imam dan anak yang dikandungnya
itu terancam.
Suatu tindakan perlu segera dilakukan untuk menyelamatkan salah seorang
dari keduanya.
Menantu Imam dan para dokter berpikir untuk menyelamatkan sang ibu.
Untuk keperluan ini, mereka minta izin Imam.
Dengan menangis sesenggukan, menantu Imam itu memohon persetujuan mertuanya
agar membiarkan dokter mengoperasi si ibu --- dengan akibat terkorbankannya
anak yang dalam kandungan itu.
Imam, dengan keyakinan kuat seorang ayah mengatakan,
"Saya tak bisa menyetujui agar nyawa seorang anak dikorbankan demi nyawa
ibunya.
Keduanya adalah makhluk hidup."

Bayangkan, ketika berkata begini, Imam tentu sadar betul bahwa dia beresiko
untuk
kehilangan putri kesayangannya.
Dia pun melanjutkan, "Saya tak dapat mengizinkan pembunuhan makhluk hidup
karena
kecintaanku kepada putriku. Saya tak bisa memberikan izin itu."

Para dokter ahli itu pun berupaya sebisanya untuk meyakinkan Imam bahwa ---
kalau dibiarkan ---
toh (sedikitnya) salah satu harus meninggal juga....
Menyadari itu semua, Imam pun segera minta ditinggalkan sendirian untuk shalat,
memohon pertolongan Allah Swt. Para dokter ahli itu pun melanjutkan upaya
mereka, sebisanya.
Beberapa menit kemudian, Imam diberi tahu bahwa sang bayi dan ibunya sudah
bisa
diselamatkan dari bahaya yang tadinya mengancam mereka berdua.
Sang Imam, dalam keadaan bahagia dan plong, melakukan shalat lagi.
Kali ini untuk bersyukur kepada Allah.

4. Kenangan Sayyid Ahmad atas ayahandanya

Suatu hari, salah seorang putri Imam dan Sayyid Ahmad berada di kamar ayahnya.
Imam, dengan kelembutan seorang ayah, meminta putranya agar mengambilkan
kopi buku Kasyf Al-Asrar, karangannya, dari perpustakaan.
Perpustakaan itu adalah milik Biro Imam.
Putra Imam itu pun menjawab, "Menurut peraturan perpustakaan, siapa pun
yang ingin
membaca buku yang ada disana harus datang sendiri.
Akan tetapi, kali ini saya akan meminta seseorang mengambilkannya untuk Ayah
jika Ayah menginginkannya...."
Segera Imam menjawab, "Jangan. Saya tak mau bertindak melawan aturan
perpustakaan."
Setelah itu, Imam meminta putrinya untuk mencari kopi yang lain dari buku
itu ---
yang mereka miliki sendiri --- dan membawanya kepadanya.

Imam adalah seseorang yang selalu taat pada peraturan.
Dia tak ingin dirinya dibeda-bedakan dari yang lain.
Padahal, sebenarnya, untuk seseorang yang berada pada kedudukan seperti itu
--- bukan hal
yang luar biasa jika memperoleh sekedar keringanan peraturan.
Apalagi, perpustakaan itu sesungguhnya miliknya sendiri --- yang aksesnya
dibuka untuk umum.
Menurut orang-orang yang mengenalnya, sifat seperti ini selalu mewarnai
kehidupan Ayatullah Khomeini.
Dia selalu menghormati hak-hak orang lain. Dia merasa wajib mengikuti aturan,
termasuk aturan-aturan di dalam rumahnya sendiri.

Demikianlah sekilas kenangan terhadap Ayatullah Khomeini.
Ketegasan yang dikombinasikan dengan kelemah lembutan memang selalu
merupakan kesan
yang ditangkap oleh siapa saja yang pernah bertemu dengan tokoh ini.

***

Apakah definisi orang 'besar'?
Orang 'besar' adalah orang yang mampu mengatasi ruangan jiwanya sendiri
yang hendak dihimpit benda-benda,
karena ia menghendaki suatu kebebasan yang lebih punya arti.

Orang 'besar' adalah orang yang bekerja untuk akhirat seperti ia akan mati
besok;
dan bekerja untuk dunia seperti ia akan hidup selama-lamanya ---
tetapi bukan dengan keserakahan untuk dirinya sendiri.
Manusia biasa, yang tidak berukuran 'besar', tak mampu untuk puasa panjang
sekeras itu.
Mereka tak mampu menanggung beban derita sebuah ide. Mereka mungkin ingin
mengubah dunia,
tapi sejauh mana dan sepanjang kapan?
Bagi manusia biasa, ikhtiar perubahan dunia pada suatu saat perlu jeda.
Bagi orang 'besar' seperti Khomeini, ikhtiar merubah dunia itu adalah usaha
yang tak pernah selesai.....

(Goenawan Mohammad)

***
16 Nasihat Ayatullah Khomeini untuk Pembinaan Pribadi Muslim:

1. Sedapat-dapatnya berpuasalah setiap hari Senin dan Kamis
2. Shalatlah 5 waktu tepat pada waktunya dan berusahalah shalat tahajud
3. Kurangilah waktu tidur dan perbanyaklah membaca Al Quran
4. Perhatikanlah dan tepatilah sungguh-sungguh janjimu.
5. Berinfaklah kepada fakir miskin.
6. Hindarilah tempat-tempat maksiat
7. Hindarilah tempat-tempat pesta pora dan janganlah mengadakannya
8. Janganlah banyak bicara dan seringlah berdoa
9. Berpakaianlah secara sederhana
10. Berolahragalah.
11. Banyak-banyaklah menelaah berbagai buku (agama, sosial, politik, sains,
filsafat, sejarah, sastra dll)
12. Pelajarilah ilmu-ilmu teknik yang dibutuhkan negara Islam.
13. Pelajarilah ilmu tajwid dan bahasa Arab, serta perdalamlah
14. Lupakanlah pekerjaan-pekerjaan baikmu dan ingatlah dosa-dosamu yang lalu.
15. Pandanglah fakir miskin dari segi material, dan ulama dari segi spiritual.
16. Ikuti perkembangan umat Islam.

disarikan dari buku "Wasiat Sufi Ayatullah Khomeini"
oleh Yamani

Selasa, 30 November 2010

UII (Universitas Islam Indonesia) - Jogyakarta

Dominasi UII di Lembaga Penegakan Hukum

Oleh: Tomy C. Gutomo

SECARA kebetulan atau tidak, para petinggi lembaga penegakan hukum di Indonesia banyak berasal dari almamater yang sama. Yakni, Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqqodas yang baru saja terpilih Kamis lalu (25/11) adalah alumnus sekaligus dosen Fakultas Hukum (FH) UII. Dia juga pernah menjabat dekan di FH UII. Kemudian, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud M.D. berasal dari perguruan tinggi tertua di Indonesia itu. Mahfud juga pernah menjadi pembantu rektor I UII dan kini menjabat ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UII.

Di Kejaksaan Agung, Wakil Jaksa Agung (mantan Plt Jaksa Agung) Darmono juga alumnus perguruan tinggi yang berdiri pada 8 Juli 1945 itu. Begitu juga di Mahkamah Agung (MA), ada satu hakim agung yang dikenal sangat tegas, yakni Artidjo Alkostar, yang juga alumnus dan dosen UII. Hakim agung perempuan, Sri Murwahyuni, pun belajar hukum di UII. Kemudian, di Komisi Yudisial (KY), ada dua calon komisioner yang merupakan keluarga UII, berpeluang menjadi ketua KY pengganti Busyro. Mereka adalah Jawahir Thontowi dan Suparman Marzuki. Jawahir adalah dosen FH UII dan bahkan pernah menjabat ketua IKA UII. Sementara Suparman adalah direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) UII dan mantan direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) UII.

Di luar lembaga-lembaga di atas ada dua lembaga nasional lain yang terkait dengan penegakan hukum. Yakni, Komnas HAM serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Dua lembaga itu dipimpin alumnus UII juga. Komnas HAM dipimpin Ifdhal Kasim, mantan aktivis mahasiswa UII. Sedangkan LPSK dipimpin Abdul Haris Semendawai, yang juga alumnus UII yang dulu aktif di lembaga pers mahasiswa (LPM) Himmah.

Belum lagi sejumlah pengacara top di Jakarta juga dari UII. Para pengacara itu, antara lain, Henry Yosodiningrat, Ari Yusuf Amir, dan Maqdir Ismail. Henry juga dikenal sebagai ketua Granat (Gerakan Nasional Antinarkoba dan Psikotropika). Saat ini dia menjadi pembela mantan Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji. Sedangkan Ari Yusuf Amir dan Maqdir Ismail dikenal sebagai pengacara mantan Ketua KPK Antasari Azhar.

Mengapa UII? Pertama bisa jadi karena faktor pengalaman. UII adalah perguruan tinggi tertua di Indonesia yang berdiri pada 8 Juli 1945. UGM yang merupakan PTN tertua di Indonesia baru berdiri pada 19 Desember 1949. Kampus UII didirikan oleh proklamator Mohammad Hatta bersama para tokoh Masyumi, antara lain M. Natsir dan Kahar Muzakar. Doktrin para tokoh itu hingga saat ini masih dipelihara dan terus ditanamkan kepada mahasiswa. Doktrin itu sangat terkenal, yakni berilmu amaliyah dan beramal ilmiah. Tidak heran kalau para pendiri UII begitu menginspirasi para tokoh yang kini memegang jabatan strategis di lembaga penegakan hukum.

Tentu banyak yang curiga ada setting dari ”gank” UII untuk mendudukkan alumnusnya di lembaga-lembaga tersebut. Apalagi, alumnus IKA UII dipimpin Mahfud M.D. dan sering melakukan pertemuan dengan para alumnus seperti Busyro Muqqodas, Ifdhal Kasim, Abdul Haris Semendawi, Jawahir Thontowi, Suparman Marzuki, Artidjo Alkostar, Sri Murwahyuni, dan sebagainya. Wajar bila ada kecurigaan, jangan-jangan keputusan hukum yang keluar dari lembaga-lembaga hukum itu digodok terlebih dahulu di IKA UII. Namun, sejauh ini belum pernah ada dan tak pernah terbukti adanya UII connection di balik keputusan hukum. 

Sejauh ini integritas para alumnus yang memegang posisi strategis di lembaga penegakan hukum masih terjaga. Bahkan, karena satu almamater, mereka bisa mengontrol satu sama lain. Kalau ada yang mulai kendur, yang lain bisa menyemangati. Kalau mulai ada yang melenceng, yang lain bisa mengingatkan.

Di era Orde Baru, menteri kabinet juga dikuasai kampus tertentu. Tak jauh dari ITB, UI, IPB, dan UGM. Bahkan, di awal pemerintahan Soeharto ada istilah mafia Berkeley. Itu adalah julukan bagi sekolompok menteri bidang ekonomi dan keuangan, yang menentukan kebijakan ekonomi di zaman Soeharto. Sebagian besar menteri adalah lulusan doktor atau master dari University of California di Berkeley pada 1960-an, atas bantuan Ford Foundation. Para menteri tersebut sekembalinya dari Amerika Serikat mengajar di Universitas Indonesia.

Pemimpin tidak resmi mereka adalah Widjojo Nitisastro. Para anggotanya, antara lain, Emil Salim, Ali Wardhana, dan J.B. Soemarlin. Dorodjatun Koentjoro-Jakti yang lulus belakangan dari Berkeley kadang-kadang juga dimasukkan sebagai anggota kelompok ini. Dengan teknik-teknik makroekonomi yang didapat  dari Berkeley, mereka menetapkan berbagai kebijakan makroekonomi dan deregulasi yang memacu kegiatan ekonomi Indonesia yang macet pada masa pemerintahan Soekarno (Wikipedia). Belakangan mafia berkeley dituding sebagai biang kehancuran perekonomian Indonesia karena terlalu membebek sistem perekonomian di AS.

Bagi para civitas academica UII, kehadiran orang-orang UII di pucuk lembaga penegakan hukum menjadi kebanggaan sekaligus beban. Tidak ada kampus yang tidak bangga ketika alumnusnya menggapai keberhasilan. Menjadi beban karena bila para tokoh itu gagal menjalankan amanah yang diembannya, citra UII juga akan ikut jatuh. Justru saat ini adalah pertaruhan terbesar UII di kancah penegakan hukum. Bila para alumnus UII di lembaga penegakan hukum berhasil, UII akan ikut mendapat citra yang baik.

Sebaliknya, bila salah satu pemimpin lembaga penegakan hukum dari UII itu melakukan korupsi atau menerima suap, institusi UII juga ikut tercemar. Karena itu, mahasiswa, alumnus, dosen, dan institusi UII harus ikut mengontrol para pejabat di lembaga penegakan hukum yang berasal dari UII. Bila tidak dikontrol, bukan tidak mungkin suatu saat nanti para alumnus itu mendapat julukan mafia hukum.

*) Tomy C. Gutomo, Wartawan Jawa Pos, alumnus UII